Puisi: Ibukotaku Sayang (Karya Agam Wispi)

Puisi "Ibukotaku Sayang" karya Agam Wispi mencerminkan kerapuhan dan kegelisahan dalam kehidupan di kota besar, sekaligus menyoroti ketidakadilan ...
Ibukotaku Sayang
buat H.

mau koyak dada
oleh cahaya terang itu
cahaya menang

rerak gelisahku di kaca jendela
deru kereta memburu sepi luaran
ramainya gubuk bertebar melumpuhkan dusta
karena kenyataan ini telah berkata:
petani memancangkan sekeping papan partainya
jembatan dari desa ke desa
menjurus lurus mewarnai kerja

aku melihat
lagu dan cahya
basah di wajah teman-teman

kereta ini
jalan kencang
setasiun-setasiun kecil
ditinggalkan

Ekspres Surabaya-Jakarta, 11 Maret 1957

Sumber: Yang Tak Terbungkamkan (1959)

Analisis Puisi:

Puisi "Ibukotaku Sayang" karya Agam Wispi adalah gambaran reflektif tentang kehidupan di kota besar, khususnya ibukota, dan perjuangan sosial yang terjadi di dalamnya. Melalui penggunaan simbol-simbol kuat dan pencitraan yang dalam, puisi ini tidak hanya menggambarkan ibukota sebagai pusat aktivitas dan kemajuan, tetapi juga sebagai tempat pergulatan sosial yang keras dan penuh kontradiksi. Dengan sentuhan emosional, puisi ini menyoroti ketidakadilan, harapan, serta perjuangan kaum tertindas.

Kontras Cahaya dan Gelisah dalam Kehidupan Kota

Puisi ini dimulai dengan baris "mau koyak dada oleh cahaya terang itu, cahaya menang," yang langsung memberikan kesan tentang ketegangan emosional yang dialami oleh penyair. Cahaya di sini melambangkan modernitas dan kemajuan kota besar yang terlihat sangat terang dan menarik. Namun, di balik terang benderangnya kota, ada ketegangan batin yang kuat, seolah-olah kota ini tidak hanya membawa kemajuan, tetapi juga penderitaan dan kegelisahan bagi mereka yang hidup di dalamnya.

Ketegangan ini diperkuat dengan gambaran "rerak gelisahku di kaca jendela," yang mencerminkan kegelisahan yang dirasakan oleh penyair saat melihat pemandangan kota dari kejauhan. Kaca jendela, sebagai pembatas antara dunia luar dan batin seseorang, menjadi metafora yang kuat tentang bagaimana kehidupan kota terlihat dari luar — penuh cahaya dan keramaian — tetapi di balik itu semua ada kegelisahan dan kecemasan yang sulit diabaikan.

Kenyataan Sosial di Ibukota

Agam Wispi kemudian mengarahkan fokusnya pada kenyataan sosial yang sering terabaikan di kota besar. Baris "ramainya gubuk bertebar melumpuhkan dusta," menggambarkan realitas pahit tentang kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Gubuk-gubuk yang bertebaran menjadi simbol ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok di kota besar, di mana modernitas dan kemewahan hidup berdampingan dengan kemiskinan yang akut.

Dalam puisi ini, kenyataan kehidupan di kota besar tampak jelas dan tidak bisa disangkal lagi: "karena kenyataan ini telah berkata." Kota yang seharusnya menjadi pusat harapan dan impian bagi banyak orang, ternyata dipenuhi dengan ketidakadilan dan penderitaan. Para petani yang "memancangkan sekeping papan partainya," menggambarkan upaya kaum pekerja untuk memperjuangkan hak-hak mereka di tengah kota yang semakin tidak peduli terhadap nasib mereka. Jembatan yang "menjurus lurus mewarnai kerja," bisa diartikan sebagai simbol perjuangan kolektif yang menghubungkan berbagai lapisan masyarakat yang tertindas dalam usaha mereka untuk meraih keadilan sosial.

