Puisi: Gerilya Tani (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Gerilya Tani" karya Sabar Anantaguna menggambarkan perjuangan para petani yang terjebak dalam konflik dan kekerasan, serta semangat mereka ...

Gerilya Tani


Musuh mengepung dari kali,
padi ditembaki
kodok henti menyanyi
bintang mulai pudar.

Tersungkur di lumpur.
gerilya,
jerami kencing sampi
karabin dingin dalam dekapan.

Tetesnya darah, tetesnya embun
tetesnya api, petani bangkit
jam empat di pucuk karabin
demi tanah demi padi.

Gerilya tani
lumpur disisihkan
padi dirayungkan
tak mati bintang-bintang.

Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)

Analisis Puisi:

Puisi "Gerilya Tani" karya Sabar Anantaguna menggambarkan perjuangan para petani yang terjebak dalam konflik dan kekerasan, serta semangat mereka untuk mempertahankan tanah dan hasil pertanian. Melalui imaji yang kuat dan simbolisme yang mendalam, puisi ini menyoroti hubungan antara petani, tanah, dan perlawanan terhadap penindasan.

Tema Perjuangan dan Perlawanan

Pembukaan puisi dengan frasa "Musuh mengepung dari kali" menciptakan suasana tegang dan mencekam. Musuh yang diceritakan seakan datang dari segala arah, menggambarkan situasi yang tidak aman bagi para petani. Dengan menyebutkan "padi ditembaki," Anantaguna secara metaforis menunjukkan bahwa hasil pertanian, yang merupakan sumber kehidupan, juga menjadi sasaran kekerasan. Hal ini menciptakan kesadaran bahwa petani tidak hanya berjuang untuk hasil tani, tetapi juga untuk kelangsungan hidup mereka.

Kontras antara Keindahan dan Kekerasan

Imaji "kodok henti menyanyi" dan "bintang mulai pudar" menggambarkan kehilangan keindahan alam yang sering kali menjadi latar belakang kehidupan petani. Keheningan kodok dan redupnya bintang menciptakan nuansa kesedihan dan kehilangan. Kontras antara keindahan alam dan kekerasan yang terjadi di sekitarnya semakin memperkuat pesan bahwa pertempuran ini bukan hanya fisik, tetapi juga emosional dan spiritual.

Semangat Juang Petani

Selanjutnya, bait yang menggambarkan "tetesnya darah, tetesnya embun" menunjukkan dualitas antara penderitaan dan harapan. Darah mewakili pengorbanan dan perjuangan, sementara embun melambangkan harapan dan kehidupan baru. Ketika puisi menyebutkan "demi tanah demi padi," kita melihat bahwa perjuangan petani adalah untuk mempertahankan apa yang mereka cintai dan hargai—tanah dan hasil pertanian mereka.

Gerakan Kolektif dan Harapan

Istilah "gerilya tani" menunjukkan bahwa perjuangan ini adalah bentuk perlawanan yang terorganisir, di mana para petani bersatu melawan penindasan. Dengan menyatakan "lumpur disisihkan," puisi ini mengisyaratkan bahwa meskipun kondisi sulit, semangat perjuangan mereka tetap hidup. Ungkapan "tak mati bintang-bintang" menandakan bahwa harapan dan impian untuk masa depan yang lebih baik tidak akan pernah padam.

Puisi "Gerilya Tani" karya Sabar Anantaguna adalah seruan untuk menghargai dan mendukung perjuangan petani yang sering kali terpinggirkan dalam narasi besar tentang kemajuan dan pembangunan. Melalui lirik yang kuat dan imaji yang menyentuh, Anantaguna mengajak pembaca untuk merenungkan tantangan yang dihadapi oleh para petani dan semangat juang mereka untuk mempertahankan tanah dan hidup mereka. Puisi ini menjadi pengingat akan pentingnya keberanian, ketahanan, dan kolektivitas dalam menghadapi penindasan, serta harapan untuk masa depan yang lebih cerah.

Sabar Anantaguna
Puisi: Gerilya Tani
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.