Analisis Puisi:
Puisi "Guernica" karya Beni R. Budiman adalah karya yang mengangkat tema kehancuran, penderitaan, dan trauma akibat perang. Diambil dari judul lukisan terkenal karya Pablo Picasso, puisi ini menghadirkan suasana tragis yang selaras dengan peristiwa pemboman Guernica dalam Perang Saudara Spanyol tahun 1937, serta dengan gambaran penderitaan manusia dalam berbagai konflik.
Refleksi dari Lukisan Guernica
Lukisan Guernica karya Picasso adalah simbol universal dari penderitaan akibat perang, terutama perang saudara dan kekerasan. Demikian juga, puisi ini menggambarkan kehancuran dan luka batin yang mendalam yang dirasakan oleh para korban. Dalam bait pertama, Beni R. Budiman menggambarkan bagaimana reruntuhan bangunan tidak hanya menjadi saksi fisik dari kehancuran, tetapi juga menjadi simbol trauma yang tak terhapus oleh waktu:
Runtuhan puing itu selalu bercerita di matamu Jaga bercak hitam sisa kobaran api yang geram Bertahun air mata pun tak kuasa memupus jejak Dan hujan malah membekukan luka yang menggerak
Penggunaan metafora seperti "runtuhan puing" dan "bercak hitam" mencerminkan kenangan yang kelam dan tak terlupakan, seolah puing-puing itu terus berbicara kepada mereka yang menyaksikan atau terkena dampaknya. "Luka yang menggerak" menunjukkan bahwa meskipun waktu berlalu, penderitaan tetap hadir, bahkan semakin dalam.
Potret Kekerasan dan Trauma
Di bait-bait selanjutnya, Budiman menggunakan imaji yang menggambarkan penderitaan fisik dan psikologis akibat perang. Misalnya, frasa "sayatan pisau di lengan" dan "potret perang saudara di tenggara" memperkuat citra kekerasan yang dialami individu:
Dan bekas sayatan pisau di lengan seperti potret Perang saudara di tenggara. Dan nikotin di kukumu Yang coklat menyiratkan gumpal asap yang mengerat Dari tanganmu dunia mendendangkan pesona keranda
Nikotin di kuku yang coklat adalah simbol stres dan kecanduan yang sering kali muncul dalam kondisi perang atau trauma. "Pesona keranda" adalah gambaran kematian yang begitu dekat dan tak terelakkan, menambah suasana muram dalam puisi ini.
Jeritan dan Nyanyian Kesedihan
Budiman kemudian membawa kita ke dalam suasana yang lebih emosional dengan menggambarkan jeritan, ringkikan kuda, dan teriakan yang mengingatkan pada kesakitan dan kekacauan di pusat kota. Suara-suara ini mencerminkan huru-hara perang:
Dan lengking nyanyianmu mengingatkan pada ringkik Kuda yang tertembak. Jerit huru-hara di pusat kota Lalu teriakanmu ibarat bunyi serak gerobak ditabrak Irama dari hari-hari yang terus mematri rasa nyeri
Suara-suara ini tidak hanya menggambarkan situasi perang tetapi juga menunjukkan betapa dalam penderitaan itu mengukir kenangan di jiwa mereka yang mengalaminya. Budiman dengan cermat menggunakan bunyi-bunyi yang kasar dan menyakitkan untuk menggambarkan ketidaknyamanan dan rasa sakit yang mendalam.
Luka dan Kemiskinan yang Menyelimuti
Puisi ini juga menyentuh aspek kemiskinan dan kelaparan yang menjadi dampak langsung dari perang. Bait terakhir menggambarkan suasana desa yang hancur dan kelaparan yang terus menggerogoti penduduknya:
Dan wajahmu menggambarkan warna desa yang merana Menuliskan rintihan lapar yang tak putus menampar Semua melangkah tanpa penunjuk jalan pada alismu Di bibir merahmu gelisah itu redam dan bunuh diri
Wajah yang "menggambarkan warna desa yang merana" adalah cerminan bagaimana perang tidak hanya menghancurkan kota, tetapi juga mempengaruhi seluruh masyarakat, dari perkotaan hingga pedesaan. Di sini, Budiman menggambarkan rasa lapar yang konstan dan perasaan kehilangan arah yang mendalam di tengah-tengah konflik.
Puisi Sebagai Refleksi Kekerasan dan Penderitaan
Puisi "Guernica" karya Beni R. Budiman adalah puisi yang menggugah perasaan, menggambarkan penderitaan akibat perang dan trauma yang terus menghantui para korban. Seperti lukisan Picasso yang menjadi inspirasinya, puisi ini menangkap esensi dari kekerasan, penderitaan, dan kehancuran yang disebabkan oleh perang, dengan cara yang penuh simbolisme dan emosi. Beni menggunakan bahasa yang kuat dan simbolis untuk mengajak pembaca merasakan kepedihan dan rasa kehilangan yang dirasakan oleh mereka yang terdampak perang.
Puisi ini mengingatkan kita bahwa perang selalu meninggalkan jejak yang dalam pada kemanusiaan, dan bahwa luka yang ditinggalkannya tidak mudah sembuh, bahkan ketika waktu terus berjalan.