Lelaki Korea
untuk Kim Byong Hyu
berdiri di pantai landai
kakinya basah disimbur ombak;
ombak yang menyimbur di sini
mendampar pula di pantai jauh, di selatan.
teringat Pusan
teringat ibu yang dikasihi
bungkuk mendukung derita;
teringat ayah yang tua
mati duduk disergap lapar.
selama ada luka
tersayat di muka,
di bawah langit yang sama
di atas tanah yang sama
tapi terpisah,
masih ada janji
terpahat di hati,
Korea megah
satu dan merah
pasti berdiri.
Wonsan (Korea), September 1959
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi "Lelaki Korea" karya HR. Bandaharo menggambarkan kisah seorang lelaki Korea yang berdiri di tepi pantai, mengingat tanah airnya yang terpisah akibat perang dan perpecahan. Dalam puisi ini, terdapat elemen-elemen kuat tentang kerinduan, penderitaan, serta harapan untuk bersatunya Korea. Lewat bait-baitnya, Bandaharo mengangkat tema tentang semangat perlawanan terhadap penindasan dan janji persatuan yang abadi.
Gambaran Alam sebagai Cerminan Perasaan
Pada awal puisi, kita dibawa pada suasana seorang lelaki yang berdiri di pantai, dengan "kakinya basah disimbur ombak". Pantai dan ombak menjadi simbol penghubung antara ruang dan waktu, yang menghubungkan kenangan akan masa lalu dengan realitas yang terjadi di masa kini. Ombak yang menyimbur di pantai menjadi metafora perasaan lelaki tersebut yang terkenang akan tanah airnya di Korea Selatan, terutama Pusan, tempat ia dilahirkan.
Melalui alam, Bandaharo menghadirkan rasa kerinduan yang mendalam. Frasa "ombak yang menyimbur di sini, mendampar pula di pantai jauh, di selatan" memberikan kesan bahwa meskipun terpisah oleh jarak, ingatan akan kampung halaman tetap hidup di hati lelaki Korea tersebut. Ini adalah bentuk refleksi bahwa rasa keterhubungan dengan tanah air tidak bisa diputuskan meskipun fisiknya jauh dari tanah kelahiran.
Kenangan akan Orang Tua dan Penderitaan Rakyat
Kenangan akan ibu dan ayahnya yang menderita menjadi salah satu titik sentral dalam puisi ini. "Teringat Pusan, teringat ibu yang dikasihi, bungkuk mendukung derita" menggambarkan bagaimana ibu dari lelaki Korea tersebut memikul beban penderitaan yang sangat berat. Bandaharo menggunakan visualisasi fisik, seperti bungkuk, untuk menggambarkan penderitaan psikologis dan emosional akibat perang dan keterpisahan keluarga.
Sementara itu, sosok sang ayah yang "mati duduk disergap lapar" menunjukkan dampak dahsyat perang dan perpecahan Korea. Ayahnya meninggal akibat kelaparan, yang menjadi simbol penderitaan rakyat Korea di masa perang. Bandaharo dengan jernih menunjukkan bagaimana penderitaan ini bukan hanya fisik, tetapi juga perasaan yang dalam akibat hilangnya keluarga dan kehilangan rasa aman.
Harapan akan Persatuan Korea
Di tengah penderitaan yang dialami, puisi ini juga dipenuhi dengan harapan akan persatuan dan masa depan yang lebih baik. "Selama ada luka, tersayat di muka, di bawah langit yang sama, di atas tanah yang sama" menggarisbawahi bahwa meskipun Korea terpisah, rakyatnya tetap berada di bawah langit yang sama dan di tanah yang sama, sehingga harapan untuk bersatu selalu ada. Luka yang tersayat di muka menjadi lambang perpecahan dan penderitaan yang terlihat jelas, tetapi tidak memadamkan semangat untuk kembali bersatu.
Janji akan persatuan dan kebanggaan sebagai bangsa Korea ditunjukkan dalam kalimat "masih ada janji terpahat di hati, Korea megah, satu dan merah pasti berdiri". Janji tersebut menjadi simbol perjuangan yang masih hidup di hati rakyat Korea, dan keyakinan bahwa suatu hari nanti Korea akan bersatu kembali sebagai bangsa yang megah dan merdeka. Warna merah dalam puisi ini mencerminkan semangat perjuangan dan kebanggaan nasional.
Pesan Perjuangan dan Harapan di Tengah Penderitaan
Puisi "Lelaki Korea" karya HR. Bandaharo tidak hanya menggambarkan kisah individu yang merindukan tanah airnya, tetapi juga menggambarkan semangat kolektif rakyat Korea yang menderita akibat perang dan perpecahan. Melalui sosok lelaki yang berdiri di pantai, Bandaharo mengajak pembaca untuk merasakan kesedihan, kerinduan, sekaligus harapan yang hidup di hati rakyat Korea.
Pesan utama dari puisi ini adalah bahwa meskipun terpisah oleh perang dan perbedaan, persatuan Korea masih mungkin tercapai. Perjuangan untuk bersatu tidak hanya melawan penindasan dari luar, tetapi juga melawan luka yang telah membelah rakyat Korea. Dengan janji yang terpahat di hati mereka, harapan akan Korea yang satu dan merah tetap hidup.
Bandaharo dengan cermat merangkai kata-kata yang penuh dengan simbol dan makna, mengingatkan kita bahwa meskipun dunia ini penuh dengan penderitaan, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik jika rakyat bersatu dalam semangat perjuangan dan keadilan.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.