Perjuangan Kolektif dan Harapan

Meski puisi ini menggambarkan penderitaan dan ketidakadilan, terdapat juga elemen harapan dan semangat kolektif dalam baris "aku melihat lagu dan cahya basah di wajah teman-teman." Di sini, teman-teman penyair digambarkan sebagai individu yang tetap bersemangat dalam perjuangan mereka, meskipun mereka basah oleh keringat dan air mata. Lagu dan cahaya di wajah mereka melambangkan semangat dan harapan yang tetap ada, meski kehidupan di kota besar penuh dengan tantangan dan rintangan.

Puisi ini juga menyiratkan perjalanan terus-menerus yang dilakukan oleh masyarakat tertindas, digambarkan melalui metafora kereta yang terus berjalan. "Kereta ini jalan kencang," mencerminkan bahwa kehidupan terus berlanjut, meskipun banyak stasiun kecil — yang mungkin melambangkan kesempatan-kesempatan atau harapan-harapan kecil — telah dilewatkan. Stasiun-stasiun kecil yang ditinggalkan ini mungkin mengacu pada berbagai peluang atau solusi yang diabaikan dalam perjuangan menuju perubahan sosial yang lebih besar.

Kritik Sosial dan Refleksi atas Ibukota

Dalam konteks yang lebih luas, "Ibukotaku Sayang" juga bisa dibaca sebagai kritik terhadap kota besar, khususnya ibukota, yang sering kali menjadi pusat kekuasaan dan kemajuan, tetapi juga tempat ketidakadilan sosial paling mencolok. Agam Wispi dengan tajam menyoroti bagaimana ibukota, yang seharusnya menjadi simbol harapan dan kemajuan, juga menjadi tempat di mana kemiskinan, eksploitasi, dan ketidakadilan berkembang biak.

Kota ini tampak begitu modern dan maju di luar, dengan "cahaya terang" yang mengesankan, tetapi di balik semua itu, ada realitas pahit yang tidak bisa diabaikan. Gubuk-gubuk yang bertebaran menjadi simbol dari lapisan masyarakat yang sering kali diabaikan oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan. Puisi ini menjadi semacam panggilan untuk tidak melupakan mereka yang tertindas dan terpinggirkan, meskipun kehidupan di kota besar tampak penuh dengan kilau dan harapan bagi sebagian orang.

Puisi "Ibukotaku Sayang" karya Agam Wispi adalah karya yang mencerminkan kerapuhan dan kegelisahan dalam kehidupan di kota besar, sekaligus menyoroti ketidakadilan sosial yang terjadi di dalamnya. Melalui penggunaan simbol cahaya, kereta, dan gubuk-gubuk yang bertebaran, Wispi menyajikan potret ibukota yang penuh kontradiksi: di satu sisi merupakan pusat kemajuan, tetapi di sisi lain menjadi tempat ketidakadilan yang akut.

Namun, di balik semua itu, puisi ini juga menyiratkan semangat perjuangan dan harapan, meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar. Dengan gaya penulisan yang kuat dan penuh emosi, Agam Wispi berhasil menggambarkan betapa kompleksnya kehidupan di ibukota, di mana cahaya terang kemajuan sering kali menutupi bayang-bayang ketidakadilan yang mendalam.

Puisi ini menjadi pengingat bahwa di balik gemerlapnya kota, masih banyak orang yang berjuang, dan perjuangan mereka tidak boleh dilupakan atau diabaikan.

Agam Wispi
Puisi: Ibukotaku Sayang
Karya: Agam Wispi

Biodata Agam Wispi:
  • Agam Wispi adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
  • Agam Wispi lahir pada tanggal 31 Desember 1930 di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara.
  • Agam Wispi meninggal dunia pada tanggal 31 Desember 1930 di 1 Januari 2003, Amsterdam, Belanda.
© Sepenuhnya. All rights reserved.