Intermezzo
untuk jani & wispi
menelentang dalam perahu
bercermin langit;
bulan serasa dalam pelukan
dan lampu-lampu sekitar jauh, jauh.
sepanjang tepi laut dakap-dakapan
semacam pelarian dari keisengan
yang menambah iseng sendiri.
ini hanya kelaparan badan.
ada tapak tangan yang panas
ada bibir-bibir pecah merekah
dan daging perempuan menangis
dalam dengus-dengus napas cari puas.
ini bagiku bukan kehidupan
tapi kesunyian yang menyayat;
kenikmatan palsu menggantungi saat-saat
untuk kemudian merangkak kecewa
seperti keong menyusur abad.
aku ini bagian banjir melanda
bagian topan mengamuk;
aku anak dari massa yang mencipta
kehidupan masa depan.
ada kerinduan yang bukan meremuk
tapi menangas.
dan bara ini pasti nyala, nyala.
Sindanglaut (Priok), Agustus 1957
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi "Intermezzo" karya HR. Bandaharo adalah refleksi mendalam tentang kekosongan dan kesunyian yang dialami oleh individu di tengah-tengah kenikmatan fisik dan pelarian dari realitas. Puisi ini menggabungkan elemen perasaan pribadi dengan gambaran sosial yang lebih luas, mencerminkan konflik antara kehidupan yang superfisial dan pencarian makna yang lebih dalam.
Pelarian dari Kenyataan
Puisi ini dibuka dengan gambaran seseorang yang "menelentang dalam perahu," bercermin langit dengan bulan yang terasa dalam pelukan. Ini menciptakan suasana tenang dan romantis, seolah-olah sang penyair sedang berada dalam pelarian dari kehidupan sehari-hari. Namun, suasana tersebut segera diimbangi dengan kesadaran bahwa pelarian ini adalah bentuk dari "keisengan" atau kegiatan yang tidak memiliki makna. "Sepanjang tepi laut dakap-dakapan" mencerminkan pelarian fisik dan emosional dari realitas, tetapi pada saat yang sama, sang penyair merasa bahwa ini hanyalah cara untuk mengisi kekosongan tubuh, bukan kehidupan yang sebenarnya.
Di sini, HR. Bandaharo menggambarkan pelarian ini sebagai "kelaparan badan," sebuah kondisi di mana kebutuhan fisik terpenuhi namun jiwa tetap kosong. Gambaran fisik seperti "tapak tangan yang panas" dan "bibir-bibir pecah merekah" menggambarkan kepuasan fisik yang diiringi dengan rasa sakit dan kelelahan. "Daging perempuan menangis dalam dengus-dengus napas cari puas" adalah metafora kuat yang menunjukkan bahwa meskipun ada usaha untuk mencapai kenikmatan, yang dirasakan hanyalah kekosongan dan kesedihan yang mendalam.
Kegelisahan Eksistensial
Dalam bait berikutnya, sang penyair menyatakan bahwa "ini bagiku bukan kehidupan, tapi kesunyian yang menyayat." Ini menandakan bahwa meskipun secara fisik ia hidup dan menjalani pengalaman-pengalaman duniawi, hatinya tetap merasakan kehampaan. "Kenikmatan palsu menggantungi saat-saat" menunjukkan bahwa kepuasan yang didapat dari kehidupan materialistis ini hanyalah ilusi yang sementara, yang akhirnya membawa kekecewaan.
Metafora "seperti keong menyusur abad" menggambarkan betapa lambat dan menyiksa rasa kekecewaan ini. Keong yang merayap dengan lambat melambangkan perjalanan panjang yang penuh derita dan ketidakpastian, mengisyaratkan bahwa rasa kecewa ini terus menghantui dan mengendap dalam diri.
Simbolisme Banjir dan Topan: Perlawanan dan Harapan
Di bagian berikutnya, puisi ini menggeser fokus dari perasaan personal menuju gambaran sosial yang lebih besar. Sang penyair menyatakan, "aku ini bagian banjir melanda, bagian topan mengamuk." Di sini, ia mengidentifikasi dirinya dengan kekuatan alam yang dahsyat—banjir dan topan—sebagai simbol dari perubahan dan perlawanan yang kuat. Ini mencerminkan harapan dan keyakinan akan adanya transformasi yang akan datang, baik di dalam dirinya maupun dalam masyarakat.
Pernyataan "aku anak dari massa yang mencipta kehidupan masa depan" menunjukkan identitas penyair sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar, yaitu massa rakyat yang berjuang untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun ia merasakan kesunyian dan kekecewaan dalam kehidupannya, ada keyakinan dan semangat revolusioner yang membara dalam dirinya, siap untuk membangkitkan perubahan.
Harapan yang Menyala
Pada akhirnya, puisi ini berakhir dengan nada yang penuh harapan, meskipun masih diliputi oleh kesedihan. "Ada kerinduan yang bukan meremuk, tapi menangas" menunjukkan bahwa meskipun rasa sakit dan keputusasaan ada, kerinduan akan sesuatu yang lebih baik tetap kuat. "Dan bara ini pasti nyala, nyala" adalah simbol dari harapan yang tak pernah padam. Bara yang menyala mengisyaratkan bahwa meskipun saat ini ia merasa terjebak dalam kesunyian dan keputusasaan, ada api perlawanan dan perubahan yang akan terus membara hingga mencapai tujuan yang lebih besar.
Puisi "Intermezzo" karya HR. Bandaharo adalah eksplorasi mendalam tentang konflik batin seorang individu yang merasa terjebak dalam kehidupan yang kosong dan ilusi kenikmatan. Meskipun ada pelarian fisik dan upaya untuk mencari kepuasan, puisi ini dengan jelas menunjukkan bahwa kenikmatan tersebut hanyalah sementara dan tidak dapat memuaskan kebutuhan jiwa yang lebih dalam.
Namun, di balik kegelisahan dan keputusasaan tersebut, puisi ini juga menyiratkan semangat revolusioner yang kuat, di mana sang penyair melihat dirinya sebagai bagian dari massa yang berjuang untuk perubahan. Harapan akan masa depan yang lebih baik tetap hidup dalam dirinya, digambarkan melalui simbol bara api yang terus menyala.
Dengan bahasa yang indah dan metafora yang kuat, puisi "Intermezzo" tidak hanya menjadi refleksi pribadi sang penyair, tetapi juga potret sosial tentang perjuangan, perlawanan, dan harapan di tengah-tengah kehidupan yang penuh ketidakpastian dan kegelisahan.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.