Puisi: Kakek Petani Berikan Suara (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Kakek Petani Berikan Suara" karya Sabar Anantaguna mengungkapkan perjalanan emosional dan fisik seorang kakek petani yang telah menghadapi ...

Kakek Petani Berikan Suara


(I)

Dia, ya, dia telah dituakan derita
dia yang telah terampas urat kakinya
patah, patahlah sukanya pada hari mudanya
Siang tak berawan, tak ada cerlangnya
malam tak bermendung, gelap bintangnya
dan padanyalah meletus-letus tanya:
ke mana mesti pergi
ke mana mesti pergi
kalau kini tak punya apa-apa
kalau mati tak punya apa-apa.

Dia, ya, dia telah dilumpuhkan derita
dia yang telah terampas urat kakinya
patah, patahlah hatinya pada hari mudanya
siang tak terpesan, tak ada gadisnya
malam tak berkawan, tak ada kekasih
dan padanyalah terus meletus-letus tanya:
kepada siapa mesti percaya
kepada siapa mesti percaya
kalau hidup tak punya bapak
kalau mati tak punya anak.

(II)

Pada pagi hijau dia rasakan mentari
ini yang pertama kali
kulit digulung tuanya tak lagi kuning, tak lagi kuning
seperti lembaran rumput pucat hilang cahaya --

Hari ini ia maukan hijau, mau hijau
seperti mekarnya kelopak cempaka
bangunnya dedaunan di pinggir malam
terasa benar-benar pagi manis
sejak tahun-tahun kurus kakinya.

Pagi ini ia akan berikan sumbangan
Pesta Rakyat disenyumkan harapan
yang lumpuh dan tua punya satu suara
satu suara
meski miski tak punya apa-apa.

Di pagi manis, dilontarkan senyumnya
segala senyumnya,
yang tertimbun dibuncah duka.
Hari ini seperti gua-gua pecah;
pecahlah kesunyian diri menerbitkan ketakutan
pada diri, hidup dan matinya.

Dia maniskan hatinya di pagi manisnya
dengan dendang selembut-lembutnya:
betapa kasihmu, anak-anak manis
kepadaku tanpa bapak tanpa anak
kaugendong dukaku dengan tari lengkung lenganmu
sejak muda tidak dimanusiakan lagi,
tidak, tidak!
kali ini aku manusia kembali
meski dahi berkerut pipi sudah larut
juga kau anak-anak derita
anak manis, anak komunis!
lahir dalam gencetan dan derita dilawan
derita bikin lekas tua, tapi juga hatinya.
Pemihakan kakek tua hanya satu bunga
di hati petani temukan arti
bahwa mereka yang pernah diburu akan mengusir neraka dari bumi.

Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)

Analisis Puisi:

Puisi "Kakek Petani Berikan Suara" karya Sabar Anantaguna mengungkapkan perjalanan emosional dan fisik seorang kakek petani yang telah menghadapi banyak penderitaan dalam hidupnya. Melalui lirik yang puitis, puisi ini menggambarkan perjuangan, harapan, dan penemuan kembali jati diri dalam konteks kehidupan yang keras.

Struktur dan Tema Puisi

Puisi ini terbagi menjadi dua bagian yang mencerminkan perjalanan kakek dari penderitaan menuju harapan.

Bagian I: Derita dan Kehampaan

Bagian pertama menggambarkan betapa beratnya beban yang ditanggung oleh kakek. "Dia, ya, dia telah dituakan derita" menjadi ungkapan awal yang menunjukkan bahwa kehidupan telah memberikan banyak tekanan dan rasa sakit. Dengan kalimat seperti "patah, patahlah sukanya pada hari mudanya," puisi ini menciptakan gambaran jelas tentang hilangnya kebahagiaan dan cita-cita.

Ada kesedihan yang mendalam ketika kakek merasakan "siang tak berawan" dan "malam tak bermendung," yang mencerminkan kekosongan emosional dalam hidupnya. Rangkaian pertanyaan yang berulang, "ke mana mesti pergi," mencerminkan ketidakpastian dan kehilangan arah. Hal ini semakin diperparah dengan kesadaran akan kehilangan hubungan dengan orang-orang terkasih, seperti bapak dan anak.

Bagian II: Harapan dan Kebangkitan

Di bagian kedua, suasana mulai berubah ketika kakek merasakan "pagi hijau." Ada harapan baru yang muncul, seolah-olah kehidupan memberinya kesempatan kedua. "Hari ini ia maukan hijau" menunjukkan keinginan untuk merasakan kebahagiaan dan kehidupan kembali. Penggambaran "seperti mekarnya kelopak cempaka" menandakan sebuah awal yang baru dan segar.

Kakek bertekad untuk memberikan "sumbangan" dalam "Pesta Rakyat," yang menunjukkan bahwa meskipun dalam keadaan lumpuh dan tua, ia ingin berkontribusi dan suaranya tetap didengar. Kalimat "yang lumpuh dan tua punya satu suara" menjadi simbol kekuatan yang muncul dari ketidakberdayaan, menekankan bahwa semua orang, tidak peduli seberapa lemah mereka, memiliki hak untuk berbicara dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

Transformasi Emosional

Transformasi emosional kakek diakhiri dengan ungkapan kasih sayang kepada generasi muda: "betapa kasihmu, anak-anak manis." Di sini, kakek menemukan kembali kemanusiaannya melalui hubungan dengan anak-anak, yang mengingatkannya pada arti cinta dan dukungan. Meski hidupnya diliputi oleh duka, ia tetap mampu menemukan kebahagiaan dalam kehadiran anak-anak.

Simbolisme dan Makna

Puisi ini kaya akan simbolisme. "Pagi hijau" mencerminkan harapan baru, sementara "derita bikin lekas tua" menggambarkan efek menghancurkan dari penderitaan. Penggunaan istilah "anak komunis" bisa diinterpretasikan sebagai simbol perjuangan kelas dan solidaritas dalam menghadapi penindasan.

Puisi "Kakek Petani Berikan Suara" adalah karya yang menyentuh dan menggugah. Sabar Anantaguna berhasil menggambarkan perjalanan seorang kakek yang menghadapi penderitaan namun akhirnya menemukan harapan dan jati diri. Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk merenungkan pentingnya suara dan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup. Karya ini menegaskan bahwa meskipun mengalami banyak kehilangan, kita tetap memiliki kekuatan untuk berbagi cinta dan harapan dengan orang lain.

Sabar Anantaguna
Puisi: Kakek Petani Berikan Suara
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.