Puisi: Mengapa Lagi (Karya J. E. Tatengkeng)

Puisi "Mengapa Lagi" karya J. E. Tatengkeng mengungkapkan kedalaman kontradiksi antara harapan dan realitas dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa Lagi

        Mengapa lagi
        Setiap pagi,
Aku bangun dengan pengharapan,
Sedang di hati hilang ketetapan?

        Mengapa lagi
        Setiap pagi,
Aku berharap datangnya suka,
Sedang di hati mendendam duka?

        Mengapa lagi
        Setiap pagi,
Kutunjuk muka yang riang manis,
Sedang di hati mengalir tangis?

        Mengapa lagi
        Setiap pagi,
Kusempat gelak, kudapat nyanyi,
Sedang di hati lengang dan sunyi?

Sumber: Rindu Dendam (1934)

Analisis Puisi:

Puisi "Mengapa Lagi" karya J. E. Tatengkeng menggambarkan sebuah pergulatan batin yang mendalam tentang kontradiksi perasaan yang dialami oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Melalui repetisi pertanyaan "Mengapa lagi," Tatengkeng menghadirkan perasaan putus asa, kebingungan, dan kegalauan yang berulang-ulang setiap pagi, mencerminkan keraguan batin seseorang yang mencoba memahami paradoks antara harapan dan kenyataan.

Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini memiliki struktur yang terdiri dari empat bait, masing-masing bait terdiri dari empat baris. Pola repetisi yang konsisten di setiap bait memberikan kekuatan pada penyampaian tema puisi ini. Setiap bait dimulai dengan pertanyaan yang sama, "Mengapa lagi," yang kemudian diikuti dengan dua baris yang menggambarkan harapan yang muncul setiap pagi, dan diakhiri dengan baris yang mencerminkan realitas perasaan yang bertentangan.

Penggunaan repetisi ini tidak hanya menciptakan irama dalam puisi, tetapi juga mempertegas perasaan frustasi dan kebingungan. Gaya bahasa yang digunakan adalah sederhana namun penuh makna, memadukan antara harapan yang ditunjukkan melalui kata-kata seperti "pengharapan," "suka," "riang manis," dan "gelak," dengan realitas yang bertentangan seperti "hilang ketetapan," "mendendam duka," "mengalir tangis," dan "lengang dan sunyi."

Tema: Kontradiksi Harapan dan Realitas
Tema utama dari puisi ini adalah kontradiksi antara harapan dan realitas. Penyair menggambarkan sebuah situasi di mana seseorang bangun setiap pagi dengan harapan baru, namun di dalam hatinya, ada perasaan yang sangat berbeda dan penuh kegalauan. Setiap bait menggambarkan perasaan yang bertentangan: antara penampilan luar yang tampak bahagia dan harapan, dengan kondisi batin yang diliputi duka, kebingungan, dan kesunyian.

Baris pertama setiap bait, "Mengapa lagi / Setiap pagi," menekankan rutinitas dari perasaan ini, seolah-olah ini adalah siklus yang tak berujung. Setiap hari dimulai dengan harapan, namun kenyataannya berakhir dengan kekecewaan atau kesedihan. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia sering berharap untuk kebahagiaan dan kedamaian, kenyataan sering kali tidak sesuai dengan harapan tersebut.

Kontradiksi Antara Penampilan dan Perasaan
Setiap bait dalam puisi ini memperlihatkan kontradiksi antara apa yang ditampilkan kepada dunia luar dan apa yang dirasakan di dalam hati. Dalam bait kedua, misalnya, frasa "Aku berharap datangnya suka" bertentangan dengan "Sedang di hati mendendam duka." Di sini, penyair mengekspresikan konflik antara harapan akan kebahagiaan dan kenyataan bahwa hati sebenarnya dipenuhi dengan kesedihan.

Begitu pula, bait ketiga, "Kutunjuk muka yang riang manis, / Sedang di hati mengalir tangis," mengungkapkan bahwa penampilan luar seseorang tidak selalu mencerminkan keadaan batin yang sebenarnya. Ada dorongan untuk menampilkan wajah yang ceria dan bahagia, sementara di dalam hati, ada perasaan yang berbeda—yaitu kesedihan yang mendalam.

Simbolisme dan Makna
Puisi ini sarat dengan simbolisme yang menggambarkan dualitas hidup manusia. Setiap pagi menjadi simbol harapan baru—sebuah kesempatan untuk memulai dari awal. Namun, dalam puisi ini, pagi bukan hanya simbol kebangkitan atau pembaruan, tetapi juga pengingat akan siklus kekecewaan dan kesedihan yang berulang. Kata-kata seperti "riang manis" dan "gelak" adalah simbol-simbol dari kebahagiaan yang tampak di permukaan, tetapi makna yang sebenarnya tersembunyi di balik kata-kata seperti "mengalir tangis" dan "lengang dan sunyi," yang menunjukkan penderitaan batin.

Puisi "Mengapa Lagi" karya J. E. Tatengkeng mengungkapkan kedalaman kontradiksi antara harapan dan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun kuat, Tatengkeng menyampaikan perasaan kegelisahan dan kegalauan yang dialami oleh seseorang dalam pergulatan batinnya. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita sering kali terjebak dalam siklus harapan dan kekecewaan, serta bagaimana kita menampilkan wajah yang berbeda dari apa yang sebenarnya kita rasakan di dalam hati.

Tatengkeng, melalui karya ini, mengingatkan kita bahwa kehidupan penuh dengan paradoks, dan perasaan manusia sering kali merupakan cerminan dari konflik batin yang tak terucapkan. Dalam keheningan dan kesederhanaan puisinya, Tatengkeng berhasil menyampaikan pesan tentang kerumitan dan kedalaman jiwa manusia.

Puisi J. E. Tatengkeng
Puisi: Mengapa Lagi
Karya: J. E. Tatengkeng

Biodata J. E. Tatengkeng:
  • J. E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng) adalah salah satu penyair Angkatan Pujangga Baru. Nama panggilan sehari-harinya adalah Om Jan.
  • J. E. Tatengkeng lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907.
  • J. E. Tatengkeng meninggal dunia di Makassar, 6 Maret 1968 (pada umur 60 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.