Puisi: Guernica (Karya Beni R. Budiman)

Puisi "Guernica" karya Beni R. Budiman mengingatkan kita bahwa perang selalu meninggalkan jejak yang dalam pada kemanusiaan, dan bahwa luka yang ...
Guernica *

Runtuhan puing itu selalu bercerita di matamu
Jaga bercak hitam sisa kobaran api yang geram
Bertahun air mata pun tak kuasa memupus jejak
Dan hujan malah membekukan luka yang menggerak

Dan bekas sayatan pisau di lengan seperti potret
Perang saudara di tenggara. Dan nikotin di kukumu
Yang coklat menyiratkan gumpal asap yang mengerat
Dari tanganmu dunia mendendangkan pesona keranda

Dan lengking nyanyianmu mengingatkan pada ringkik
Kuda yang tertembak. Jerit huru-hara di pusat kota
Lalu teriakanmu ibarat bunyi serak gerobak ditabrak
Irama dari hari-hari yang terus mematri rasa nyeri

Dan wajahmu menggambarkan warna desa yang merana
Menuliskan rintihan lapar yang tak putus menampar
Semua melangkah tanpa penunjuk jalan pada alismu
Di bibir merahmu gelisah itu redam dan bunuh diri

1998-1998

Catatan:
Diambil dari judul lukisan Pablo Picasso.

Analisis Puisi:

Puisi "Guernica" karya Beni R. Budiman adalah karya yang mengangkat tema kehancuran, penderitaan, dan trauma akibat perang. Diambil dari judul lukisan terkenal karya Pablo Picasso, puisi ini menghadirkan suasana tragis yang selaras dengan peristiwa pemboman Guernica dalam Perang Saudara Spanyol tahun 1937, serta dengan gambaran penderitaan manusia dalam berbagai konflik.

Refleksi dari Lukisan Guernica

Lukisan Guernica karya Picasso adalah simbol universal dari penderitaan akibat perang, terutama perang saudara dan kekerasan. Demikian juga, puisi ini menggambarkan kehancuran dan luka batin yang mendalam yang dirasakan oleh para korban. Dalam bait pertama, Beni R. Budiman menggambarkan bagaimana reruntuhan bangunan tidak hanya menjadi saksi fisik dari kehancuran, tetapi juga menjadi simbol trauma yang tak terhapus oleh waktu:

Runtuhan puing itu selalu bercerita di matamu
Jaga bercak hitam sisa kobaran api yang geram
Bertahun air mata pun tak kuasa memupus jejak
Dan hujan malah membekukan luka yang menggerak

Penggunaan metafora seperti "runtuhan puing" dan "bercak hitam" mencerminkan kenangan yang kelam dan tak terlupakan, seolah puing-puing itu terus berbicara kepada mereka yang menyaksikan atau terkena dampaknya. "Luka yang menggerak" menunjukkan bahwa meskipun waktu berlalu, penderitaan tetap hadir, bahkan semakin dalam.

Potret Kekerasan dan Trauma

Di bait-bait selanjutnya, Budiman menggunakan imaji yang menggambarkan penderitaan fisik dan psikologis akibat perang. Misalnya, frasa "sayatan pisau di lengan" dan "potret perang saudara di tenggara" memperkuat citra kekerasan yang dialami individu:

Dan bekas sayatan pisau di lengan seperti potret
Perang saudara di tenggara. Dan nikotin di kukumu
Yang coklat menyiratkan gumpal asap yang mengerat
Dari tanganmu dunia mendendangkan pesona keranda

Nikotin di kuku yang coklat adalah simbol stres dan kecanduan yang sering kali muncul dalam kondisi perang atau trauma. "Pesona keranda" adalah gambaran kematian yang begitu dekat dan tak terelakkan, menambah suasana muram dalam puisi ini.

Jeritan dan Nyanyian Kesedihan

Budiman kemudian membawa kita ke dalam suasana yang lebih emosional dengan menggambarkan jeritan, ringkikan kuda, dan teriakan yang mengingatkan pada kesakitan dan kekacauan di pusat kota. Suara-suara ini mencerminkan huru-hara perang:

Dan lengking nyanyianmu mengingatkan pada ringkik
Kuda yang tertembak. Jerit huru-hara di pusat kota
Lalu teriakanmu ibarat bunyi serak gerobak ditabrak
Irama dari hari-hari yang terus mematri rasa nyeri

Suara-suara ini tidak hanya menggambarkan situasi perang tetapi juga menunjukkan betapa dalam penderitaan itu mengukir kenangan di jiwa mereka yang mengalaminya. Budiman dengan cermat menggunakan bunyi-bunyi yang kasar dan menyakitkan untuk menggambarkan ketidaknyamanan dan rasa sakit yang mendalam.

Luka dan Kemiskinan yang Menyelimuti

Puisi ini juga menyentuh aspek kemiskinan dan kelaparan yang menjadi dampak langsung dari perang. Bait terakhir menggambarkan suasana desa yang hancur dan kelaparan yang terus menggerogoti penduduknya:

Dan wajahmu menggambarkan warna desa yang merana
Menuliskan rintihan lapar yang tak putus menampar
Semua melangkah tanpa penunjuk jalan pada alismu
Di bibir merahmu gelisah itu redam dan bunuh diri

Wajah yang "menggambarkan warna desa yang merana" adalah cerminan bagaimana perang tidak hanya menghancurkan kota, tetapi juga mempengaruhi seluruh masyarakat, dari perkotaan hingga pedesaan. Di sini, Budiman menggambarkan rasa lapar yang konstan dan perasaan kehilangan arah yang mendalam di tengah-tengah konflik.

Puisi Sebagai Refleksi Kekerasan dan Penderitaan

Puisi "Guernica" karya Beni R. Budiman adalah puisi yang menggugah perasaan, menggambarkan penderitaan akibat perang dan trauma yang terus menghantui para korban. Seperti lukisan Picasso yang menjadi inspirasinya, puisi ini menangkap esensi dari kekerasan, penderitaan, dan kehancuran yang disebabkan oleh perang, dengan cara yang penuh simbolisme dan emosi. Beni menggunakan bahasa yang kuat dan simbolis untuk mengajak pembaca merasakan kepedihan dan rasa kehilangan yang dirasakan oleh mereka yang terdampak perang.

Puisi ini mengingatkan kita bahwa perang selalu meninggalkan jejak yang dalam pada kemanusiaan, dan bahwa luka yang ditinggalkannya tidak mudah sembuh, bahkan ketika waktu terus berjalan.

Puisi
Puisi: Guernica
Karya: Beni R. Budiman

Biodata Beni R. Budiman:
  • Beni R. Budiman lahir di desa Dawuan, Kadipaten, Majalengka, pada tanggal 10 September 1965.
  • Beni R. Budiman meninggal dunia di Bandung pada tanggal 3 Desember 2002.
© Sepenuhnya. All rights reserved.