Mei Raya
Adik,
Pagi ini pagi merah
semua merah. Langit dan bumi, nyanyi dan tari
engkau kubawa di sayap kenangan
berpesta di tiap pagi merah sejak letusan
proklamasi hingga bangsa kembali dalam penjara.
Bagiku setiap pagi merona merah
setiap pagi gemilang nyanyian sinar harapan
setiap itu, adikku sayang, hatiku berembun
kasih mesra melimpah-limpah kepada bumi dan manusia
kepada mereka yang masih merintih dalam tindasan.
Kenangkan adik, kenangkan, setiap pagi merona merah
juga pagi ini, pagi di mana langkah menderap
gema kaki prajurit damai dan demokrasi
bersoraksorai laksana bahana badai
buruh tani pemuda menggempur penjara siksa.
Dan luapkanlah kasih yang senantiasa menyala di dada
engkau dan aku, kita semua, kasih
kepada tari dan nyanyi, dunia bebas
untuk manusia bebas dan merah
indah laksana mawar mekar di taman.
Adik,
Dan pagi merah ini, pagi ini membawa seruan
kita semua bersatu rapatkan barisan
lantangkan genderang pembebasan dan perdamaian
kibarkan bendera dan terbangkan merpati
bagi kita bahagia, karena kita kenal derita!
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Analisis Puisi:
Puisi "Mei Raya" karya Adi Sidharta merupakan karya yang kaya akan simbolisme dan emosi, menggambarkan semangat perjuangan, harapan, dan cinta untuk kebebasan. Melalui lirik yang puitis, Sidharta mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya kebangkitan dan persatuan dalam menghadapi tantangan, terutama bagi mereka yang masih berjuang dalam penderitaan.
Simbol Pagi Merah
Pembukaan puisi menyebutkan, "Pagi ini pagi merah / semua merah," yang menandakan simbolisme pagi sebagai awal baru dan harapan. Warna merah sering dihubungkan dengan keberanian, semangat, dan cinta. Penyair membawa adiknya untuk merasakan keindahan dan makna dari pagi yang penuh warna, menggambarkan suasana meriah di langit dan bumi, serta menyatukan elemen suara dan gerakan dalam sebuah tarian hidup.
Kenangan Proklamasi
Sidharta mengaitkan pagi merah dengan "letusan proklamasi," yang merujuk pada momen penting dalam sejarah Indonesia. Dengan menyebutkan "bangsa kembali dalam penjara," penyair menyoroti realitas pahit yang dihadapi oleh bangsa setelah perjuangan untuk kemerdekaan. Hal ini menciptakan kontras antara harapan dan realitas yang menyakitkan, serta menyiratkan bahwa perjuangan belum sepenuhnya berakhir.
Cinta untuk Bumi dan Manusia
Puisi ini juga mengungkapkan cinta yang dalam kepada "bumi dan manusia," serta kepada "mereka yang masih merintih dalam tindasan." Penyair menunjukkan kepeduliannya terhadap orang-orang yang terpinggirkan dan menderita akibat penindasan. Melalui ungkapan "hatiku berembun / kasih mesra melimpah-limpah," Sidharta menciptakan gambaran tentang empati dan rasa solidaritas terhadap sesama.
Teriakan Perjuangan
Selanjutnya, puisi berlanjut dengan seruan untuk "kenangkan adik" dan merayakan "pagi di mana langkah menderap." Penyair mengajak pembaca untuk mengenang perjuangan dan keberanian para pahlawan yang berjuang untuk "damai dan demokrasi." Gema langkah prajurit damai menjadi simbol harapan yang berkelanjutan, di mana "buruh tani pemuda menggempur penjara siksa." Ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk kebebasan dan keadilan terus berlanjut.
Persatuan dan Kebebasan
Di bait berikutnya, Sidharta menyerukan untuk "luapkan kasih yang senantiasa menyala di dada," mengajak semua orang untuk bersatu dan merayakan kebebasan. Frasa "dunia bebas untuk manusia bebas" menggambarkan harapan akan dunia yang lebih baik, di mana semua orang dapat hidup tanpa penindasan. Penyair menggunakan simbol bunga mawar mekar di taman sebagai lambang keindahan dan harapan yang dapat dihasilkan dari persatuan dan cinta.
Seruan Terakhir untuk Kebebasan
Puisi ini diakhiri dengan seruan yang kuat untuk bersatu dan "rapatkan barisan." Penyair mengajak semua orang untuk "lantangkan genderang pembebasan dan perdamaian," serta mengibarkan bendera sebagai tanda perjuangan bersama. Dengan pernyataan bahwa "kita bahagia, karena kita kenal derita," Sidharta menegaskan bahwa pemahaman akan penderitaan membuat kita lebih menghargai kebahagiaan dan persatuan.
Harapan dalam Persatuan
Puisi "Mei Raya" karya Adi Sidharta bukan hanya sebuah ungkapan tentang kebangkitan, tetapi juga sebuah seruan untuk persatuan dan harapan. Melalui penggunaan simbol yang kuat dan bahasa puitis, Sidharta berhasil menyampaikan pesan bahwa kebebasan dan perdamaian hanya dapat dicapai melalui kerja sama dan cinta antar sesama.
Karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan peran mereka dalam menciptakan dunia yang lebih baik, di mana setiap orang memiliki hak untuk hidup dalam kebebasan dan keharmonisan. Puisi ini menjadi pengingat bahwa meskipun kita mengenal derita, kita juga memiliki kekuatan untuk bangkit dan menciptakan masa depan yang cerah.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.