Puisi: Manusia Alam (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Manusia Alam" karya Sabar Anantaguna menggambarkan hubungan erat antara manusia dan alam, serta perjalanan seorang individu dalam ...

Manusia Alam


        Aku datang dari Rana
        menembus bukit hutan

Aku datang dari danau
mendekati pasir pantai

Gubuk nyamuk

        Tidak apa
        kulit tahan hujan
        Tak mengapa
        bukit ditaklukkan

        Hutan sudah tembus
        rawa sudah kalah

Aku datang dari gunung
bermoyang alam semesta

Aku datang dari danau
dengan hati menggenggam nyawa

Tidak apa
matahari membakar kulit
Tak mengapa
duri merobek kaki

Aku datang dari Rana
Kayu besar pelindungku

Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)

Analisis Puisi:

Puisi "Manusia Alam" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang menggambarkan hubungan erat antara manusia dan alam, serta perjalanan seorang individu dalam menjelajahi lingkungan yang kompleks dan penuh tantangan. Dalam puisi ini, Anantaguna tidak hanya menggambarkan keindahan alam, tetapi juga perjuangan dan ketahanan manusia dalam menghadapi berbagai rintangan. Melalui lirik yang sederhana namun mendalam, puisi ini menyampaikan pesan tentang keteguhan dan keberanian.

Tema dan Makna

Tema utama dari puisi ini adalah hubungan antara manusia dan alam. Anantaguna menggambarkan perjalanan seseorang yang berasal dari berbagai elemen alam—bukit, danau, hutan, dan gunung. Setiap elemen tersebut melambangkan aspek kehidupan yang berbeda, di mana penulis menunjukkan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta.

Pernyataan “Aku datang dari Rana” menciptakan kesan bahwa penulis memiliki akar yang dalam dalam hubungan dengan alam. “Rana” sendiri dapat diinterpretasikan sebagai sebuah tempat yang melambangkan keaslian dan keindahan, menunjukkan bahwa penulis ingin membawa serta nilai-nilai alam tersebut dalam kehidupannya.

Imaji dan Gaya Bahasa

Imaji dalam puisi ini sangat kaya dan menggugah imajinasi. Gambar-gambar seperti “bukit ditaklukkan” dan “hutan sudah tembus” menciptakan citra yang kuat tentang perjuangan manusia dalam mengatasi rintangan yang dihadapi. Gubuk nyamuk, yang disebutkan di awal puisi, juga menandakan kerentanan dan ketidakberdayaan, tetapi di sisi lain, penulis menegaskan bahwa manusia memiliki ketahanan dan kekuatan.

Penggunaan repetisi dalam frasa “Tidak apa” dan “Tak mengapa” menunjukkan sikap tegar dan optimis. Ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi berbagai tantangan—seperti kulit yang terbakar matahari dan kaki yang terobek duri—manusia tetap melanjutkan perjuangan. Anantaguna dengan jelas menyampaikan bahwa tantangan tersebut adalah bagian dari perjalanan hidup.

Ketahanan dan Keberanian

Puisi ini juga mencerminkan tema ketahanan dan keberanian. Dengan menyatakan “kulit tahan hujan” dan “hati menggenggam nyawa,” penulis menegaskan bahwa meskipun manusia menghadapi banyak rintangan, mereka memiliki kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi. “Kayu besar pelindungku” menggambarkan sumber perlindungan dan kekuatan yang diambil dari alam, menunjukkan bahwa manusia tidak hanya bergantung pada kekuatan diri, tetapi juga pada lingkungan sekitar mereka.

Puisi "Manusia Alam" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang merayakan hubungan antara manusia dan alam. Melalui imaji yang kaya dan lirik yang menggugah, puisi ini menggambarkan perjalanan individu yang penuh perjuangan dan ketahanan. Anantaguna berhasil menciptakan narasi yang memperlihatkan bahwa manusia adalah bagian dari siklus alam, dan tantangan yang dihadapi bukanlah penghalang, melainkan sebuah proses pembelajaran yang memperkuat jati diri.

Dengan kata-kata yang sederhana namun kuat, puisi "Manusia Alam" mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan mereka dengan lingkungan dan pentingnya menjaga serta menghargai alam. Karya ini tidak hanya menyentuh aspek fisik dari perjalanan manusia, tetapi juga aspek spiritual, mengingatkan kita akan makna sejati dari keberadaan kita di dunia ini.

Sabar Anantaguna
Puisi: Manusia Alam
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.