Hidup
Dampar sawah -- mata tak sampai ujungnya
debur laut -- telinga tak dengar batasnya
manusia punya dunia
manusia punya hidupnya
hidupnya punya damba
dambanya punya letupan.
Hati, mengapa kesaratan
Hati, mengapa kepahitan
bahu tidak meruntuk
empedu tidak terpecah
Bumi begini indah
Hidup begini manis.
Kalau air laut menyurut
ikan di pantai berpelantingan
mencari nafasnya
coba tenaganya
coba kejar nyawanya
dilarikan air
dipatuk burung
dipanggang api pasir mentari.
Dada, mengapa mengengah-engah
Dada, mengapa menyesak-nyesak
hawa tidak menekan
majikan yang menekan,
burung tidak mematuk
tuantanah mengeping
Hati, meski takpunya apa-apa
Dada, kembangkan tulang-tulang
melihat hidup
seperti anggrek sedang berkembang
Hati, dambanya punya letupan
pada nyanyi lalangdesa dekat berhenti
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Hidup" karya Sabar Anantaguna menawarkan gambaran mendalam tentang pengalaman hidup manusia, mencakup keindahan dan kesedihan yang bersamaan. Dengan bahasa yang puitis dan simbolisme yang kaya, puisi ini menjelajahi tema keberadaan, harapan, dan kerentanan.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini dimulai dengan gambaran visual yang kuat: “Dampar sawah -- mata tak sampai ujungnya, debur laut -- telinga tak dengar batasnya.” Kontras antara keindahan alam dan keterbatasan indera manusia menegaskan bahwa meskipun alam begitu luas dan indah, kita memiliki batasan dalam pengalaman kita. Frasa “manusia punya dunia, manusia punya hidupnya” memperlihatkan bahwa setiap individu memiliki kehidupan dan realitasnya sendiri, meski terkadang terjebak dalam rutinitas.
Tema Harapan dan Keterbatasan
Selanjutnya, Anantaguna mengeksplorasi perasaan mendalam melalui pertanyaan yang menggugah: “Hati, mengapa kesaratan? Hati, mengapa kepahitan?” Pertanyaan ini mencerminkan kebingungan dan kesedihan yang sering menyertai perjalanan hidup. Ada kesadaran bahwa meskipun hidup bisa manis dan indah, ada pula beban emosional yang harus dihadapi.
“Bumi begini indah, Hidup begini manis” mengingatkan kita akan kontras antara keindahan dunia dan rasa sakit yang mungkin kita rasakan. Ini menunjukkan dualitas kehidupan—keindahan yang dapat dilihat dan rasa sakit yang dapat dirasakan.
Simbolisme Alam dan Kehidupan
Bait tentang ikan di pantai yang “berpelantingan, mencari nafasnya” menggambarkan perjuangan dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan. Ikan yang berusaha bertahan hidup di lingkungan yang tidak bersahabat melambangkan bagaimana manusia juga berjuang untuk mengatasi tantangan hidup.
Pertanyaan lanjutan yang muncul: “Dada, mengapa mengengah-engah? Dada, mengapa menyesak-nyesak?” menekankan rasa tertekan yang dihadapi individu, mungkin karena tuntutan hidup yang semakin berat. Ada ketegangan antara harapan dan kenyataan, antara keindahan alam dan tantangan yang harus dihadapi.
Refleksi dan Kebangkitan
Bagian penutup puisi memberikan nada optimis: “Hati, meski takpunya apa-apa, Dada, kembangkan tulang-tulang.” Ini menunjukkan bahwa meskipun tidak memiliki banyak, individu tetap dapat menemukan keindahan dan harapan dalam hidup. Menggunakan citra “anggrek sedang berkembang,” Anantaguna menekankan pentingnya pertumbuhan dan penerimaan diri dalam menghadapi kesulitan.
Puisi "Hidup" karya Sabar Anantaguna adalah karya yang menyentuh dan menggugah tentang keberadaan manusia, berisi refleksi mendalam mengenai keindahan dan kesedihan yang menyertai perjalanan hidup. Dengan simbolisme yang kuat dan bahasa yang puitis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perasaan, harapan, dan tantangan yang dihadapi dalam hidup. Anantaguna berhasil menyoroti bahwa meskipun kehidupan penuh dengan kesulitan, ada keindahan dan potensi untuk tumbuh, mengingatkan kita akan kekuatan yang ada dalam diri kita untuk terus berjuang dan berkembang.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.