Puisi: Kolaborasi Langit dan Bumi (Karya Rin)

Puisi "Kolaborasi Langit dan Bumi" karya Rin menawarkan pandangan yang menarik mengenai ketidakseimbangan dan ketidakselarasan antara dua unsur ...

Kolaborasi Langit dan Bumi


Langit
Bual karena di atas
Kata melantur dalam keadaan mabuk
Gawai selalu dimainkan
Sehingga buai menjadi lupa

Bumi
Piawai karena di bawah
Dawai menjadi sarang
Menjaga agar tidak meletup

Kolaborasi langit dan bumi
Sumbing, tidak saling melengkapi
Sumbang, menyombongkan diri

Bandung, 10 Juni 2024

Analisis Puisi:

Puisi "Kolaborasi Langit dan Bumi" karya Rin menawarkan pandangan yang menarik mengenai ketidakseimbangan dan ketidakselarasan antara dua unsur alam yang sering dianggap saling melengkapi: langit dan bumi. Meskipun secara alami mereka adalah pasangan yang seharusnya harmonis, puisi ini menggambarkan ketegangan dan ketidakharmonisan di antara keduanya.

Langit: Simbol Kehidupan Modern

Dalam bait pertama, langit digambarkan sebagai sesuatu yang “bual karena di atas” dan “kata melantur dalam keadaan mabuk.” Ini menunjukkan bahwa langit, yang biasanya dianggap sebagai lambang kebebasan dan cita-cita tinggi, telah berubah menjadi sesuatu yang sombong dan tidak terkendali. Penggunaan gawai yang “selalu dimainkan” mencerminkan kehidupan modern yang terus bergantung pada teknologi, dan “buai menjadi lupa” menegaskan bahwa ketergantungan ini membuat manusia terjebak dalam ilusi kesenangan sesaat tanpa memedulikan realitas di sekitarnya.

Bumi: Simbol Kesederhanaan dan Keseimbangan

Sementara itu, bumi dalam bait kedua digambarkan lebih stabil dan “piawai karena di bawah.” Bumi menjaga keseimbangan dan ketenangan dengan “dawai menjadi sarang,” di mana dawai bisa merujuk pada harmoni, kehalusan, atau bahkan koneksi antar-elemen. Bumi bertanggung jawab untuk “menjaga agar tidak meletup,” menggambarkan ketahanan dan pengendalian, kontras dengan langit yang lebih liar dan penuh kekacauan.

Kolaborasi yang Gagal

Di bait terakhir, kolaborasi antara langit dan bumi digambarkan sebagai “sumbing, tidak saling melengkapi” dan “sumbang, menyombongkan diri.” Kata sumbing menyiratkan keretakan atau cacat dalam hubungan mereka, menunjukkan bahwa meskipun seharusnya langit dan bumi bekerja sama, mereka tidak dapat berfungsi dengan harmonis. Ketidakselarasan ini semakin diperkuat oleh kata sumbang, yang berarti sesuatu yang terdengar tidak cocok atau tidak serasi, di mana mereka lebih sibuk menyombongkan diri daripada berusaha mencapai keseimbangan.

Makna yang Lebih Dalam

Puisi ini seakan memberikan kritik terhadap kondisi masyarakat modern yang sering kali terjebak dalam kecanggihan teknologi dan kehilangan keseimbangan dengan dunia nyata. Langit bisa dianggap sebagai representasi dari dunia digital dan kehidupan yang terus berlari, sementara bumi melambangkan akar dan keseimbangan yang ditinggalkan.

Puisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada potensi untuk kolaborasi antara unsur-unsur yang berbeda—antara modernitas dan tradisi, antara kemajuan dan alam—kolaborasi tersebut bisa gagal jika tidak ada keselarasan atau saling memahami.

Karina Eka Putri
Puisi: Kolaborasi Langit dan Bumi
Karya: Rin

Biodata Rin:
  • Karina Eka Putri lahir pada tanggal 6 Desember 1998 di Bandung.
  • Rin mempunyai punya hobi literasi sejak kecil, namun karya-karyanya baru dipublikasikan pada tahun 2021.
  • Buku Antologi "Setumpuk Rindu untuk Ayah", terdapat tiga puisi yang ditulis oleh Rin, di antaranya "Ayahku, Pahlawanku", "Ayah, Aku Rindu" dan "Pantaskah Aku Memanggilmu, Ayah?".
  • Ia aktif menulis di Asqa Imagination School (AIS) #46.
© Sepenuhnya. All rights reserved.