Analisis Puisi:
Puisi "Lidi Kaligrafi" karya Raedu Basha menyajikan sebuah refleksi mendalam tentang kenangan, kerinduan, dan kekuatan simbolis dari kaligrafi dalam konteks hubungan pribadi. Dengan menggunakan imageri yang kuat dan bahasa yang penuh perasaan, puisi ini menggambarkan perjalanan emosional penulis melalui pengalaman masa lalu dan perasaan yang tersisa.
Deskripsi Umum dan Tema
- Gambaran Umum: Puisi ini menyoroti kenangan masa lalu, terutama terkait dengan kaligrafi dan hubungan pribadi. Penulis merenungkan bagaimana kaligrafi dan janji-janji masa lalu berperan dalam membentuk ingatannya dan mengekspresikan rasa kerinduannya terhadap seseorang. Tema utama puisi ini adalah kenangan, kerinduan, dan kekuatan simbolis dari kaligrafi sebagai bentuk ekspresi perasaan dan janji.
"Kapankah kita membuat janji bersua mengejakan kembali lafal-lafal Qur’an mini juga melukis kaligrafi dengan sebatang lidi tangan ini gugup mengukir namaku sendiri jantung gugup mendegub namamu di hati."
Baris ini membuka puisi dengan refleksi tentang janji masa lalu dan aktivitas kaligrafi sebagai simbol dari komitmen dan hubungan pribadi. Tangan yang gugup dan jantung yang berdebar menunjukkan betapa pentingnya momen ini bagi penulis.
"Kau pinta aku menggambar wajah kita pada dinding-dinding impian pada tembok-tembok kenangan 'kelak rumah kita adalah benteng terakhir ketika di luar ada badai' bisikmu dulu aku tak paham bahwa itulah bahasa kasih."
Penggambaran wajah pada dinding impian melambangkan harapan dan impian yang dibangun bersama. Pernyataan bahwa rumah adalah benteng terakhir menunjukkan betapa kuatnya hubungan ini dan bagaimana ia dianggap sebagai perlindungan di tengah badai kehidupan.
"Kini cuma rindu kusemayamkan berteduh di kaki waktu memandangi lembut awan dari jauhnya jarak dua ruang kau dan aku, tersimpan oleh makna yang rahasia entah apa, entah apa."
Baris ini menggambarkan bagaimana kerinduan penulis disimpan dan dipelihara sepanjang waktu. Jarak yang memisahkan dan makna rahasia dari hubungan mencerminkan betapa dalam dan kompleksnya perasaan penulis.
"Dari lubang ingatan, kuintip masa lalu langit keemasan mengilau di kening tuamu senja itu kini membasahi bumiku, seluruh kenangan luruh seumpama lirih gerimis, percik-percik perlahan jatuh rintik rapuh dari mendung jutaan kangen yang mengeluh petir geram menghantam kalbu mengharap kunci doa membuka pintu-pintu sua kita."
Imageri langit keemasan dan gerimis menciptakan suasana nostalgia dan kesedihan. Penulis mengingat kembali masa lalu dan merasakan dampaknya pada perasaannya saat ini, dengan harapan doa sebagai kunci untuk membuka kembali hubungan yang hilang.
"Dari lubang ingatan, kuintip masa lalu masa belia sebatang lidi dan tintamu kau suruh aku membaca menulis basmalah aku gemetar, betapa koyak diri menyebut asma Allah betapa indah ukiran lafal bismillah dalam kaligrafi perasaan."
Kenangan tentang masa muda dan kaligrafi basmalah menggambarkan bagaimana pengalaman masa lalu membentuk perasaan penulis. Gemetar saat menulis lafal Bismillah mencerminkan kedalaman perasaan dan keindahan kaligrafi sebagai bentuk ekspresi spiritual.
"Terberkatilah pertemuan kita dulu seumpama darahmu mengalir di urat-uratku lewat lubang huruf mim ke mim ke mim dan alif-lam dengan lidi melukis kaligrafi bunga-bunga haru kuresap gaharu, kucium hangat getarmu."
Baris ini menyatakan betapa berartinya pertemuan mereka, dengan metafora darah yang mengalir melalui urat-urat. Kaligrafi dan bunga-bunga haru melambangkan keindahan dan kekuatan hubungan tersebut.
"Tapi oh, bagaimana kesempatan kembali berulang sakit peri obatnya hadirmu ke mari mungkin pada sepasang cangkir hangat di meja atau suatu mimpi malam nanti."
Penulis merindukan kesempatan untuk bertemu kembali, mungkin melalui momen sederhana seperti cangkir hangat atau mimpi. Ini mencerminkan keinginan penulis untuk menghidupkan kembali hubungan yang telah berlalu.
"Tapi oh, hanya kutahan nyeri sebab kerinduan menahun tanpa syair selimut Al-Bushiri walau kumadahkan Kasidah Burdahnya 99 kali aku di sini tanpamu datanglah walau sekali walau sejenak membetulkan letak tanganku memegang lidi melukis kaligrafi basmalah yang belum jua jadi-jadi pada dinding-dinding tauhid pada tembok-tembok ilmu 'kelak kaligrafi kita adalah benteng terakhir ketika rindu tak cukup bertahan' Bisikmu dari jarak bayangan."
Baris terakhir menekankan rasa sakit dan kerinduan yang mendalam, meskipun penulis mencoba menenangkan diri dengan syair dan doa. Keinginan untuk melukis kaligrafi dan membangun benteng terakhir dari hubungan yang hilang menunjukkan betapa pentingnya hubungan ini bagi penulis.
Simbolisme dan Imageri
- Kaligrafi dan Lidi: Kaligrafi dengan lidi merupakan simbol penting dalam puisi ini, menggambarkan komitmen dan ekspresi spiritual. Lidi sebagai alat untuk menulis menunjukkan keintiman dan perhatian yang diberikan dalam setiap detail.
- Gerimis dan Langit Keemasan: Imageri gerimis dan langit keemasan menciptakan suasana nostalgia dan melankolis, menunjukkan bagaimana kenangan masa lalu membentuk perasaan penulis.
- Darah dan Bunga-Bunga Haru: Metafora darah dan bunga-bunga haru menekankan betapa mendalamnya hubungan yang pernah ada dan bagaimana pertemuan itu tetap hidup dalam ingatan penulis.
Puisi "Lidi Kaligrafi" karya Raedu Basha menawarkan sebuah refleksi yang mendalam tentang kenangan dan kerinduan melalui simbolisme kaligrafi. Dengan imageri yang kuat dan narasi personal, puisi ini menggambarkan bagaimana pengalaman masa lalu dan hubungan pribadi membentuk perasaan dan kenangan yang tersisa. Melalui penjelajahan emosional dan simbolis, puisi ini menyampaikan betapa pentingnya hubungan tersebut dan kerinduan yang mendalam untuk kembali ke masa-masa itu.
Karya: Raedu Basha