Kaum Penggarap Tanah
untuk Sabar Sitepu
Alangkah bahagia tewas di bumi kelahiran
mempertahankan tanah dan kampung halaman;
tanah, air serta udara nyaman ini
memberi daging dan darah pada tulang delapan kerat.
Mereka pun tewas dengan tulang delapan kerat
meninggalkan tanah, air serta udara nyaman ini;
tanpa senjata mereka tumbang
tanpa tugu mereka hilang.
Kita adalah turunan penggarap tanah
tidak memiliki setapak pun dari Sabang sampai Merauke;
tapi di bumi kelahiran ini kita adalah pewaris yang sah
tanah terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Turun-temurun kita tegak dan tumbang
sejak Ken Arok, sejak Sentot, sejak tahun 26;
kita rela bersiram darah tanpa bintang
di setiap tapak bumi kelahiran yang terancam.
Kaum penggarap bangkit dengan cangkul di tangan
di Surabaya, di Sulawesi, di mana saja di pijak tanah;
bersama cangkul mereka tewas untuk kemerdekaan
untuk kerja, untuk bebas menggarap tanah.
Sekarang panggilan datang untuk pembebasan
bagian bumi kelahiran yang dikangkangi penjajah;
sekarang kaum penggarap tanah siap berlawan
di desa dan di garis depan, di manapun tak mengeluh susah.
Penggarap tanah berjuang tanpa genderang
sejak lama di dada mereka peluru bersarang;
mereka berpijak di tanah dan rebah di tanah
atau bungkuk memikul derita tanpa menyerah.
Darmo dan Termo dan Kartosentono,
Latini dan kawan-kawannya di Jengkol;
mereka ada dalam pelukan bumi kelahiran
dan kerelaan pengorbanannya hidup melampaui zaman.
Penggarap tanah yang makan ubi ganti nasi
merekalah pahlawan-pahlawan tiada bernama;
di tengah kemewahan mereka lapar dan mati
tapi dulu dan sekarang senentiasa landasan negara.
Alangkah bahagia tewas di bumi kelahiran
mempertahankan tanah dan kampung halaman;
cangkul di tangan kiri, bedil di tangan kanan
kaum penggarap tanah tak pernah ada kesangsian berlawan.
Kisaran, Maret 1962
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi “Kaum Penggarap Tanah” karya HR. Bandaharo adalah sebuah ode untuk para petani dan penggarap tanah yang menjadi tulang punggung kehidupan dan perjuangan bangsa. Melalui bahasa yang penuh emosi dan simbolisme yang kuat, Bandaharo menggambarkan pengorbanan, keteguhan, dan kesetiaan kaum penggarap tanah dalam mempertahankan tanah air dan kebebasan mereka. Puisi ini tidak hanya menggambarkan perjuangan fisik, tetapi juga merupakan refleksi mendalam atas kondisi sosial dan sejarah panjang penindasan yang dialami oleh rakyat kecil.
Simbolisme Tanah dan Kedaulatan
Tanah menjadi simbol sentral dalam puisi ini. Tanah tidak hanya dianggap sebagai sumber kehidupan, tetapi juga sebagai identitas dan kebanggaan. Penggarap tanah adalah pewaris sah tanah Indonesia, meskipun mereka tidak memiliki kepemilikan formal atas tanah tersebut. Bandaharo dengan tegas menyatakan bahwa tanah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke adalah milik para penggarap, yang merupakan generasi penerus dari perjuangan panjang rakyat Indonesia.
Tanah juga digambarkan sebagai tempat terakhir di mana mereka yang berjuang akan kembali. Dalam bait, "Alangkah bahagia tewas di bumi kelahiran / mempertahankan tanah dan kampung halaman," penyair menggambarkan kematian di tanah kelahiran sebagai suatu kehormatan, simbol kesetiaan mereka yang tak tergoyahkan pada negeri dan rakyat.
Sejarah dan Pengorbanan
Puisi ini juga menekankan sejarah panjang perjuangan kaum penggarap tanah, yang berlangsung sejak zaman Ken Arok, Sentot, hingga revolusi kemerdekaan Indonesia. Penggarap tanah telah lama menjadi bagian dari perlawanan tanpa pamrih. Mereka adalah pahlawan yang rela berkorban, "bersiram darah tanpa bintang," tanpa mencari kemuliaan atau pengakuan pribadi. HR. Bandaharo menyebutkan bahwa mereka adalah pahlawan tanpa tugu—tanpa monumen besar untuk menghormati mereka—namun mereka tetap merupakan kekuatan yang penting dalam sejarah bangsa.
Dalam bait lainnya, penyair menyebutkan beberapa nama seperti Darmo, Termo, dan Kartosentono, yang mewakili sosok-sosok penggarap tanah yang tak dikenal namun memiliki peran penting dalam perjuangan rakyat. Mereka adalah pahlawan tanpa nama yang berkorban untuk kemerdekaan dan kehidupan yang lebih baik.
Kritik Sosial: Kaum Penggarap yang Tertindas
Puisi ini tidak hanya berbicara tentang keberanian dan pengorbanan, tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial yang tajam terhadap kondisi kehidupan kaum penggarap tanah. Mereka, yang digambarkan sebagai "pahlawan-pahlawan tiada bernama," mengalami kehidupan yang keras dan penuh penderitaan. Penggarap tanah "makan ubi ganti nasi," menandakan kemiskinan yang melanda mereka, sementara di tengah kemewahan kaum penguasa, mereka hidup dalam kelaparan dan ketidakadilan.
HR. Bandaharo menyoroti ketimpangan sosial yang dialami oleh penggarap tanah, yang meskipun mereka menjadi landasan negara, tetap hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka adalah tulang punggung perekonomian dan sekaligus pelindung negeri, tetapi nasib mereka seringkali diabaikan oleh sistem yang ada.
Semangat Perjuangan
Salah satu tema utama dari puisi ini adalah semangat juang yang tak tergoyahkan dari kaum penggarap tanah. Meskipun mereka hidup dalam penderitaan dan ketidakadilan, mereka terus berjuang tanpa keluh kesah. "Cangkul di tangan kiri, bedil di tangan kanan," menggambarkan dualitas peran mereka sebagai pekerja dan pejuang. Penggarap tanah tidak hanya bekerja untuk kehidupan mereka, tetapi juga siap mengangkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan tanah air.
Bandaharo menggambarkan mereka sebagai prajurit tanpa genderang, yang berjuang tanpa publisitas atau pengakuan besar. Mereka adalah kekuatan tersembunyi yang menopang negeri ini melalui kerja keras dan pengorbanan.
Puisi “Kaum Penggarap Tanah” karya HR. Bandaharo adalah sebuah penghormatan yang mendalam bagi kaum penggarap tanah, yang meskipun tak memiliki banyak harta, memiliki semangat perjuangan yang tak terbendung. Bandaharo menggambarkan mereka sebagai pahlawan yang sesungguhnya, yang berjuang tanpa pamrih demi tanah air dan masa depan bangsa. Melalui kritik sosial yang tajam dan bahasa yang puitis, puisi ini juga menyentuh isu ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang masih relevan hingga hari ini.
Bandaharo memberikan suara kepada mereka yang sering kali terpinggirkan dalam sejarah, sekaligus menyerukan harapan dan semangat untuk terus berjuang demi kebebasan dan keadilan bagi semua.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.