Man Doblang
Man Doblang, ooi, Man Doblang
datang di ladang bercangkul rompang
tanah padas hati pun keras
malam menjelang teringat pulang.
Man Doblang, ooi, Man Doblang
bergulat alam bergumul dendam
di tanah gersang makan pun kurang
pedih dipendam harap ditanam.
Man Doblang, ooi, Man Doblang
air di mana hujan ke mana
di tebing tenang duka menantang
waduk tak ada danau tak punya.
Man Doblang, ooi, Man Doblang
lapar mengurung lemas dibarung
bercangkul rompang ditimbun hutang
dibayar gunung tambah melambung.
Man Doblang, ooi, Man Doblang
tanah sececah dikroyok lintah
Man Doblang, ooi, Man Doblang
di gunung gersang juang Man Doblang.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Man Doblang" karya Sabar Anantaguna menyajikan gambaran yang kuat tentang perjuangan hidup di tengah kondisi alam yang keras dan tantangan yang tak berkesudahan. Melalui lirik yang puitis, Anantaguna mengeksplorasi tema ketahanan, harapan, dan realitas pahit yang dihadapi oleh masyarakat tani.
Gagasan Utama: Ketahanan dalam Perjuangan
Di awal puisi, pengulangan nama "Man Doblang" menciptakan nuansa keakraban dan kedekatan. Man Doblang menjadi simbol dari setiap individu yang berjuang di ladang yang keras dan gersang. Dengan frasa "datang di ladang bercangkul rompang," Anantaguna mengisyaratkan kondisi ekonomi yang sulit, di mana alat pertanian yang seadanya menjadi pengingat akan perjuangan yang tiada henti.
Alam sebagai Musuh dan Teman
Puisi ini juga menggambarkan hubungan yang rumit antara manusia dan alam. "Bergulat alam bergumul dendam" menunjukkan betapa sulitnya bertahan hidup di tanah yang tidak ramah. Dalam konteks ini, alam menjadi lawan yang menghadirkan berbagai kesulitan, seperti kekeringan dan kelaparan. "Air di mana hujan ke mana" menjadi pertanyaan yang mencerminkan kegundahan dan ketidakpastian, menggambarkan bagaimana kehadiran hujan yang dibutuhkan terasa jauh dan tak pasti.
Rasa Lapar dan Beban Utang
Lirik "lapar mengurung lemas dibarung" mencerminkan penderitaan fisik dan mental yang dialami oleh Man Doblang dan komunitasnya. Ketidakpastian dalam mendapatkan hasil panen berujung pada ketidakberdayaan, di mana utang semakin menumpuk dan beban hidup terasa semakin berat. Frasa "dibayar gunung tambah melambung" menggambarkan siklus hidup yang tidak adil, di mana usaha keras tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh.
Simbolisme dan Imaji Alam
Anantaguna menggunakan simbolisme yang kuat, seperti "tanah sececah dikroyok lintah," untuk menggambarkan eksploitasi dan penderitaan yang dihadapi oleh masyarakat. Lintah menjadi metafora bagi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan petani, menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Puisi "Man Doblang" bukan hanya sekadar keluhan terhadap kondisi hidup yang sulit, tetapi juga merupakan panggilan untuk ketahanan dan semangat juang. Di tengah semua kesulitan, Anantaguna menunjukkan bahwa harapan masih ada, meskipun terjal dan penuh tantangan. Melalui lirik yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merasakan realitas kehidupan para petani yang berjuang demi kelangsungan hidup dan masa depan yang lebih baik.
Puisi "Man Doblang" adalah sebuah puisi yang menggugah, menyoroti pentingnya ketahanan dan semangat perjuangan dalam menghadapi segala rintangan. Melalui karya ini, Anantaguna mengingatkan kita akan realitas yang sering terabaikan, sekaligus memberi penghormatan kepada mereka yang tetap berjuang meski dalam keadaan yang sulit.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.