Puisi: Jakarta Oi Jakarta (Karya Agam Wispi)

Puisi "Jakarta Oi Jakarta" karya Agam Wispi mencakup tema perjuangan, harapan, dan ketidakpuasan terhadap kondisi sosial yang ada, menggunakan ...
Jakarta Oi Jakarta
bagi Partai, diri kita
yang tak mau diam bagai lautan

deru pertama sudah membuka kelopak sedang kau nyenyak
dan lambat-lambat mentari jatuh dipinta atau tidak
inilah napas kehidupan manusia yang bekerja dan harus kerja
karena padanya ditantangkan kata dua segenggam harapan
        tinggal bara
aih yayang, atap pada kemerjap coklat merahtua
terburai debur ombak kisahnya tingal busa jika kelasi dan
        pantai sedang bercinta
sendirilah pelaut dipagut riuh kota dan atap pada kemerjap
        coklat merahtua
sebab di bawah atap itu jantung berdegupan dan ada meranum
        suatu mimpi
maka jadi matanglah suara: tidak, kami tidak bermimpi tapi
        kami lihat mimpi pagi hari
bukankah generasi datang dan pergi telah mengangkat kakinya
        dari lumpur?
pada kami diwariskan tawa pahit yang mau kami segarkan
        busa hidup dari pantai yang ditinggalkan
dan telah kami nyatakan suatu kehadiran: kami adalah orang-orang
        yang betah bertempur


berapa mil sudah kau berjalan sejak tahu berjalan?
ilmu-hitung tidak bicara sebab perjalanan bukan pada kaki
        yang dilangkahkan tapi apa yang dilalui suatu perjalanan
pengemis-pengemis juga membuat perjalanan, berjalan dari
        lorong ke jalan-raya
dari pintu ke pintu toko dan meja restoran di mana secumil
        jiwa kerdil belajar kenal jadi tuan
pengemis bukanlah busa hidup debur ombak yang selalu mendamba
        pantai
dia adalah busa gelas di mana seorang tuan menipu dirinya
        karena suatu kekalahan atau karena kekayaan yang
        diperasnya
siapakah yang lebih penipu kalau polisi menangkapi mereka
        sebab besok "17 agustus" orang mau berpesta?
atau kau yang jadikan pahlawan sekedar tugu dan bangga
        sebab sebentar bisa terharu
bilanglah ini suatu kebinatangan, tapi lebih manislah duit
        sepicis bagi sibocah membeli layangan
menyentuh langit biru dengan mata alitnya betapa getaran
        benang mampir di jantungnya
bagi kalianlah kebinatangan teriak gersang "mampus kau,
        laknat!"
sebab kemampusan moral ini adalah bagi kalian yang menciptakan
        sengsara dan kemiskinan, menjadikannya
        penjara pikiran
suatu kutukan bagi ratapan dunia lampau karena tak dapat
        lagi mengertikan dunia kini ketika cinta patah
        membuat orang membiarkan dirinya ditelan mentah
        mentah
suatu kutukan bagi orang-orang tak berpaham akan dunia nanti
        yang begitu manisnya melenggang datang
suatu kutukan sebab dari gunung batupun ada celah di mana
        lumut membungkus sinar ke dalam dirinya dan daun
        hijau jadi cemerlang oleh cahaya
suatu kutukan dan kepastian telah diciptakan
sejak tangan-tangan yang berminyak itu menggegarkan udara
        dengan meriam Repolusi Oktober yang jaya
sekali lagi: kalianlah kejahatan yang sebenarnya sebab kerja
        bukan kejahatan
dan dengan sabar kami ajarkan kau: menangislah bagi dirimu
        sendiri kalau tak bisa tertawa bersama kami
dan janganlah ajarkan kami keangkuhan tolol pikiran yang
        berselubung semu sebab kami telah mengerti diajar
        oleh derita
o, janganlah hilangkan kesabaran kami, janganlah katakan
        lagi bahwa parasit, pengemis dan pemeras-pemeras
        sopan juga kerja
aduh-mak, apa ini semua?!
tahulah bahwa tawa yang paling pahit pun dari klas buruh
        bukanlah hak kalian yang terloncat ke korsi kekuasaan
        di atas kebodohan sementara
tawa yang paling pahit baiklah bagi suatu kegagalan yang
        pelajarannya dikecap mesra
maka bertukarlah suatu jaman bagi siapa sebenarnya penjara


