Puisi: Ibu, Aku Pahlawan Anti-Perang (Karya Adi Sidharta)

Puisi "Ibu, Aku Pahlawan Anti-Perang" karya Adi Sidharta menggambarkan ketakutan, kepedihan, dan harapan dari seorang anak yang menyaksikan ...
Ibu, Aku Pahlawan Anti-Perang
Untuk adikku di rumah

Ibu, aku takut
siapa itu Syngman Rhee dan Mac Arthur
yang membakar dan membunuh di Korea?

Ibu, apakah anak-anak di Korea
masih bisa bermain dan bersekolah
bernyanyi riang seperti aku
dan masih berayah-ibu tempat
curahan suka dan duka?

Ibu, kita jangan ngungsi lagi
penuh tuma makan gaplek
dan abangku yang tinggal satu
jangan lagi diburu-buru peluru
hanya karena cinta merdeka!

Ibu, untuk apa mesti tambah
lagi pemuda tewas dan invalid
yatim piatu dan gadis-gadis menangis
jangan lagi, Ibu jangan
bom dan nafsu jadi algojo bahagia.

Ibu, tidak boleh ada Korea kedua
aku benci segala Syngman Rhee dan Mac Arthur
karena itu aku kini pahlawan anti-perang!

Sumber: Rangsang Detik (1957)

Analisis Puisi:

Puisi "Ibu, Aku Pahlawan Anti-Perang" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang penuh emosi dan kritik terhadap kekerasan serta dampak buruk dari perang. Dengan gaya yang langsung dan mendalam, puisi ini menggambarkan ketakutan, kepedihan, dan harapan dari seorang anak yang menyaksikan kengerian perang yang menimpa orang-orang yang dicintainya.

Ketakutan dan Kebingungan

Puisi ini dibuka dengan ungkapan ketakutan yang jelas, "Ibu, aku takut." Frasa ini menunjukkan kerentanan anak yang terjebak dalam situasi yang tidak bisa dipahami sepenuhnya. Dengan menanyakan siapa "Syngman Rhee dan Mac Arthur," penyair mengungkapkan kebingungan tentang tokoh-tokoh yang bertanggung jawab atas penderitaan di Korea. Ketakutan ini menjadi semakin jelas ketika anak tersebut mempertanyakan nasib anak-anak di Korea yang mungkin tidak lagi bisa bermain dan belajar.

Pertanyaan ini tidak hanya menggambarkan keprihatinan terhadap anak-anak lain di negara yang dilanda perang, tetapi juga menunjukkan solidaritas dan empati yang mendalam. Dalam konteks ini, penyair menciptakan kontras antara pengalaman hidupnya yang lebih aman dan bahagia dengan kenyataan pahit yang dihadapi anak-anak di Korea.

Mempertanyakan Perang

Melalui puisi ini, Sidharta tidak hanya menyampaikan perasaan pribadi, tetapi juga mempertanyakan makna dan tujuan perang. "Ibu, kita jangan ngungsi lagi," mengisyaratkan rasa lelah dan putus asa terhadap situasi yang memaksa orang-orang untuk meninggalkan rumah mereka. Penyair menggambarkan dampak perang yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional dan psikologis. Frasa "hanya karena cinta merdeka" menunjukkan bahwa perjuangan untuk kebebasan sering kali berujung pada pengorbanan yang tidak proporsional.

Ketegangan dalam puisi ini semakin meningkat ketika penyair mengekspresikan harapannya agar tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban perang. "Untuk apa mesti tambah lagi pemuda tewas dan invalid, yatim piatu dan gadis-gadis menangis," menjadi ungkapan penolakan yang kuat terhadap kekerasan dan perang. Dalam konteks ini, puisi ini berfungsi sebagai suara bagi mereka yang tidak bisa bersuara—anak-anak dan keluarga yang terpaksa mengalami kekecewaan dan kesedihan akibat kekejaman perang.

Pahlawan Anti-Perang

Bagian akhir puisi, di mana penyair menyatakan, "aku kini pahlawan anti-perang," menegaskan identitasnya sebagai penentang perang. Pernyataan ini bukan hanya sebagai pernyataan individual, tetapi juga mencerminkan keinginan kolektif untuk perdamaian. Dengan menggunakan kata "pahlawan," Sidharta menggambarkan bahwa perlawanan terhadap perang juga merupakan tindakan berani. Ini menunjukkan bahwa menjadi pahlawan tidak hanya berarti bertempur di medan perang, tetapi juga melawan ideologi yang mempromosikan kekerasan dan konflik.

Kritik terhadap Kekuatan

Dalam puisi ini, terdapat kritik yang kuat terhadap tokoh-tokoh yang memegang kekuasaan, seperti Syngman Rhee dan Mac Arthur. Penyair mengekspresikan kebencian terhadap mereka yang dianggap sebagai penyebab penderitaan dan kekacauan. Dengan demikian, puisi ini tidak hanya menjadi ekspresi perasaan pribadi, tetapi juga kritik sosial yang relevan terhadap kebijakan dan tindakan yang mengakibatkan penderitaan.

Suara Penuh Harapan untuk Perdamaian

Puisi "Ibu, Aku Pahlawan Anti-Perang" karya Adi Sidharta adalah sebuah karya yang menggugah dan penuh makna. Melalui ungkapan ketakutan dan harapan, penyair berhasil menciptakan gambaran mendalam tentang dampak perang terhadap individu, khususnya anak-anak. Sidharta tidak hanya mengungkapkan perasaannya sendiri, tetapi juga menjadi suara bagi mereka yang tidak bisa bersuara dalam menghadapi ketidakadilan.

Dengan mengangkat tema penolakan terhadap perang dan kekerasan, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya perdamaian dan empati. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi konflik, puisi ini mengingatkan kita akan tanggung jawab kita sebagai manusia untuk melindungi satu sama lain dan menciptakan dunia yang lebih baik, di mana setiap anak memiliki hak untuk bermain dan belajar dengan aman.

Adi Sidharta
Puisi: Ibu, Aku Pahlawan Anti-Perang
Karya: Adi Sidharta

Biodata Adi Sidharta:
  • Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.