Kebisuan
Dia tidak tertawa
belum tentu manusia murung
belum tentu hujan langit mendung
hidup penuh tanda tanya
Betapa berat duka melahirkan tawa
betapa gelap penjara tertembus cahaya
kalaupun dalam hatinya
Bulan bertengger di angan‐angan
Walau mimpi matahari setiap pagi tiba
Kicau burung kokok ayam persetan orang lapar
baginya fajar dingin berubah segar
Tambah umur hidup makin berharga
dalam makna
Perut yang lengket kaget. Pintu diketok. Bukan ketokan
Di sini tanpa sopan santun permisi
bagi manusia kehilangan status
Status barunya memberi bayangan
kejaran pemeriksaan gencar
Dalam selku tak ada kamus Purwadarminta
Apakah penjara termasuk Indonesia?
Dokter memeriksa berusaha menyembuhkan
secuil hidup yang dicincang di atas pinggan
diperiksa sebagai tahanan tanpa status sukar diperhitungkan
Tidak mudah dikatakan
Apa sebenarnya arti kata: periksa.
Dalam sel tak ada kamus Indonesia.
Lalu
Apakah kamus bisu?
Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)
Analisis Puisi:
Puisi "Kebisuan" karya Sabar Anantaguna membawa pembaca ke dalam suasana yang penuh ketegangan dan renungan mendalam tentang makna kehidupan dalam situasi yang serba terbatas dan penuh tekanan. Dalam puisi ini, Sabar menyuarakan pengalaman batin seseorang yang terpenjara, baik secara fisik maupun psikis. Dengan menggunakan gaya bahasa yang padat namun penuh makna, ia menciptakan gambaran tentang kebisuan, keterasingan, dan ketidakberdayaan.
Pembungkaman dalam Sunyi
Baris pembuka puisi ini langsung menyuguhkan pertanyaan besar: apakah ketidaktawaan adalah tanda kesedihan? Apakah mendung selalu menjadi pertanda hujan? Dalam hal ini, penyair menyiratkan bahwa ekspresi lahiriah seseorang sering kali tidak menggambarkan kenyataan batinnya. Ketidakmampuan untuk tertawa tidak selalu mencerminkan keputusasaan, dan hujan belum tentu berasal dari langit yang mendung.
Ini mencerminkan bagaimana kebisuan, atau ketidakmampuan untuk bersuara, bukanlah sekadar ketiadaan suara tetapi lebih kepada bentuk keterpaksaan untuk diam. Ada banyak makna dan emosi yang terpendam di balik kebisuan tersebut. Dalam konteks penjara, kebisuan ini menjadi cermin dari pembungkaman yang lebih besar—pembungkaman pikiran, perasaan, dan hak untuk bersuara.
Penjara sebagai Metafora Kehidupan
Penjara dalam puisi ini tidak hanya menjadi latar fisik, tetapi juga sebuah metafora kehidupan. "Dalam selku tak ada kamus Purwadarminta"—baris ini menandakan hilangnya akses pada bahasa, pada makna, dan pada pemahaman yang mendalam tentang hidup dan eksistensi. Penjara bukan hanya menghilangkan kebebasan fisik, tetapi juga memutus seseorang dari kehidupan yang penuh makna dan hubungan yang bermakna.
Sabar Anantaguna menampilkan bagaimana penjara mengikis identitas manusia. Di penjara, seseorang kehilangan status sosialnya. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam puisi ini: "Status barunya memberi bayangan, kejaran pemeriksaan gencar." Status sebagai tahanan tanpa identitas jelas adalah simbol dari hilangnya identitas kemanusiaan itu sendiri.
Periksa dan Pertanyaan tentang Makna
Puisi ini juga membahas tema ‘pemeriksaan’, yang diulang-ulang sebagai simbol kontrol dan pengawasan berlebihan yang dialami oleh tahanan. Kata "periksa" menjadi sentral dalam puisi ini, namun tidak pernah diuraikan secara jelas maknanya. Terdapat kebingungan yang ironis dalam baris "Tidak mudah dikatakan apa sebenarnya arti kata: periksa." Dalam sel, di mana segala sesuatu diatur, bahkan bahasa dan makna dari kata-kata sehari-hari bisa berubah menjadi sesuatu yang ambigu.
Puisi ini menantang pembaca untuk merenungkan apa arti sebenarnya dari kata-kata dan tindakan yang biasa kita anggap sepele, seperti "periksa". Dalam konteks penjara, kata ini tidak lagi sekadar berarti pemeriksaan fisik, tetapi juga menjadi simbol dari pengawasan terus-menerus, pemantauan, dan kekuasaan yang tak terlihat.
Kebisuan Sebagai Resistensi
Menariknya, kebisuan dalam puisi ini tidak selalu diposisikan sebagai bentuk kelemahan atau kekalahan. Sebaliknya, kebisuan bisa juga dipandang sebagai bentuk resistensi atau perlawanan. Dalam dunia yang penuh tekanan dan pengawasan, mungkin diam adalah satu-satunya cara seseorang dapat mempertahankan sedikit kendali atas dirinya. Di sini, kebisuan bukan hanya tentang ketidakmampuan untuk berbicara, tetapi juga tentang memilih untuk tidak berbicara di bawah tekanan.
Akhir yang Bisu dan Pertanyaan Tentang Identitas
Puisi ini diakhiri dengan pertanyaan retoris yang sangat kuat: Apakah kamus bisu? Pertanyaan ini menyiratkan kehilangan bahasa, makna, dan identitas. Bagi tahanan tanpa status dan identitas yang jelas, bahkan kamus—simbol pengetahuan dan pemahaman—menjadi bisu.
Pada akhirnya, puisi "Kebisuan" berbicara tentang lebih dari sekadar pengalaman tahanan; ia adalah refleksi tentang hilangnya kemanusiaan dan identitas dalam kondisi yang ekstrem. Dengan menyoroti kebisuan sebagai respons terhadap penindasan, Sabar Anantaguna mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kata-kata, suara, dan makna bisa dihancurkan, namun di saat yang sama, bagaimana diam bisa menjadi bentuk kekuatan dan perlawanan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.