Puisi: Kecapi Hati (Karya Adi Sidharta)

Puisi "Kecapi Hati" karya Adi Sidharta adalah refleksi mendalam mengenai kebebasan, seni, perlawanan terhadap penindasan, dan persatuan ...
Kecapi Hati
Kepada Panitya Nasional
Konferensi Perdamaian Asia-Pasifik

Malam itu kita saling berpandangan
Ngantung, Sontani, Bas dan aku-
di luar menderu trem listrik lalu.

Abad ini adalah tantangan kepada
kita untuk menyatakan seni
sebagian dari hati yang bertemu
di gedung ini, dari bang beca
berpacu lewat istana Merdeka
jalang genit dekat Capitol
dan Ciliwung ngalir abadi
dari bintang, dari musik
dari segala.

Kita dengar nama Picasso dan
merpati yang bikin sebagian orang
mengutuk pakai kamus Amerika
dan sambutan jujur dari mereka
yang tak bisa kenal kata menyerah.......
suatu daya menyala di dalam hati
ini kekuatan tumbuh dari kandungan
sejarah, di mana-mana bunga betunas
tersenyum menatap cahaya pagi
--- kawan-kawan!, kita tidak sendirian.

Lihat, Suwarti maju ke muka
menjeritkan derita wanita yang dirobek
diperkosa di Korea di mana-mana
di mana bedil masih berkata
dan malam itu kita saling berpandangan
abad ini adalah tantangan kepada
Menara Gading yang sudah mampus
dan kita jemu mulut bau Coca Cola
mari terbangkan merpati, ke Peking
berjabat tangan dengan Hikmet dan Aragon
Mao Tun, Ehrenburg dan lain-lain
tanda kita terima tantangan.

Malam itu kita lantangkan
kecapi hati penuh daya kebebasan
ya, kawan, kita sebagian dari segala!

Sumber: Rangsang Detik (1957)

Analisis Puisi:

Puisi "Kecapi Hati" karya Adi Sidharta adalah refleksi mendalam mengenai kebebasan, seni, perlawanan terhadap penindasan, dan persatuan internasional dalam memperjuangkan perdamaian. Dalam puisi ini, penyair mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana seni dan perlawanan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia, khususnya di abad yang penuh konflik dan ketidakadilan ini.

Seni sebagai Cerminan Hati dan Tantangan Abad Ini

Puisi ini dimulai dengan suasana reflektif: “Malam itu kita saling berpandangan / Ngantung, Sontani, Bas dan aku— / di luar menderu trem listrik lalu.” Dengan suasana yang tenang, Adi Sidharta membawa kita pada sebuah momen di mana para tokoh, mungkin rekan seperjuangan atau sahabat, saling berbagi pemikiran. Mereka berdiri di tengah abad yang penuh tantangan, yang membutuhkan tanggapan dari seni dan hati nurani manusia.

Seni, dalam puisi ini, tidak hanya dilihat sebagai ekspresi individual, tetapi sebagai respons terhadap realitas yang keras dan penuh tantangan. “Abad ini adalah tantangan kepada kita untuk menyatakan seni / sebagian dari hati yang bertemu.” Adi Sidharta menyatakan bahwa seni adalah kekuatan yang muncul dari hati, mencerminkan kebenaran yang harus disuarakan di tengah abad yang penuh gejolak. Ini adalah panggilan bagi para seniman dan intelektual untuk tidak hanya diam, tetapi untuk menciptakan karya yang berbicara tentang keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan.

Pengaruh Sosial dan Seni dalam Perjuangan Global

Di bagian tengah puisi, penyair menghubungkan seni dengan perjuangan sosial. Ia menyebut nama besar seperti Picasso, yang terkenal dengan lukisannya Guernica—sebuah karya yang mengutuk kebrutalan perang. Picasso dan merpatinya menjadi simbol perdamaian yang kontroversial: “Kita dengar nama Picasso dan / merpati yang bikin sebagian orang / mengutuk pakai kamus Amerika.” Ini merujuk pada bagaimana seni bisa dipersepsikan berbeda, terutama di tengah perdebatan ideologis antara Timur dan Barat selama Perang Dingin.

Puisi ini menekankan pentingnya solidaritas internasional dalam perjuangan melawan ketidakadilan: "dan sambutan jujur dari mereka / yang tak bisa kenal kata menyerah." Penyair mengajak pembaca untuk merangkul keberanian dan kegigihan dalam memperjuangkan keadilan. Ini adalah seruan untuk terus berjuang dan menolak segala bentuk penindasan, seperti yang terlihat dalam gambaran derita wanita yang diperkosa di Korea. Dalam puisi ini, ketidakadilan terhadap wanita dijadikan simbol kekejaman perang dan penjajahan.

Kecapi Hati: Simbol Kebebasan

Judul puisi "Kecapi Hati" sendiri mengandung makna yang mendalam. Kecapi, alat musik tradisional Indonesia, dalam puisi ini melambangkan suara hati dan kebebasan. "Malam itu kita lantangkan / kecapi hati penuh daya kebebasan." Penyair mengajak kita untuk tidak hanya merasakan kebebasan dalam tindakan fisik, tetapi juga dalam ekspresi hati melalui seni dan musik. Kebebasan ini, menurut Sidharta, adalah daya yang tumbuh dari sejarah yang panjang, dari perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan.

“Ya, kawan, kita sebagian dari segala!” adalah pengingat bahwa kita semua adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar. Kebebasan dan perdamaian bukan hanya milik segelintir orang, tetapi tanggung jawab kolektif yang harus diperjuangkan bersama-sama. Melalui solidaritas dengan para pemikir dan seniman internasional seperti Hikmet, Aragon, Mao Tun, dan Ehrenburg, penyair menekankan bahwa perjuangan melawan penindasan tidak terbatas pada satu bangsa atau satu budaya saja.

Penolakan Budaya Konsumerisme

Satu bagian penting dalam puisi ini adalah kritik terhadap budaya konsumerisme yang digambarkan sebagai "mulut bau Coca Cola." Ini adalah sindiran terhadap pengaruh kapitalisme Amerika dan budaya pop yang mulai mendominasi dunia pasca-Perang Dunia II. Penyair merasa jemu dengan budaya yang dangkal, yang hanya memfokuskan pada konsumsi tanpa memperhatikan masalah-masalah sosial yang mendalam. Ini adalah bentuk penolakan terhadap budaya yang tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.

Puisi "Kecapi Hati" karya Adi Sidharta adalah seruan untuk merangkul seni sebagai alat perjuangan, menolak penindasan, dan memperjuangkan kebebasan. Melalui seni, kita bisa menyatukan hati dalam perlawanan terhadap ketidakadilan. Adi Sidharta menggambarkan seni sebagai kekuatan yang tumbuh dari sejarah perlawanan manusia dan sebagai sarana untuk mengekspresikan perlawanan terhadap kekuatan yang menindas.

Puisi ini juga merupakan ajakan untuk bekerja sama dalam skala global, melibatkan seniman dan pemikir dari seluruh dunia dalam perjuangan melawan ketidakadilan. Melalui simbol kecapi dan merpati, Adi Sidharta menyatakan bahwa meskipun dunia penuh dengan tantangan, harapan dan kebebasan tetap bisa diperjuangkan melalui seni dan solidaritas antarbangsa.

Adi Sidharta
Puisi: Kecapi Hati
Karya: Adi Sidharta

Biodata Adi Sidharta:
  • Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.