Kapal Tujuh
Kepada Februari 1933
Ke Sukolilo!
ke Sukolilo tempat tahanan
ke Sukolilo bebaskan kawan.
Kami cetuskan tekad di Sabang
angkat sauh ke perlawanan
Kawilarang depan kemudi
Rumambi, Gosal dan Hendrik
Paraji, Suwarso, Boshart
bersama kami, di tengah kami
laju, menari atas lautan.
Kami berdiri di malam sunyi
kami tegak di siang terang
mata ke depan, meriam ke depan
pantai Aceh jauh mengabur
laut menderu gelombang biru
angin bertaufan di denjut darah
musna hinaan budak-jajahan.
Kami lantangkan tantangan kami
lagu Buruh Internasional
armada musuh mengepung langkah
bawa panji, bui, Digul dan mati
tapi kami sekali memberontak
makin menikmat gempita ombak
laju, bikin tradisi patriot lautan!
Ke Pembebasan!
ke joang tidak menghitung lawan
ke dunia bahagia indah merata.
Sumber: Rangsang Detik (1957)
Analisis Puisi:
Puisi "Kapal Tujuh" karya Adi Sidharta merupakan karya yang penuh semangat perlawanan dan patriotisme, mengabadikan momen heroik dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Judul puisi ini merujuk pada Insiden Kapal Tujuh, sebuah pemberontakan buruh kapal yang terjadi pada tahun 1933, sebagai bagian dari perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda. Puisi ini tidak hanya menggambarkan peristiwa tersebut, tetapi juga mengekspresikan semangat pembebasan, solidaritas, dan keadilan sosial.
Semangat Perlawanan dan Pembebasan
Puisi ini dibuka dengan seruan yang kuat: "Ke Sukolilo! / ke Sukolilo tempat tahanan / ke Sukolilo bebaskan kawan." Sukolilo merujuk pada sebuah tempat di mana para pemberontak ditahan. Seruan ini menggambarkan tekad kuat untuk membebaskan para kawan seperjuangan dari penindasan. Ungkapan "bebaskan kawan" menandakan solidaritas antar pejuang, suatu semangat kebersamaan dalam melawan ketidakadilan.
Di tengah penjajahan kolonial, puisi ini memberikan gambaran tentang perlawanan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga ideologis. Baris "Kami cetuskan tekad di Sabang / angkat sauh ke perlawanan" menandakan bahwa gerakan perlawanan ini dimulai dengan kesadaran yang mendalam akan kebutuhan untuk melawan penindasan. Sabang, sebagai pelabuhan strategis di ujung barat Indonesia, menjadi simbol keberangkatan menuju perlawanan yang lebih besar.
Karakter dan Simbol Tokoh
Puisi ini menyebutkan beberapa nama penting seperti Kawilarang, Rumambi, Gosal, Hendrik, Paraji, Suwarso, dan Boshart. Para tokoh ini, yang mewakili para pemimpin pemberontakan, menjadi simbol-simbol keberanian dan kepemimpinan dalam melawan penjajahan. Dalam konteks sejarah, pemberontakan yang melibatkan tokoh-tokoh ini merupakan wujud dari perlawanan kaum buruh Indonesia yang mengalami penindasan di bawah sistem kolonial Belanda.
Baris "Kawilarang depan kemudi" menunjukkan Kawilarang sebagai pemimpin yang memegang kendali dan arah pergerakan. Nama-nama lain yang disebut dalam puisi tersebut menggambarkan semangat kebersamaan dan persatuan dalam melawan musuh yang lebih besar. Simbolisme tokoh-tokoh ini memberi dimensi sejarah pada puisi, mengingatkan kita akan kontribusi para pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Laju Kapal sebagai Metafora Perjuangan
Simbol kapal dalam puisi ini menggambarkan perjalanan fisik sekaligus perjalanan ideologis menuju kemerdekaan. Kapal yang "menari atas lautan" menggambarkan keberanian para pemberontak yang tidak gentar menghadapi gelombang besar dan badai di lautan. Laut, dengan segala kekuatannya, menjadi metafora dari tantangan yang harus dihadapi oleh para pejuang dalam mencapai kebebasan. Meskipun armada musuh mengepung, semangat perlawanan tidak goyah.
Puisi ini juga menggambarkan dinamika antara siang dan malam, terang dan gelap, yang melambangkan perjuangan yang tak kenal waktu. "Kami berdiri di malam sunyi / kami tegak di siang terang" mengindikasikan bahwa perjuangan terus berjalan, baik dalam kegelapan maupun di bawah cahaya terang. Perjuangan ini tidak dibatasi oleh waktu atau kondisi, karena mata mereka tetap tertuju pada tujuan utama: kemerdekaan.
Lagu Buruh Internasional dan Semangat Kolektif
Dalam puisi ini, Adi Sidharta juga mengangkat lagu Buruh Internasional sebagai simbol persatuan dan perjuangan kelas pekerja. Lagu ini menjadi simbol gerakan buruh di seluruh dunia yang menuntut keadilan sosial dan hak-hak yang sama. Dengan menyertakan lagu ini, puisi "Kapal Tujuh" menempatkan peristiwa pemberontakan ini dalam konteks global, di mana perjuangan buruh Indonesia menjadi bagian dari gerakan internasional melawan ketidakadilan.
Baris "armada musuh mengepung langkah / bawa panji, bui, Digul dan mati" mengindikasikan bahwa meskipun musuh mendekat, pemberontak tetap teguh dalam keyakinannya. Digul merujuk pada tempat pembuangan bagi para tahanan politik di Papua, yang menjadi simbol pengasingan dan penderitaan di bawah kolonialisme. Meskipun ancaman penjara atau bahkan kematian menghadang, para pejuang tetap teguh dalam tekad mereka untuk melawan.
Pembebasan Menuju Dunia Baru
Puisi ini ditutup dengan seruan yang kuat: "Ke Pembebasan! / ke joang tidak menghitung lawan / ke dunia bahagia indah merata." Seruan ini menggambarkan visi idealis tentang dunia yang lebih baik, di mana kebebasan, keadilan, dan kebahagiaan dirasakan oleh semua orang. Perjuangan menuju pembebasan tidak diukur berdasarkan jumlah lawan, tetapi didorong oleh keyakinan bahwa dunia yang adil dan merata dapat dicapai melalui perjuangan kolektif.
Puisi "Kapal Tujuh" adalah ode terhadap semangat perlawanan, persatuan, dan pembebasan. Adi Sidharta menggambarkan dengan jelas betapa pentingnya solidaritas dan keberanian dalam menghadapi penindasan. Melalui kapal sebagai simbol, perjuangan ini digambarkan sebagai perjalanan yang penuh dengan tantangan, tetapi diakhiri dengan visi tentang dunia yang lebih baik dan lebih adil.
Puisi ini tidak hanya mengingatkan kita akan perjuangan buruh Indonesia, tetapi juga tentang pentingnya mempertahankan semangat perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan, baik di masa lalu maupun di masa kini.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.