Kongres Rakyat
Kepada Irian Barat
Biarkan saja, Irian Kasih
ada yang nikmat dalam memfitnah
mengejek persatuan bertunas indah.
Kerinduan kepadamu detik ini
kita tamatkan jadi mainan
segala kelicikan dan kepalsuan
dan kilau warna cendrawasih
bukan bandingan lagu yang sumbang.
Kerinduan kepadamu detik ini
senyawa gairah yang bernyanyi
memeluk persatuan mekar menyala
kini bersinar se-Nusantara
pembukaan zaman segala jaya.
Biarkan saja, Irian Kasih
segala musna yang mesti musna
kita indah di jalan joang yang panjang.
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Analisis Puisi:
Puisi "Kongres Rakyat" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang sarat dengan semangat perjuangan, persatuan, dan kritik terhadap kepalsuan yang sering mewarnai kehidupan sosial-politik. Dengan bahasa yang tegas dan penuh simbolisme, Sidharta menghadirkan gambaran mengenai semangat persatuan bangsa, terutama dalam konteks Irian (sekarang Papua), yang sering kali menjadi pusat perhatian dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Persatuan yang Terus Berbunga
Bagian awal dari puisi ini mengangkat tema persatuan yang dihadapkan pada fitnah dan ejekan. "Biarkan saja, Irian Kasih, ada yang nikmat dalam memfitnah," membuka dengan ironi yang kuat, menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang menikmati perpecahan atau menyebarkan kebohongan demi kepentingan tertentu. Kata "Irian Kasih" memberikan nuansa personal dan penuh kasih kepada Papua, menekankan ikatan emosional yang dalam antara penulis dan tanah Papua. Di sini, Sidharta mengungkapkan bahwa persatuan Indonesia, yang "bertunas indah," sering kali menjadi objek fitnah atau dijadikan mainan oleh mereka yang memiliki agenda tersembunyi.
Namun, di tengah ejekan dan fitnah itu, persatuan tidak bisa dihancurkan. Persatuan dilambangkan sebagai tunas yang indah, yang terus tumbuh meski diserang oleh kebohongan dan kelicikan. Ini adalah cerminan dari semangat bangsa Indonesia yang tidak pernah pudar meskipun dihadapkan pada tantangan besar.
Kritik terhadap Kepalsuan dan Kebohongan
Sidharta kemudian menyoroti bagaimana kerinduan akan persatuan sering kali dimanfaatkan oleh kepalsuan dan kelicikan. "Segala kelicikan dan kepalsuan" menjadi musuh utama dari persatuan yang murni. Di sini, puisi ini tampak berbicara tentang bagaimana dalam sejarah perjuangan bangsa, ada banyak aktor yang menggunakan manipulasi dan kepentingan pribadi untuk memecah belah rakyat. Meski begitu, Sidharta menegaskan bahwa "kilau warna cendrawasih"—yang melambangkan keindahan Papua—tidak dapat dibandingkan dengan "lagu yang sumbang" dari fitnah dan kebohongan tersebut. Cendrawasih di sini tidak hanya melambangkan keindahan alam Papua, tetapi juga kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh daerah ini, yang tak bisa dirusak oleh upaya untuk menciptakan kekacauan.
Gairah Persatuan dan Harapan
Pada bagian selanjutnya, Sidharta mengungkapkan kerinduan yang bernyanyi dalam persatuan. Ada gairah yang membara di balik persatuan yang "mekar menyala" dan kini "bersinar se-Nusantara." Ini menandakan semangat kebangsaan yang menyala di seluruh wilayah Indonesia, dan persatuan ini tidak hanya bersifat lokal tetapi nasional. Persatuan ini dipandang sebagai "pembukaan zaman segala jaya," yang memberikan harapan bagi masa depan yang lebih cerah dan sejahtera.
Gairah dalam persatuan ini menjadi simbol kekuatan yang mampu membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan. Sidharta menyiratkan bahwa, meskipun banyak rintangan dan tantangan, persatuan yang dipeluk oleh rakyat Indonesia adalah kekuatan yang mampu menghadapi segala macam kepalsuan dan kelicikan.
Optimisme dalam Perjuangan
Bagian terakhir dari puisi ini menegaskan kembali keteguhan dalam perjuangan. "Biarkan saja, Irian Kasih, segala musna yang mesti musna," adalah ajakan untuk membiarkan segala hal yang tidak penting atau merugikan berlalu, dan fokus pada hal-hal yang lebih besar, yaitu perjuangan yang terus berjalan. Di sini, Sidharta mengingatkan bahwa perjuangan panjang bangsa Indonesia, terutama di Papua, adalah jalan yang tidak mudah, tetapi indah karena diisi oleh semangat persatuan yang terus menyala.
Penulis menggambarkan perjuangan sebagai sesuatu yang panjang namun memiliki keindahan tersendiri. "Kita indah di jalan joang yang panjang," adalah penegasan bahwa perjuangan untuk mencapai persatuan dan kemerdekaan penuh tidaklah mudah, tetapi layak ditempuh karena tujuan yang mulia—yaitu keadilan, kemerdekaan, dan persatuan yang hakiki.
Puisi "Kongres Rakyat" karya Adi Sidharta adalah seruan kuat terhadap pentingnya persatuan dan perjuangan rakyat, khususnya di Irian (Papua). Sidharta dengan jelas mengkritik kepalsuan, kelicikan, dan manipulasi yang sering kali mengganggu upaya persatuan nasional. Namun, ia juga menekankan bahwa persatuan dan perjuangan rakyat Indonesia adalah kekuatan yang tak dapat dirusak oleh fitnah dan kebohongan.
Melalui simbolisme yang kaya, Sidharta berhasil menyampaikan pesan optimisme dan harapan bahwa meskipun jalan menuju kebebasan dan persatuan penuh mungkin panjang, ada keindahan dan kemuliaan di setiap langkah perjuangan tersebut. Persatuan rakyat, yang didasari oleh cinta terhadap tanah air dan keyakinan pada masa depan yang lebih baik, menjadi fondasi untuk menghadapi segala macam tantangan.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.