sungguh, bahagia pulang kerja ini hanya dimengerti oleh mereka
        yang membina dunia baru
dan melepaskan dirinya dari budak betapapun idealnya keakanan
        itu
bagi klas buruhlah kurasakan lontaran cahaya lentera jalan
        berajuk dengan bayangan
bahagia melangkah pulang kerja ini bagai sehabis mencium
        segar bibir cinta yang tanpa suatu ucapan meranggul
        harapan dari baranya
melangkah pulang kerja ini tekadang bagai jumpa kawan
        lama, salam dan apakabar membuat kau terharu
        atas kawan-kawan yang gugur duluan
melangkah pulang kerja ini membuat kita sebagian dari mereka
        yang berjalan 10.000 mil ke pangkalan kemerdekaan
    jakarta oi jakarta
    jendela bertirai biru muda

kuketok pintu dikokok ayam
rupanya kau letih menunggu
ada cun bercakup sayang
sebab kerja waktu berlalu

ah pinggang yang dipagut dan sajak yang menyesak dada
sampai juga di ruang ini deru menjauh dan patah di pengkolan
cecak mengejar mangsanya ke balik lemari
dan sunyi mati sendiri
ya, padamu ayang, kasih melaut duka cerita
membuat aku berenang menyelami malam dengan lampu-lampunya
mendamba dunia di mana ucapan pernah merekam
tungku sudah padam
mari makan-malam

cerita malam ini joang jakarta
dindingnya slogan tangan pemuda
cerita esok pagi gerbang kota berdandan pesta
dan tiap jantung di denyut satu suara
hidup, rakyat pekerja!

    jakarta oi jakarta
    jakarta oi jakarta


bulan serta bintang-bintang sudah suram dan pagi kini sedang
        dilahirkan
berjalan di bawah bulan memang indah tapi siapa berjalan
        sepanjang malam?
merekalah pengecap malam yang setia, penjaga yang kantuknya
        dibayar serta desir gemetar daun kesepian
        yang berbicara
merekalah pengecap malam paling gelisah, prajurit jaga
        yang selalu tertanya-tanya
akan hilangnya batas antara kawan dan lawan sebab malam
        begitu menggoda
menari, o, menarilah malam penuh hasrat dan geraikan rambutmu
        di atas lelap
siapakah perenggut malam hingga tidak pada nilainya, siang
        jadi panjang malam pekat singkat?
merekalah perampas nasi dari piringmu, o, malam penuh hasrat
        dan siang yang banjir keringat
merekalah yang melahirkan pengemis dan kemiskinan jiwa
        sekaligus, jaga-malam dan ketidaksetiaan, kekecewaan
        dan gigihnya perlawanan
o, kianat yang diburu oleh kerdipan bintang-bintang
o, malam yang berlalu dalam kelembutannya dan terisak-isak
        dalam pelukanku
tangan ini juga yang menampung kepalamu dan membuncah
        rambutmu hingga wajah jadi padu
kaulah cintaku yang bertanya apa kerja seharian sebab pertanyaan
        selalu dan selalu merangsang hidup
tapi janganlah tanyakan ini pada penganggur yang menghabisi
        harinya sia-sia bukan karena salahnya
sebab sendirian kemboja di pekarangan kian putih diangkat
        gelap
dan tak-berbaunya memgantar penganggur merindui kerjanya
penjara itu ada di sini, manis, ada di sini -- tempat kejahatan
        berkeliaran dan penganggur tambah dilahirkan
tapi dunia itu juga ada di sini, manis, abad-abad dunia bebas
        yang sedang dibina tanpa penjara
o, bayangan kawan-kawan yang gugur dan bersama dikubur
o, jalan rindang yang kita tempuh bersama dan di dada mendarah
        luka
o, perlawanan gigih dari klas yang bangkit betapapun rongkongan
        kering dan bibir terasa pahit
bagi kalianlah bunga ditaburkan pada suatu satu-mei-raya
kita cintai orang jauh yang suara dan wajahnya entah bagaimana,
        seorang musso atau seorang aidit,
        seorang haryono atau seorang amir
seorang petani yang bangkit melawan tuan-tanah atau seorang 
        supir
ah, siapa dan siapa, jauh dan dekat telah diletakkan pada
        artinya
di mana duka jadi keras bagai baja dan nilai baru terus
        ditempa
ya, inilah ketakjupan dan dahsatnya komunisme tapi juga
        kemegahan dunia baru yang sedang dibina
prajurit-prajurit kebebasan, boleh jadi kaulah orangnya yang
        membelai gadismu dan di dusun anak-anak berbesaran
        atas tanah yang digadai bapaknya
dan kau prajurit muda bersenjata, bidangkan dadamu bagi
        mereka yang penuh lumpur sawah
boleh jadi kaulah orangnya yang dengan tangan hitammu meletakkan
        hurup-hurup dipercetakan
mengantar cahaya ini ke liku yang paling gelap, ke ruang paling
        dalam dari hati manusia sebab berita kemenangan
        telah melenyapkan lapar sedetik dari siksaannya
dan kecaplah ini betapa indahnya: sebagian dari kita, satu
        antara kita
o, hati yang hangus oleh benci sayang oleh cinta
o, janganlah coba menginjak-injak tapal-batas tanah air ini
kebebasan
perdamaian


