Puisi: Kolusi (Karya Sobron Aidit)

Puisi "Kolusi" karya Sobron Aidit merupakan sebuah kritik tajam terhadap realitas politik yang penuh dengan manipulasi dan persekongkolan.
Kolusi

Akhir Januari-awal Februari
salju membadai ganas di Eropa
bagaimanapun menakutkan kalau keharusan pergi
ya harus pergi
kerja cari makan cari kehidupan
paling penting berpikir sudah itu berusaha
berjalan menunduk dan menengadah
tetap saja teringat kejadian sehari-hari
betapakah tidak akan panas hati
di tengah badai salju itu
mendengar kabar persekongkolan kolusi
sadapan tilpun antara Ghalib dan Habibi
masih tetap ngotot menipu
membangunkan dinasti baru
yang padahal nyaris jadi tumpukan tahi babi!

Sudah diserahkan seekor ayam betina
sudah dihadiahkan seekor ayam jantan
tetap saja kalau loyang ya tetap loyang
kalau memang emas ya tetap emas
dan kata temanku Mas Hersri
kalau memang intan ke luar dari mulut anjing pun
ya tetap saja intan
begitulah sebuah kisah
yang satu berkelit membantah
yang satu berkeras mengusut
ternyata dua-duanya hanyalah sampah sejarah!

21 Februari 1999

Analisis Puisi:

Puisi "Kolusi" karya Sobron Aidit merupakan sebuah kritik tajam terhadap realitas politik yang penuh dengan manipulasi dan persekongkolan. Dalam puisi ini, Sobron menggambarkan kolusi sebagai suatu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat, menyoroti praktik korupsi yang merajalela di kalangan elit politik. Dengan latar suasana dingin badai salju di Eropa, puisi ini menjadi refleksi kritis atas situasi politik di Indonesia, khususnya terkait skandal persekongkolan antara pejabat-pejabat tinggi.

Tema dan Makna

Puisi ini dengan jelas mengangkat tema kolusi dan korupsi, yaitu praktik persekongkolan yang terjadi di antara penguasa. Sobron menyinggung persekongkolan yang melibatkan tokoh-tokoh seperti Ghalib dan Habibi, yang pada masa itu terkait dengan skandal besar di Indonesia. Kolusi dalam konteks ini adalah kesepakatan rahasia antara pejabat-pejabat untuk mempertahankan kekuasaan atau melindungi kepentingan pribadi mereka, bahkan dengan cara yang melanggar hukum.

Penggunaan metafora dan simbol dalam puisi ini memperkuat pesan kritik sosialnya. "Sudah diserahkan seekor ayam betina, sudah dihadiahkan seekor ayam jantan" menggambarkan pemberian hadiah atau suap yang sering dilakukan dalam lingkup kekuasaan. Namun, meskipun hadiah diberikan, Sobron menegaskan bahwa karakter dasar seseorang tidak akan berubah: "kalau loyang ya tetap loyang, kalau memang emas ya tetap emas". Ini menyoroti bahwa kebenaran dan integritas tidak bisa dibeli atau digantikan oleh suap atau manipulasi.

Latar dan Simbolisme

Latar yang digambarkan di awal puisi adalah badai salju di Eropa, yang kontras dengan tema politik Indonesia. Di tengah badai salju yang dingin dan keras, penyair menggambarkan seseorang yang harus bekerja untuk mencari kehidupan. Di sini, salju bisa dilihat sebagai simbol kesulitan hidup yang dihadapi oleh rakyat biasa, sementara mereka masih harus bertahan hidup di tengah kenyataan yang pahit.

Kabar persekongkolan kolusi menjadi sumber kemarahan yang menyertai perjalanan hidup ini. Penyair menunjukkan betapa sulitnya mendengar tentang sadapan telepon antara Ghalib dan Habibi, yang menunjukkan manipulasi yang masih terjadi di balik layar. Ini menimbulkan panas hati di tengah badai salju, menggambarkan perasaan frustrasi dan kemarahan rakyat terhadap korupsi yang terus berlangsung.

Kritik Terhadap Penguasa

Puisi ini secara langsung mengkritik tokoh-tokoh politik yang dianggap bertanggung jawab atas kolusi dan manipulasi kekuasaan. Sobron menggunakan kata-kata yang tegas untuk menyatakan bahwa persekongkolan semacam itu hanya akan berakhir sebagai "sampah sejarah." Penguasa yang berusaha mempertahankan dinasti atau kekuasaan dengan cara licik, menurut penyair, tidak akan pernah diingat sebagai sosok yang mulia, melainkan hanya sebagai bagian dari kebobrokan sejarah.

Sobron juga menyebutkan bahwa dua pihak yang terlibat dalam konflik politik ini, baik yang berkelit maupun yang berkeras, sama-sama tidak bisa dipercaya dan hanya menambah kekecewaan rakyat. Ini mencerminkan betapa mendalamnya kekecewaan publik terhadap para pemimpin politik yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi malah terjebak dalam lingkaran korupsi.

Metafora dan Simbol Intan

Salah satu bagian menarik dari puisi ini adalah penggunaan metafora intan yang keluar dari mulut anjing. Sobron mengutip perkataan temannya, Mas Hersri, bahwa meskipun sesuatu yang bernilai tinggi (intan) berada dalam situasi atau tempat yang hina (mulut anjing), nilainya tetap tidak berubah. Ini menggambarkan bahwa kebenaran dan integritas akan tetap menjadi kebenaran, meskipun berada di tengah-tengah kebohongan atau kejahatan. Kebenaran tidak bisa diubah oleh keadaan yang buruk, dan ia akan tetap bersinar meski berada dalam situasi yang paling kelam.

Puisi "Kolusi" karya Sobron Aidit adalah sebuah kritik sosial yang kuat terhadap fenomena kolusi dan korupsi di kalangan pejabat tinggi. Melalui penggunaan bahasa yang lugas dan metafora yang tajam, Sobron mengecam persekongkolan politik yang mengkhianati rakyat dan menghancurkan integritas bangsa. Puisi ini menegaskan bahwa kebenaran dan kejujuran tidak bisa dipalsukan, dan para penguasa yang terlibat dalam korupsi pada akhirnya hanya akan menjadi sampah sejarah.

Sobron menutup puisinya dengan nada yang penuh kemarahan dan kekecewaan, mencerminkan frustrasi rakyat yang terus-menerus dikhianati oleh para pemimpin yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan negara. "Kolusi" menjadi seruan bagi pembaca untuk tetap waspada dan kritis terhadap kekuasaan yang korup, serta untuk tidak membiarkan keadilan dan kebenaran tenggelam dalam kebohongan dan manipulasi.

Puisi Sobron Aidit
Puisi: Kolusi
Karya: Sobron Aidit
© Sepenuhnya. All rights reserved.