Puisi: Jakarta Gembira (Karya Sobron Aidit)

Puisi "Jakarta Gembira" karya Sobron Aidit mengekspresikan cinta dan kerinduan seorang buruh terhadap kota Jakarta.
Jakarta Gembira

Andaikata aku dipindahkan dari Jakarta, kotaku sayang
jauh terlempar di ujung sesuatu pulau
betapa rinduku kelak padamu
begitulah rasanya dan waktunya pasti datang.

Aku buruh, bisa sesuatu waktu dipindah
meskipun betapa sayang pada Jakartaku gembira
berpisah lepas dengan kotaku indah
namun aku harus pergi dengan hati gelora.

Jakartaku, di rumahku ada sepetak kebun bunga
warnanya merah-merah nyala, tapi bagiku hilang senyum
betapa tidak, sudah ditanam-tumbuh, maka ditinggal
namun aku harus ada lagi dan punya.

Di Jakarta, ada kawanku Karim, pendek dan gemuk
Harun buruh batik di tanah abang, kurus dan bongkok
Hasan pemain biola di kala senja
semua ini gembiraku, punyaku dan Jakarta.

Di Jakarta, suara becak, trem dan oplet
begitu agung terdengar di telingaku melekat
yang tiap pagi berisik dan merasuk
tapi setianya mereka tiada teruji dan gembira di hati muda.

Dan gadisku, cita-citaku sehabis juang sehari penuh
yang telah menanam bunga biru di ladang hatiku
kini segera kebun di hatiku dilanda api
perceraian dengan Jakartaku, sesayat riwayat sedih.

Sumber: Pulang Bertempur (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Jakarta Gembira" karya Sobron Aidit mengekspresikan cinta dan kerinduan seorang buruh terhadap kota Jakarta. Dalam puisi ini, Sobron menggambarkan keindahan, keakraban, dan kenangan yang erat dengan kota tersebut, sementara di saat yang sama ia menghadapi kenyataan pahit bahwa ia mungkin harus berpisah dan meninggalkan kota yang begitu ia cintai.

Kecintaan terhadap Jakarta

Sejak baris pertama, sang penyair menyatakan betapa dalamnya cinta dan keterikatannya dengan Jakarta, yang ia sebut sebagai "kotaku sayang". Jakarta menjadi simbol kehidupan dan kenangan yang berharga bagi penyair. Kecintaan ini menggambarkan relasi emosional seseorang dengan tempat yang telah menjadi bagian dari identitas mereka. Puisi ini mengingatkan kita pada kutipan Ernest Hemingway, "There is never any ending to Paris, and the memory of each person who has lived in it differs from that of any other." Sama halnya, Jakarta bagi penyair bukan sekadar kota, melainkan tempat di mana kenangan dan identitasnya terbentuk.

Kerinduan yang Tak Terhindarkan

Penyair menyadari bahwa perpisahan dengan Jakarta adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Ia menyatakan, "Andaikata aku dipindahkan dari Jakarta... waktunya pasti datang." Ada rasa kepastian bahwa meskipun ia sangat mencintai kota ini, ia mungkin akan harus meninggalkannya. Ini mencerminkan kehidupan buruh yang sering kali tidak memiliki kendali penuh atas takdir mereka, terutama dalam hal tempat tinggal dan pekerjaan. Rasa rindu yang muncul karena perpisahan ini menggambarkan betapa Jakarta telah menjadi bagian integral dari kehidupannya, baik dalam hubungan personal maupun pengalaman sehari-hari.

Kehidupan Sehari-hari di Jakarta

Puisi ini juga menggambarkan detail kehidupan sehari-hari di Jakarta melalui sosok-sosok yang dikenal oleh penyair, seperti "Karim, pendek dan gemuk," serta "Hasan pemain biola di kala senja." Sobron Sobron menggunakan karakter-karakter ini untuk menggambarkan keterikatan penyair dengan lingkungan sosialnya, di mana teman-temannya, pekerjaannya, dan aktivitas sehari-hari di kota tersebut menjadi bagian dari dirinya. Kehidupan kota ini menyatu dengan kenangan indah penyair, dan menjadi simbol dari masa mudanya yang gembira dan penuh semangat.

Simbolisme Kebun Bunga

Di rumah penyair, ada "sepetak kebun bunga" yang berwarna merah menyala, yang merupakan simbol cinta, harapan, dan kebahagiaan. Namun, ketika penyair menyadari bahwa ia harus meninggalkan Jakarta, kebun bunga ini berubah menjadi simbol kepergian yang menyakitkan. "Betapa tidak, sudah ditanam-tumbuh, maka ditinggal" mengungkapkan betapa sulitnya melepaskan sesuatu yang sudah tumbuh dan berkembang. Perpisahan ini bukan hanya perpisahan fisik dari kota, tapi juga perpisahan dari harapan dan impian yang pernah tumbuh di dalamnya.

Gembira yang Berbalut Kesedihan

Meskipun judul puisi ini adalah "Jakarta Gembira," ironi dalam puisi ini terletak pada bagaimana kegembiraan yang diungkapkan penyair dipenuhi dengan rasa kesedihan akan perpisahan yang tak terhindarkan. Ini sejalan dengan kutipan dari film Her di mana karakter Theodore berkata, "Sometimes I think I have felt everything I'm ever gonna feel. And from here on out, I'm not gonna feel anything new—just lesser versions of what I've already felt." Penyair dalam puisi ini merasakan campuran emosi yang dalam—antara kenangan manis dan kepastian akan perpisahan—dan dari sini, kegembiraannya mulai terkikis oleh kesedihan.

Melalui puisi "Jakarta Gembira," Sobron Aidit menciptakan potret emosional seorang buruh yang mencintai kotanya, namun terpaksa harus menghadapi perpisahan. Jakarta bukan hanya tempat, melainkan sebuah simbol kehidupan, teman-teman, impian, dan pengalaman yang telah membentuk siapa penyair. Melalui gambar-gambar kehidupan sehari-hari di kota, Sobron berhasil mengekspresikan rasa keterikatan yang mendalam dan kerinduan yang tak terhindarkan. Perpisahan dengan Jakarta, meski menyakitkan, tetap diiringi oleh kenangan-kenangan indah yang akan terus hidup dalam hati sang penyair.

Puisi Sobron Aidit
Puisi: Jakarta Gembira
Karya: Sobron Aidit
© Sepenuhnya. All rights reserved.