Puisi: Indonesia Pontang-panting (Karya Melani Jamilah)

Puisi "Indonesia Pontang-panting" karya Melani Jamilah mengungkapkan kritik tajam terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia.

Indonesia Pontang-panting


di rengasdengklok
proklamasi dibaca soekarno
bukan demi indonesia
banyak hutang
yang tak terbayar
jika gadaikan seribu kutang

kata mereka
jakarta sudah tak becus
jadi emak indonesia
terlalu banyak polusi
dari mulut para penyuguh basa basi

IKN yang terhormat
anggarannya dibuat
dari proposal yang disuguhkan 
kepada bayi
kepada emak bunting
yang pagi harinya makan beras bansos
maknyos

anak-anak negeri
harus punya segala ambisi
buat melunasi

karena bapak-bapak sekarang
lebih sibuk judi online
emak kecewa
lalu buat lembaran kekesalan
ke pengadilan

bertumpuk-tumpuk berkasnya
tingkat talak drastis ningkat
pencapaian hebat
kualitas moral makin dahsyat
ke jurang laknat

sementara itu
di kantor-kantor daerah
banyak uang yang disekap
di kolong meja
buat belanja penguasa
bukan lagi rahasia
urat malu mengangkasa

anggaran selokan
jadi perhiasan
anggaran sosial
jadi martabak spesial
ah, sial

indonesia tanah tumpah marahku
pesimis bisa bikin maju eksis
slogan memajukan bangsa rekaan semata
yang benar
naikin anak ke singgasana

seperti serial mahabarata
melakukan segala cara
oh dunia

marah-marah begini
bikin aku lupa makan siang
nunggu gratisan
sepertinya oktoberan
aduh kelamaan
kami kelaparan
lebih lapar
atas ingkarnya kursi para negarawan

Garut, 20 Juli 2024

Analisis Puisi:

Puisi "Indonesia Pontang-panting" karya Melani Jamilah mengungkapkan kritik tajam terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Dengan bahasa yang lugas dan sindiran yang kuat, puisi ini menggambarkan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan, korupsi, dan ketidakadilan sosial.

Tema Sentral

Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap keadaan sosial dan politik Indonesia. Melani Jamilah menggunakan puisi ini untuk mengekspresikan kemarahan dan kekecewaannya terhadap kegagalan pemerintah, korupsi, dan ketidakadilan yang melanda negeri ini. Puisi ini menggambarkan kondisi masyarakat yang semakin memburuk akibat tindakan dan kebijakan yang tidak memadai.

Struktur Puisi

Puisi ini terdiri dari beberapa bait yang menggambarkan berbagai aspek ketidakpuasan penulis terhadap situasi di Indonesia. Struktur ini mencerminkan kompleksitas masalah yang dihadapi dan menunjukkan bagaimana berbagai isu saling berhubungan.

"di rengasdengklok / proklamasi dibaca soekarno / bukan demi indonesia / banyak hutang / yang tak terbayar / jika gadaikan seribu kutang"

Bagian ini merujuk pada sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan mengkritik kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah hutang dan utang yang belum terbayar. "Seribu kutang" adalah metafora untuk beban yang besar dan tidak tertanggung.


"kata mereka / jakarta sudah tak becus / jadi emak indonesia / terlalu banyak polusi / dari mulut para penyuguh basa basi"

Di sini, Jakarta diwakili sebagai pusat kekuasaan yang gagal menjalankan fungsinya dengan baik. Polusi dan basa-basi menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani masalah serius dan ketidakjujuran.

"IKN yang terhormat / anggarannya dibuat / dari proposal yang disuguhkan / kepada bayi / kepada emak bunting / yang pagi harinya makan beras bansos / maknyos"

Bagian ini mengkritik proyek-proyek pemerintah seperti Ibu Kota Negara (IKN) yang dianggap tidak realistis dan hanya menguntungkan segelintir orang. Penulis menyindir bagaimana anggaran tersebut diperoleh dari proposal yang tidak berhubungan dengan kebutuhan rakyat yang sebenarnya, seperti beras bansos.