sibapak datang ke kota
desanya abu
si ibu bawa duka
anaknya hangus
si gadis berbekal remaja
malamnya gincu
tinggi, tinggilah si matahari
tinggi malam ciliwung tinggi
tinggi, tinggilah layangan meninggi
putus benang apa peduli?!

di setasiun senen kereta kemalaman
di rel seneng cinta digadaikan
dikerdip teplok maut kasi senyuman

sebab sekepal tanah pun tiada
maka bunga di jambangan menunggu layu
sebab padi-muda pun tuan-tanah punya
tinggallah pematang yang menunggu

ah, prajurit yang bersiul di jembatan
dari mana kau datang?
beginilah lagu dari kecapi yang dipetik
oleh hati sedang sendiri

aku mengalami
aku menderita
aku bahagia
jadi anak merdeka

tiap tanya kita jawap dan tiap jawap membuat kita bertanya
pergumulan antara yang kita pikirkan dan kita rasakan membuat
kita berbuat biarpun diri jadi kurus dan keras
sedang tali kecapi akan putus pun mendentingkan suara begitu
ramahnya
dan dari kewajaran sikap bisalah orang berbuat tanpa sesalan

maka perpisahan dengan kekasih derita mesra harapan jumpa
yang berlomba dari kepahitan yang dipendam
dalam-dalam dan terbongkar dari akarnya
tiap gerak berbekas tangan kita dalamnya dan tiap irama yang
sehembus dengan napas ini memantulkan sinar
ke penjuru-penjuru dan tebing-tebing hidup
berikan tanganmu, ayang, mari berlagu betapapun seraknya
suara
jawapan dari dada terbuka telah membuat lagu ini kumandan
dari jaman ke jaman

    jakarta oi jakarta

pundak-pundak telanjang dimatangkan matahari
mencebur di air kasih pun cair
kucuci bajumu hai pekerja
karena kualami apa yang kaualami
kucuci badanku sebab kupeluk kau di kelam nanti
kucuci rambutku sebab malam begitu buncah melepas pagi

ciliwung bergoyang
hanyut antara tenang
dan mengalir
kucucikan bajumu, tuan, dan di air kasihku cair
cemplungkan kakimu, tuan, dan cintamu memanjat tepi
ceburkan dirimu, sayang, oplet berlari dan berlari

