Istirahat
Tangan diborgol
diikat kaki meja
Jangan mendongkol
Tak ada hak bicara
Dan untuk apa bicara?
Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)
Analisis Puisi:
Puisi "Istirahat" karya Sabar Anantaguna menggambarkan pengalaman penindasan dan kehilangan kebebasan melalui bahasa yang singkat dan tajam. Dalam tiga bait yang padat, puisi ini menciptakan suasana yang penuh ketegangan dan keputusasaan, mencerminkan kondisi individu yang terkurung secara fisik dan psikologis.
Simbolisme Penindasan
Dua baris pertama, "Tangan diborgol / diikat kaki meja," secara langsung menggambarkan situasi penahanan. Istilah "diborgol" dan "diikat" menciptakan gambaran fisik yang kuat tentang penindasan, di mana kebebasan individu terampas. Borgol dan ikatan bukan hanya menghalangi gerak fisik, tetapi juga melambangkan kekangan terhadap suara dan ekspresi diri. Meja yang menjadi objek pengekangan menciptakan kontras antara fungsi utilitarian dan keadaan yang mengekang.
Kehilangan Suara dan Hak Bicara
Baris "Jangan mendongkol / Tak ada hak bicara" menunjukkan situasi ketidakadilan yang lebih dalam. Larangan untuk mendongkol mencerminkan upaya pihak berwenang untuk menegakkan kontrol dan menekan ketidakpuasan. Ketidakmampuan untuk berbicara adalah cerminan dari penindasan yang lebih luas, di mana individu tidak hanya kehilangan kebebasan fisik, tetapi juga hak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka.
Pertanyaan Retoris yang Menggugah
Pertanyaan retoris "Dan untuk apa bicara?" menutup puisi ini dengan nada pesimis. Ini menunjukkan keputusasaan yang mendalam; ketika suara tidak berdaya, bicara menjadi tidak berarti. Pertanyaan ini mengundang pembaca untuk merenungkan makna komunikasi dalam kondisi penindasan. Jika suara kita tidak didengar atau dihargai, apakah ada artinya berbicara? Ini menjadi refleksi tentang eksistensi dan keinginan untuk diakui dalam dunia yang sering kali tidak memperdulikan individu.
Puisi "Istirahat" memberikan gambaran yang mendalam tentang kondisi manusia di bawah penindasan. Anantaguna menggunakan bahasa yang sederhana namun sangat efektif untuk menggambarkan pengalaman yang kompleks dan menyakitkan. Dengan demikian, puisi ini tidak hanya menjadi pernyataan tentang penindasan, tetapi juga menjadi panggilan untuk kesadaran dan empati terhadap mereka yang terjebak dalam keadaan yang serupa. Melalui karya ini, pembaca diundang untuk merenungkan pentingnya suara dan kebebasan, serta implikasi dari kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.