Puisi: Gerilya di Gunung (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Gerilya di Gunung" karya Sabar Anantaguna menyampaikan tema perjuangan, kehilangan, dan harapan di tengah ketidakpastian.

Gerilya di Gunung


Pertemuan akhir malam pelita,
mata dikilap karabin.

Kami berpisah di dingin pagi
bertukar tawa kanak-kanak
oleh-olehnya kemenangan.

Hari itu hari mesra
rambutnya tidak bersisir
pada dahi.
Tapi semua pasti
dalam tangannya, mendukung
bom tarikan hitam mentari
belum terbit.

Bila petani pulang
kepastian di cangkulnya
beri makan kami --
gelegar di tenggara
berondong suara
secepat jantung disayang.

Lima dari kami mati
senyum tenggelam bareng mentari
tak tahu letih atau sedih
bungkam malam dalam kenangan.

Di tahi petani, yang mati dikubur.
Di tanah petani, yang gugur dikubur.
Malam itu tembang durma, tapi dua truk penuh hancur.
membela tanah tak seorang minta libur.

Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)

Analisis Puisi:

Puisi "Gerilya di Gunung" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang mencerminkan pengalaman dan emosi para pejuang dalam situasi konflik. Melalui lirik yang puitis dan simbolik, puisi ini menyampaikan tema perjuangan, kehilangan, dan harapan di tengah ketidakpastian.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini dibuka dengan suasana malam yang kelam, “Pertemuan akhir malam pelita, mata dikilap karabin.” Pembukaan ini menciptakan nuansa tegang dan misterius, menandakan bahwa situasi yang dihadapi adalah berbahaya. Karabin sebagai simbol kekuatan militer memberikan gambaran tentang konflik yang sedang berlangsung.

Harapan dan Persahabatan

Setelah pembukaan yang tegang, puisi beralih ke momen yang lebih hangat dengan “bertukar tawa kanak-kanak.” Ini menggambarkan momen persahabatan dan harapan di tengah situasi sulit. Momen ini menciptakan kontras yang kuat dengan ketegangan sebelumnya, menunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi perang, manusia tetap mencari kebahagiaan dan hubungan satu sama lain.

Kehidupan Sehari-hari Petani

Anantaguna selanjutnya menggambarkan kehidupan petani: “Bila petani pulang, kepastian di cangkulnya.” Ini menekankan pentingnya kehidupan sehari-hari dan bagaimana para petani berjuang untuk memberikan makan kepada masyarakat meskipun dalam situasi yang sulit. Petani menjadi simbol dari ketahanan dan harapan dalam puisi ini.

Kehilangan dan Kesedihan

Bait yang menyebutkan “Lima dari kami mati, senyum tenggelam bareng mentari” menyampaikan pesan tentang kehilangan yang mendalam. Angka lima bukan hanya sekadar angka, tetapi melambangkan nyawa yang hilang dan dampak emosional yang ditimbulkan dari kehilangan teman sejawat. Di sini, Anantaguna menggambarkan rasa sakit dan kesedihan yang dialami oleh para pejuang.

Identitas dan Pengorbanan

Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan identitas dan pengorbanan. Dalam “Di tanah petani, yang gugur dikubur,” ada pengakuan bahwa para pejuang tidak hanya bertarung untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk tanah dan komunitas mereka. Ini menunjukkan bahwa perjuangan mereka adalah bagian dari warisan dan keberlangsungan hidup.

Penutup yang Menggugah

Akhir puisi dengan “malam itu tembang durma, tapi dua truk penuh hancur” menyoroti kerugian yang besar dan dampak dari perang. Meski ada momen-momen kebersamaan dan harapan, puisi ini mengingatkan kita pada realitas pahit dari konflik dan pengorbanan yang harus dibayar.

Puisi "Gerilya di Gunung" karya Sabar Anantaguna adalah karya yang menyentuh tentang perjuangan, harapan, dan kehilangan di tengah konflik. Dengan gaya bahasa yang puitis dan penuh makna, Anantaguna berhasil menciptakan narasi yang menggugah tentang kehidupan para pejuang dan petani. Puisi ini bukan hanya cerminan dari kondisi sosial dan politik, tetapi juga seruan untuk mengenang dan menghargai pengorbanan mereka yang berjuang demi tanah dan kehidupan. Melalui puisi ini, kita diingatkan akan pentingnya solidaritas dan kemanusiaan dalam menghadapi tantangan yang berat.

Sabar Anantaguna
Puisi: Gerilya di Gunung
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.