    jakarta oi jakarta

malam mengambang diapung kikik jalang di warung suram
malam jadi terbenam larut dibawa deru oplet sampai jauh
malam begitu dalam dibelam melodi harmonika dan kenangan
singgah tak diharapkan
malam dihancurkan kecapi yang hilang datang hilang datang
malam sisa terakir meremukkan dada kosong di gerbong tua
selagi plesiran sudah semacam kerja
malam putus-putus kejam di tikungan jakarta dalam gegas
langkah lelaki memburu rumahnya dan si manis
kehilangan mangsa
malam adalah milik sendiri yang hangatnya direguk habis --
tukang-beca bergelung dalam becanya (sudah jam
berapa? atau perlukah lagi tanya ini: sudah jam
berapa?)
yang tidur nyenyak dan pagi begitu segar, berbahagialah!
di sini bahagia dan sengsara berlomba mengendap, saling
menghancurkan
beca bagai taman berbangku remang-remang yang bawakan
cahaya berayun di daun
beca sepiring nasi hitam bagi betis meregang, ranjang dan
pilem di "Grand" malam ini
bagi bejalah malam berdengungkan angin sambil-lalu, embun,
hujan dan keringat yang memercik tiada beda
ujung sebuah jalan biarlah dilupakan karena yang merebah
didekap untuk dilepaskan, duilah, icah manis mengecek
begitu manja
icah bersaing dengan judi -- perampas yang baik-hati --
berangkali ada sisa terakir buat mimpi atau peti-mati

bagi merekalah nisan tiada bertanda bunga tapi kesayangan
icah yang jatuh-harga
bagi merekalah malam begitu dalam hingga permukaan tiada
berombak oleh dengking batuk kedinginan pengumpul
kertas dan kaleng rombengan
di sinilah gelandangan kota bahagia yang pernah dijanjikan
dan janji yang tak pernah diucapkan
di sinilah hari-ini hanyalah kini, timbul atau tenggelam
begitu dalam malam begitu pedih sekelumit melodi harmonika
bergantung-gantung dan hilang menyisakan sekeping harapan
tapi bagi siapakah hati menyerah dan lagu hidup ini dipercayakan?

merekalah orangnya, pekerja yang melepaskan dirinya dari
budak betapapun idealnya keakanan itu dan pagi
selalu membening
dilahirkan dan selalu dilahirkan, bangkit dan segala bangkit,
bergerak dan selalu bergerak, segala hidup segala
menari

    jakarta oi jakarta
    kasih mengalir berdebu duka

asap sedang berangkat dari celah atap mengantar bau
bahwa di sana ada tangan perempuan, berangkali seorang ibu
berangkali babu
aku lelaki tapi apa soalnya itu?
asap akan berangkat juga dari celah atap membawa bau
jika kusairkan perempuan bukan karena pelabuhan tempat
kapal menjatuhkan jangkarnya
demokrasi? suka-hati. koran yang datang pagi ini sama kita
baca: ada kianat! intervensi!
itulah soalnya, lelaki atau perempuan sama bangkit berlawan
dan kusairkan jakarta bagi kalian yang bangkit berlawan
namun seorang ibu ditempatkan agung di atas segala perempuan
dan seorang bapak ditempatkan agung di atas segala lelaki
karena mereka seperti lapangan rumput di mana hujan dan
panas hijau sebanding
membalut makam pahlawan biar tak berbunga tapi yang berkata:
di pangkuanku terbaring orang-orang yang kau cinta

menjulang ke langit debu dan dinding putih
ai-mak-jang, musim-bunga akan datang
dan tiada pagar dapat mengurung pekarangan

    jakarta oi jakarta
    rambate-rata perampas tumpas

jakarta oi jakarta
sepotong harap tiarap bahaya

jakarta oi jakarta
di bubung atap merpati hinggap

jakarta oi jakarta
coretan dinding tangan pemuda

jakarta oi jakarta
sorak-sorai bergembira

jakarta oi jakarta
tepuk-tepuk solidaritet dunia

jakarta oi jakarta
petik gitar hati bersuka

jakarta oi jakarta
mari menari pesta merdeka

jakarta oi jakarta
bahu basah ciliwung lengkung

jakarta oi jakarta
siapa berani boleh coba

jakarta oi jakarta
buka jendela, rindu menjenguk ke dalamannya

jakarta oi jakarta
buka jendela, angin pagi di mimpi pagi

jakarta oi jakarta
buka jendela, genggam salam kepal tinju

    jakarta oi jakarta
    
menjulang tinggi merpati dan dinding putih
ai-mak-jang, musim-bunga akan datang
dan tiada pagar dapat mengurung pekarangan