"anak-anak negeri / harus punya segala ambisi / buat melunasi / karena bapak-bapak sekarang / lebih sibuk judi online / emak kecewa / lalu buat lembaran kekesalan / ke pengadilan"

Bagian ini menyoroti ketidakadilan sosial di mana generasi muda harus menanggung beban, sementara para pejabat lebih sibuk dengan kegiatan tidak produktif. Kekecewaan emak (ibu) yang mengajukan keluhan ke pengadilan menggambarkan frustrasi masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan.

"bertumpuk-tumpuk berkasnya / tingkat talak drastis ningkat / pencapaian hebat / kualitas moral makin dahsyat / ke jurang laknat"

Bagian ini menunjukkan bagaimana kualitas moral pejabat dan hasil pemerintahan semakin memburuk. "Jurang laknat" menggambarkan kehancuran moral yang semakin dalam.

"sementara itu / di kantor-kantor daerah / banyak uang yang disekap / di kolong meja / buat belanja penguasa / bukan lagi rahasia / urat malu mengangkasa"

Di sini, penulis mengkritik korupsi di tingkat daerah, di mana uang publik disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. "Urat malu mengangkasa" menunjukkan bagaimana rasa malu dan etika telah hilang.

"anggaran selokan / jadi perhiasan / anggaran sosial / jadi martabak spesial / ah, sial"

Bagian ini menggambarkan bagaimana anggaran untuk infrastruktur dan sosial disalahgunakan. "Martabak spesial" dan "perhiasan" mencerminkan pemborosan dan korupsi dalam penggunaan anggaran.

"indonesia tanah tumpah marahku / pesimis bisa bikin maju eksis / slogan memajukan bangsa rekaan semata / yang benar / naikin anak ke singgasana"

Penulis menyatakan kemarahannya terhadap kondisi Indonesia dan pesimisme terhadap kemajuan. Slogan yang hanya retorika tanpa realisasi menggambarkan kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kemajuan yang nyata.

"seperti serial mahabarata / melakukan segala cara / oh dunia / marah-marah begini / bikin aku lupa makan siang / nunggu gratisan / sepertinya oktoberan / aduh kelamaan / kami kelaparan / lebih lapar / atas ingkarnya kursi para negarawan"

Bagian terakhir menunjukkan kemarahan yang mendalam dan ketidakpuasan terhadap tindakan pemerintah. Penulis merasa terlupakan dan terabaikan, dengan kritik terhadap "kursi para negarawan" yang menjadi simbol ketidakpedulian terhadap kebutuhan rakyat.

Simbolisme

  • Seribu Kutang: Melambangkan beban utang dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikannya.
  • IKN dan Beras Bansos: Mengkritik proyek-proyek pemerintah dan kebijakan yang tidak berfokus pada kebutuhan rakyat.

Teknik Bahasa

  • Metafora: Penggunaan metafora seperti "seribu kutang" dan "anggaran sosial jadi martabak spesial" untuk menyoroti masalah sosial dan korupsi.
  • Sindiran dan Ironi: Sindiran terhadap pemerintah dan kebijakan yang tidak efektif, serta ironi dalam penggunaan slogan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
  • Deskripsi Visual: Deskripsi detail tentang korupsi dan pemborosan anggaran, menciptakan gambaran yang jelas tentang ketidakadilan dan kemarahan.
Puisi "Indonesia Pontang-panting" karya Melani Jamilah adalah karya yang penuh dengan kritik sosial dan politik. Melalui bahasa yang kuat dan sindiran yang tajam, puisi ini menggambarkan kemarahan dan kekecewaan penulis terhadap kondisi Indonesia saat ini. Karya ini memaksa pembaca untuk merenung dan menilai kembali bagaimana pemerintah dan masyarakat berinteraksi, serta bagaimana korupsi dan ketidakadilan mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Indonesia Pontang-panting
Karya: Melani Jamilah
© Sepenuhnya. All rights reserved.