Lelaki Penjual Kuali
Turun dan tersaruklah kaki di jenjang jurang
angan-angannya anak di ranjang
balé bambu
Bintang-bintang pun pudar melemah bareng badannya.
Kuali! kuali! sepanjang kota
dalam hati tersungkur lapar merujit
tak mau pergi tak mau pamit.
Menanti setalen tersisih, sisa oleh-oleh anting-anting sianak.
Kuali! kuali! melangsing di jalan-jalan tepi langit,
basah seteguk dari sumur air timba,
tak hati sampai nasi meminta.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Lelaki Penjual Kuali" karya Sabar Anantaguna mengajak pembaca menyelami kehidupan sehari-hari seorang penjual kuali, yang menjadi simbol perjuangan dan harapan dalam kesederhanaan. Dengan penggunaan bahasa yang puitis dan penuh makna, puisi ini menggambarkan realitas hidup yang sering kali terabaikan, serta menyoroti kekuatan dalam keteguhan dan kerinduan akan masa depan yang lebih baik.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini dibuka dengan gambaran yang kuat: “Turun dan tersaruklah kaki di jenjang jurang.” Frasa ini menciptakan suasana ketidakpastian dan perjuangan, seolah menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan. “Kaki di jenjang jurang” bisa diartikan sebagai langkah yang berisiko, menunjukkan ketidakstabilan dan perjuangan penjual kuali dalam kehidupannya.
Selanjutnya, “angan-angannya anak di ranjang balé bambu” menambahkan dimensi emosional, menunjukkan harapan dan impian yang terpendam. Ranjuang dan balé bambu melambangkan kehidupan yang sederhana, namun penuh dengan cinta dan impian. Ini menggambarkan bagaimana seorang ayah berharap untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya, meskipun dalam kondisi yang terbatas.
Tema Kesedihan dan Harapan
Di bait berikutnya, “Bintang-bintang pun pudar melemah bareng badannya,” terdapat nuansa kesedihan yang mendalam. Bintang yang pudar melambangkan hilangnya harapan atau impian, menyoroti realitas pahit yang dihadapi oleh penjual kuali. Namun, meskipun ada kesedihan, terdapat keteguhan untuk terus melangkah.
Bagian “Kuali! kuali! sepanjang kota” menjadi sorotan penting, di mana kuali bukan hanya sekadar alat masak, tetapi juga simbol kehidupan dan perjuangan. “Dalam hati tersungkur lapar merujit” mencerminkan rasa lapar dan kerinduan yang mendalam, baik secara fisik maupun emosional. Penggunaan repetisi kata “kuali” menciptakan ritme yang kuat dan mempertegas posisi penjual dalam kehidupan sehari-hari.
Simbolisme dan Refleksi
Selanjutnya, “menanti setalen tersisih, sisa oleh-oleh anting-anting sianak” menunjukkan harapan akan sesuatu yang lebih baik, meskipun saat ini terasa tersisih. Sisa oleh-oleh ini bisa diartikan sebagai kenangan atau impian yang tertinggal, menggambarkan bagaimana kehidupan sering kali dipenuhi dengan pengorbanan.
Akhir puisi, “melangsing di jalan-jalan tepi langit, basah seteguk dari sumur air timba,” memberikan gambaran tentang perjalanan yang berkelanjutan. “Jalan-jalan tepi langit” melambangkan harapan dan kebebasan, sementara “basah seteguk dari sumur air timba” menunjukkan kebutuhan akan sesuatu yang sederhana namun berharga dalam hidup.
Puisi "Lelaki Penjual Kuali" karya Sabar Anantaguna adalah karya yang menggugah kesadaran tentang kehidupan sehari-hari yang sering kali terabaikan. Melalui bahasa yang kaya dan simbolisme yang mendalam, puisi ini berhasil menangkap esensi perjuangan, kesedihan, dan harapan. Anantaguna mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai sederhana dalam hidup dan mengingat bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan yang bisa dijadikan pegangan. Puisi ini menjadi pengingat bahwa setiap langkah dalam hidup, meskipun berat, memiliki makna dan tujuan yang lebih dalam.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.