Puisi: Korea Merah di Bumi Merah (Karya HR. Bandaharo)

Puisi "Korea Merah di Bumi Merah" adalah perayaan semangat revolusi, persatuan, dan perjuangan rakyat Korea Utara yang tidak kenal lelah.
Korea Merah di Bumi Merah
untuk Song Yung

Manusia, rumput, pasir dan batu,
bukit, gedung, jembatan, jadi satu
lama juang yang tiada terkalahkan.
Bumi tempat tegak dan tempat tumbuh ini
adalah hak milik sah yang abadi:
di bumi merah ini Korea Rakyat ditegakkan.

Partai, pemerintah dan Rakyat,
perkakas, senjata dan karya, terikat kuat
dalam paduan ideologi tiada terkalahkan.
Korea tempat hidup dan tempat berkembang ini
adalah hak milik sah yang abadi:
di Korea merah ini Cita-Cita Rakyat ditegakkan.

Di Korea merah
alam dan Rakyat,
manusia, Partai dan alat,
satu, padu dan bulat.

Kaesong (Korea), September 1959

Sumber: Dari Bumi Merah (1963)

Analisis Puisi:

Puisi "Korea Merah di Bumi Merah" karya HR. Bandaharo merupakan ekspresi kuat tentang persatuan, semangat perjuangan, dan ideologi yang kokoh dari Korea Utara, yang dalam pandangan penyair adalah simbol dari keteguhan dan ketahanan rakyatnya. Dalam puisi ini, Bandaharo menggambarkan bagaimana seluruh elemen kehidupan—manusia, alam, dan struktur sosial—menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan serta cita-cita rakyat Korea.

Tema dan Makna

Puisi ini secara dominan mengangkat tema revolusi, persatuan, dan perjuangan ideologis. Korea yang digambarkan sebagai "merah" bukan hanya merujuk pada warna bendera atau lambang revolusi, tetapi juga melambangkan perlawanan yang penuh semangat dan dedikasi pada komunisme yang dianut oleh Korea Utara. Warna merah dalam konteks ini sering kali diasosiasikan dengan keberanian, pengorbanan, serta keyakinan terhadap cita-cita sosialis dan komunis.

Pada bait pertama, penyair menggambarkan bagaimana "manusia, rumput, pasir, dan batu, bukit, gedung, jembatan" menjadi satu, menunjukkan bahwa dalam perjuangan rakyat Korea, seluruh elemen kehidupan—baik alam maupun buatan manusia—berpadu dalam satu kesatuan. Ini menegaskan konsep kolektivisme yang menjadi landasan bagi negara-negara komunis, di mana tidak ada perbedaan antara alam, manusia, dan pembangunan; semuanya bersama-sama berkontribusi untuk tujuan bersama.

Frasa "lama juang yang tiada terkalahkan" menggambarkan sejarah panjang perjuangan rakyat Korea untuk mempertahankan identitas, ideologi, dan kemerdekaan mereka. Korea adalah "hak milik sah yang abadi", menunjukkan bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan oleh rakyat adalah sesuatu yang tak bisa diganggu gugat oleh kekuatan asing mana pun.

Persatuan Ideologi dan Rakyat

Bait kedua menggarisbawahi pentingnya Partai, pemerintah, rakyat, serta alat dan senjata sebagai kekuatan yang tak terpisahkan dalam perjuangan. Bandaharo menekankan bahwa partai dan ideologi adalah pusat dari keberhasilan perjuangan rakyat Korea, yang berfungsi sebagai pemersatu bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan peran sentral ideologi komunis dalam kehidupan politik dan sosial Korea Utara, di mana "cita-cita rakyat" adalah cita-cita bersama yang diperjuangkan oleh seluruh elemen negara.

Dalam puisi ini, Bandaharo juga menggarisbawahi konsep kesetiaan terhadap tanah air dan cita-cita sosialis. Rakyat Korea, menurut penyair, tidak hanya hidup di tanah yang merah, tetapi juga menjadikan tanah itu sebagai simbol dari perjuangan dan pengorbanan. Mereka terikat oleh cita-cita besar yang tak bisa dipisahkan dari sejarah dan masa depan negara.

Simbolisme "Merah" dan Alam

Kata "merah" dalam puisi ini memiliki makna simbolis yang mendalam. Selain mewakili warna yang sering diasosiasikan dengan revolusi dan komunisme, merah juga melambangkan darah—simbol dari pengorbanan yang diberikan oleh para pejuang demi kemerdekaan dan keadilan. Di Korea Utara, merah juga merupakan simbol dari dedikasi total kepada negara dan ideologi Juche, yang menekankan kemandirian dan keberanian dalam menghadapi tantangan eksternal.

Selain itu, alam yang digambarkan dalam puisi ini—rumput, pasir, batu, bukit, gedung, dan jembatan—menjadi simbol dari keterhubungan yang erat antara rakyat dan tanah air mereka. Alam bukanlah entitas yang terpisah, melainkan bagian dari perjuangan kolektif rakyat untuk membangun negara yang berdaulat dan makmur. Dalam visi Bandaharo, alam dan manusia menjadi satu dalam tujuan mereka yang besar, yaitu mempertahankan kedaulatan dan cita-cita bersama.

Puisi "Korea Merah di Bumi Merah" adalah perayaan semangat revolusi, persatuan, dan perjuangan rakyat Korea Utara yang tidak kenal lelah. Melalui penggunaan simbol warna merah, Bandaharo menekankan pentingnya kolektivisme, loyalitas terhadap ideologi, dan semangat pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan. Puisi ini menyoroti bagaimana rakyat Korea Utara, dengan segala keterhubungan mereka dengan alam dan kehidupan sosial, terus memperjuangkan cita-cita mereka yang abadi, di bawah bendera komunisme yang teguh.

Puisi ini juga mengingatkan kita akan kekuatan dari persatuan ideologi dan tindakan kolektif, di mana seluruh rakyat, pemerintah, dan partai bekerja sama untuk tujuan yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. Dengan cara ini, Korea merah menjadi lambang dari negara yang tidak hanya merdeka secara fisik, tetapi juga merdeka secara ideologis dan spiritual, di mana cita-cita rakyat ditegakkan tanpa kompromi.

HR. Bandaharo
Puisi: Korea Merah di Bumi Merah
Karya: HR. Bandaharo

Biodata HR. Bandaharo:
  • HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
  • HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
  • HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
© Sepenuhnya. All rights reserved.