    jakarta oi jakarta
    
yang berkawan
yang berlawan

Asamlama-Kayuawet, 29 Juni-21 Oktober 1958

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Jakarta Oi Jakarta" karya Agam Wispi adalah sebuah karya yang kaya akan lapisan makna dan emosi, menggambarkan kehidupan urban di Jakarta dengan segala kompleksitasnya. Puisi ini mencakup tema perjuangan, harapan, dan ketidakpuasan terhadap kondisi sosial yang ada, menggunakan berbagai simbol dan imaji yang kuat.

Kehidupan dan Perjuangan di Jakarta

Puisi ini dimulai dengan penggambaran kehidupan sehari-hari yang sederhana namun sarat makna. Dalam frasa "inilah napas kehidupan manusia yang bekerja dan harus kerja," Wispi menekankan pentingnya kerja sebagai bagian dari identitas manusia, terutama dalam konteks masyarakat urban. Ini menggambarkan betapa pekerja keras adalah tulang punggung kota, meskipun seringkali terpinggirkan dan terabaikan.

Konflik Sosial dan Ketidakadilan

Wispi dengan tegas menyampaikan kritik terhadap ketidakadilan sosial, terutama melalui gambaran "pengemis-pengemis" yang membuat perjalanan. Di sini, penulis mengajak pembaca untuk melihat bahwa kehidupan di kota tidak hanya tentang kemajuan dan modernitas, tetapi juga tentang kemiskinan dan perjuangan mereka yang terpinggirkan. Frasa "pengemis bukanlah busa hidup debur ombak yang selalu mendamba pantai" menyiratkan bahwa mereka adalah bagian dari kehidupan kota yang sering dilupakan.

Pentingnya Kesadaran Kolektif

Puisi ini juga menyoroti pentingnya kesadaran kolektif dalam menghadapi tantangan sosial. Dalam bagian "tawa yang paling pahit pun dari klas buruh," Wispi mengingatkan kita bahwa meskipun ada penderitaan, masih ada harapan untuk masa depan yang lebih baik. Ada keinginan untuk membangun solidaritas di antara para pekerja, yang disimbolkan dengan "hidup, rakyat pekerja!" Ini menunjukkan bahwa kebangkitan sosial dan kesadaran akan hak-hak pekerja sangat diperlukan.

Cinta dan Kehangatan Kemanusiaan

Melalui berbagai imaji, seperti "melangkah pulang kerja ini bagai sehabis mencium segar bibir cinta," Wispi mengaitkan perjuangan sehari-hari dengan kehangatan cinta dan kemanusiaan. Ini menciptakan kontras antara kesedihan yang dialami dalam perjuangan sehari-hari dan momen-momen kecil kebahagiaan yang dapat ditemukan di tengah kesulitan.

Akhir yang Penuh Harapan

Puisi ditutup dengan nada yang penuh harapan, menggambarkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Melalui pengulangan frasa "jakarta oi jakarta," penulis menciptakan semacam seruan kolektif yang mengajak pembaca untuk bersatu dalam menghadapi tantangan. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga untuk berjuang demi keadilan dan kesejahteraan.

Puisi "Jakarta Oi Jakarta" adalah puisi yang mengekspresikan realitas pahit kehidupan di kota metropolitan, sambil tetap menanamkan harapan untuk masa depan yang lebih cerah. Melalui lirik yang puitis dan imaji yang kuat, Agam Wispi berhasil menciptakan karya yang tidak hanya merefleksikan pengalaman masyarakat urban, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenung dan beraksi. Puisi ini adalah panggilan untuk solidaritas, keadilan, dan pengingat bahwa di balik setiap perjuangan, ada harapan untuk sebuah perubahan yang lebih baik.

Agam Wispi
Puisi: Jakarta Oi Jakarta
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.