Puisi: Hujan (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Hujan" karya Sabar Anantaguna menggambarkan interaksi antara manusia, alam, dan perasaan yang timbul saat hujan turun.

Hujan


Aku kayuhkan, bila hujan merontok.
Mengena kepala perlahan-lahan.

Aku hidupkan, lampu tak nyala.
Malam sepi menepi-nepi.

Di pembayangan sepi tertinggal,
Bantul tertinggal.
Nyanyilah kodok-kodok merayakan hari lahir anaknya,
bulan tenggelam di mega mendung,
di hati gadis.

Aku kayuhkan, bila deras mengucur
menimpa mata tergagap-gagap.
Nyanyilah, nyanyi petani yang aku nyanyikan
aku tergabung tiap denyutan.

Hujan, hujanlah sekeras engkau bisa
meski di rumah memanggang menyetrika
rumah terocoh tikar basah
sudah terlahir sudah diasah.

Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)

Analisis Puisi:

Puisi "Hujan" karya Sabar Anantaguna menangkap esensi kehadiran hujan sebagai fenomena alam yang penuh makna. Melalui rangkaian imaji dan perasaan, puisi ini menggambarkan interaksi antara manusia, alam, dan perasaan yang timbul saat hujan turun.

Momen Kehidupan di Tengah Hujan

Pembukaan puisi dengan kalimat "Aku kayuhkan, bila hujan merontok." menandakan tindakan yang penuh makna. Kayuhan bisa diinterpretasikan sebagai usaha untuk menghadapi hujan, simbol perjuangan hidup. Hujan yang "mengena kepala perlahan-lahan" menciptakan suasana yang intim dan reflektif, menggambarkan bagaimana hujan menyentuh secara perlahan dan menyeluruh, mirip dengan bagaimana pengalaman hidup menyentuh kita.

Kegelapan dan Kesunyian Malam

Selanjutnya, "Aku hidupkan, lampu tak nyala." menunjukkan ketidakberdayaan dan kesepian yang dirasakan saat malam tiba. Ketidaknyalaan lampu melambangkan kegelapan, baik secara harfiah maupun kiasan. Kegelapan malam yang "menepi-nepi" menciptakan kesan sepi yang mendalam, mengajak pembaca merasakan kerinduan atau kehilangan.

Di bagian berikut, penulis menggunakan imaji "Bantul tertinggal," yang mungkin merujuk pada lokasi spesifik, menambah nuansa lokal dan kedekatan. Suasana ini dilengkapi dengan suara "kodok-kodok merayakan hari lahir anaknya," menandakan bahwa meskipun ada kesedihan dan kegelapan, alam tetap merayakan kehidupan. Hujan menciptakan siklus kehidupan, di mana kodok menjadi simbol dari keceriaan dan keberlanjutan.

Perasaan dan Harapan dalam Hujan

"...bulan tenggelam di mega mendung, di hati gadis." menambah kedalaman emosional puisi. Bulan yang tenggelam melambangkan harapan yang redup, sementara "mega mendung" menciptakan suasana yang gelap dan penuh ketidakpastian. Frasa ini menciptakan gambaran tentang hati yang terperangkap dalam kesedihan atau kerinduan, memberi kesan bahwa hujan bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang perasaan yang dalam.

Selanjutnya, ketika penyair mengajak hujan untuk "hujanlah sekeras engkau bisa," ada semangat yang muncul untuk menerima hujan dan semua konsekuensinya. Meskipun ada kesulitan, seperti "di rumah memanggang menyetrika," penyair menunjukkan bahwa hujan adalah bagian dari siklus kehidupan yang tak terhindarkan. "Tikar basah" menggambarkan kenyataan yang harus dihadapi, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut adalah bagian dari pertumbuhan dan pembaharuan.

Puisi "Hujan" menyampaikan pengalaman yang kompleks dan berlapis tentang hubungan antara manusia dengan alam dan perasaan. Sabar Anantaguna berhasil menangkap nuansa kesedihan, kerinduan, dan harapan dalam setiap baitnya. Hujan bukan hanya sekadar fenomena alam, tetapi juga sebuah simbol yang mengajak pembaca merenungkan kehidupan, perjuangan, dan siklus yang tak terputus. Dengan gaya bahasa yang puitis dan imaji yang kuat, puisi ini menciptakan pengalaman emosional yang mendalam dan mengajak kita untuk merasakan kehadiran hujan dalam setiap aspek kehidupan.

Sabar Anantaguna
Puisi: Hujan
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.