Puisi: Lukisan (Karya J. E. Tatengkeng)

Puisi "Lukisan" karya J. E. Tatengkeng menggambarkan perjalanan batin yang kompleks dan penuh tantangan dalam menemukan makna hidup, kebenaran, dan ..
Lukisan

        Musafir
    Mudik menghilir,
Tak ketentuan tempat pergi,
Sedang tak ada tempat berdiri.

        Pengembara
    Laut dan udara,
Terkatung-katung di ombak rawan,
Tergantung-gantung di angan awan.

        Penyelam
    Penilik alam
Haus dahaga akan kebenaran,
Kecewa melihat dunia keliaran.

        Sebegini
    Sukmaku seni
Merindu, mencari ketentuan hati,
Kebenaran, Damai dan Kasih sejati.

Analisis Puisi:

Puisi "Lukisan" karya J. E. Tatengkeng adalah salah satu karya yang memperlihatkan pergulatan batin manusia dalam mencari makna hidup, kebenaran, dan ketenangan jiwa. Tatengkeng, seorang penyair Pujangga Baru, terkenal dengan gaya puisinya yang melankolis dan sarat dengan tema religius dan filsafat. Dalam "Lukisan," ia menyuguhkan sebuah perjalanan metaforis melalui berbagai representasi simbolis seperti musafir, pengembara, dan penyelam yang menggambarkan pencarian spiritual dan eksistensial.

Gambaran Umum dan Struktur Puisi

Puisi "Lukisan" terdiri dari empat bait, masing-masing menggambarkan sebuah sosok atau konsep yang melambangkan perjalanan hidup dan pencarian makna. Setiap bait menampilkan kata-kata kunci yang mencerminkan kondisi batin dan situasi yang dialami oleh sosok-sosok ini. Dengan menggunakan bahasa yang padat dan simbolis, Tatengkeng berhasil membawa pembaca ke dalam suasana perenungan yang mendalam.

Musafir

Bait pertama menggambarkan seorang "Musafir" yang "Mudik menghilir" tanpa ketentuan arah:

"Musafir
Mudik menghilir,
Tak ketentuan tempat pergi,
Sedang tak ada tempat berdiri."

Musafir di sini adalah simbol dari manusia yang mencari jalan pulang, namun tanpa arah yang jelas. Ia berkelana tanpa tujuan pasti, melambangkan kebingungan dan kehilangan arah dalam kehidupan. Frasa "tak ada tempat berdiri" menunjukkan bahwa musafir ini tidak memiliki pegangan atau kepastian di dunia ini, mencerminkan kegelisahan jiwa yang mencari tempat yang dapat memberinya ketenangan.

Pengembara

Bait kedua berbicara tentang "Pengembara" yang berada di antara "Laut dan udara":

"Pengembara
Laut dan udara,
Terkatung-katung di ombak rawan,
Tergantung-gantung di angan awan."

Pengembara ini dilambangkan sebagai seseorang yang berada di antara dunia nyata dan imajinasi. Ia "terkatung-katung di ombak rawan" dan "tergantung-gantung di angan awan," yang menunjukkan kondisi ketidakpastian dan perasaan tidak stabil. Ia berada di antara dua dunia, tidak dapat menemukan tempat yang kokoh untuk berpijak. Penggambaran ini menunjukkan konflik batin antara kenyataan yang sulit dan impian atau harapan yang belum tercapai.

Penyelam

Bait ketiga memperkenalkan sosok "Penyelam," yang digambarkan sebagai pencari kebenaran:

"Penyelam
Penilik alam
Haus dahaga akan kebenaran,
Kecewa melihat dunia keliaran."

Penyelam ini mewakili manusia yang dalam pencarian spiritual atau intelektualnya, mendalami makna kehidupan dan kebenaran. Namun, ketika ia "melihat dunia keliaran," ia merasakan kekecewaan yang mendalam. Ini menggambarkan bahwa dunia ini, dengan segala kekacauan dan ketidakadilan, sering kali mengecewakan mereka yang mencari kejujuran, kedamaian, dan kebenaran sejati. Penyair menunjukkan konflik antara harapan untuk menemukan kebenaran dan realitas dunia yang jauh dari ideal.

Sukmaku Seni

Bait terakhir merangkum seluruh tema puisi dengan menyatakan bahwa jiwa penyair adalah "seni" yang selalu merindu dan mencari:

"Sebegini
Sukmaku seni
Merindu, mencari ketentuan hati,
Kebenaran, Damai dan Kasih sejati."

Jiwa penyair digambarkan sebagai "seni" yang merindu, mencerminkan keinginan mendalam untuk menemukan "ketentuan hati," yaitu keseimbangan batin, kebenaran, kedamaian, dan cinta sejati. Sukma atau jiwa yang dilukiskan sebagai seni menunjukkan bahwa perjalanan mencari makna dan kebenaran tidaklah lurus dan mudah; ia membutuhkan kebijaksanaan, perenungan, dan juga kepekaan artistik.

Simbolisme dalam "Lukisan"

Tatengkeng menggunakan simbolisme yang kuat dalam puisinya. Sosok musafir, pengembara, dan penyelam adalah simbol dari kondisi-kondisi batin yang berbeda namun saling terkait. Setiap sosok ini mewakili tahap-tahap perjalanan spiritual atau pencarian hidup manusia:
  • Musafir melambangkan pencarian arah dan tujuan.
  • Pengembara mencerminkan ketidakpastian dan perasaan terombang-ambing antara realitas dan imajinasi.
  • Penyelam mewakili pencarian mendalam akan kebenaran dan sering kali menemukan kekecewaan dalam realitas dunia.
Ketiga sosok ini bersama-sama menggambarkan pergulatan manusia untuk mencari makna hidup, kebenaran, dan kedamaian di tengah ketidakpastian dan kekacauan dunia.

Puisi "Lukisan" karya J. E. Tatengkeng adalah refleksi mendalam tentang pencarian spiritual dan eksistensial manusia. Melalui simbolisme yang kuat dan bahasa yang padat, Tatengkeng menggambarkan perjalanan batin yang kompleks dan penuh tantangan dalam menemukan makna hidup, kebenaran, dan kedamaian sejati. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali perjalanan hidup mereka sendiri dan mencari kebijaksanaan dalam seni, kejujuran, dan ketulusan hati.

Dengan menggunakan elemen-elemen simbolis yang kaya, Tatengkeng berhasil mengajak pembaca untuk menyelami kedalaman makna dan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan, cinta, dan kebenaran. "Lukisan" menjadi karya yang relevan bagi siapa saja yang terus mencari dan merenung dalam upaya memahami kehidupan dan maknanya.

Puisi J. E. Tatengkeng
Puisi: Lukisan
Karya: J. E. Tatengkeng

Biodata J. E. Tatengkeng:
  • J. E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng) adalah salah satu penyair Angkatan Pujangga Baru. Nama panggilan sehari-harinya adalah Om Jan.
  • J. E. Tatengkeng lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907.
  • J. E. Tatengkeng meninggal dunia di Makassar, 6 Maret 1968 (pada umur 60 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.