Di Sungai Li
Alangkah indah Sungai Li yang mengalir tenang di daerah Jangsju,
terentang berkelok seperti pitasutera birutua
berkedut-kedut dibelai yang nyaman sejuk di pagi itu.
Jernihnya sejernih kristal, tambah ke dalam tambah bercahya;
kulitah batu-batu berlumut dan ikan-ikan lomba-berlomba;
pasir menangkap sinarsurya, berkilat-kilat di pantai putih.
Perahu-perahu meluncur lambat, menegang bisu seperti angsa
beriring-iring dan ada satu-satu melepasdiri dari kawanannya,
seperti melamun dipesona keindahan sekitar, lalu melengah
menatapi satu persatu puncak gunung-gunung batu tinggi menjulang.
Di kejauhan sebuah kuil kecil tertengger di punggung gunung,
bertiang lima, atapnya lancip, berjari-jari runcing melengkung.
Berhadapan dengan keindahan ini aku jadi kesunyian,
terasa megap dikepung beribu gunung dan anginpagi sejuk
ingatkan daku pada kehangatan pelukan lenganmu membujuk
sesudah semalam-malaman membiarkan aku diremuk rindu.
Langit cerah, angkasa sunyi, tak seekor pun undan terbang,
terasa sekali kesendirian kau tinggalkan, alangkah lengang.
Ah, aku kehilangan kau, manisku, aku kehilangan kau.
Desa Jangsju (Tiongkok), Oktober 1959
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi "Di Sungai Li" karya HR. Bandaharo menawarkan pembaca sebuah perjalanan emosional melalui keindahan alam yang tenang dan refleksi mendalam tentang kehilangan dan kesunyian. Dalam puisi ini, Bandaharo menciptakan gambaran yang indah tentang Sungai Li di Jangsju, sekaligus mengekspresikan perasaan pribadi yang kompleks melalui suasana alam.
Keindahan Alam yang Menenangkan
Puisi ini dimulai dengan deskripsi pemandangan alam yang menawan: “Alangkah indah Sungai Li yang mengalir tenang di daerah Jangsju,” yang memperkenalkan kita pada suasana damai di tepi sungai. Sungai Li digambarkan sebagai aliran air yang tenang, membentuk kelokan yang serupa dengan pita biru tua, yang menciptakan gambar visual yang menenangkan. Bandaharo menggunakan istilah “terentang berkelok seperti pitasutera birutua” untuk menonjolkan keindahan dan kemegahan sungai, seakan-akan sungai tersebut adalah seutas pita yang melingkar indah di lanskap.
Kecerahan dan Kejernihan
Deskripsi lanjutan tentang air yang jernih “sejernih kristal, tambah ke dalam tambah bercahya” dan “kulitah batu-batu berlumut dan ikan-ikan lomba-berlomba” menciptakan citra visual yang kuat tentang kejernihan dan kehidupan di sungai tersebut. Pasir yang “menangkap sinarsurya, berkilat-kilat di pantai putih” menambah keindahan dan kesegaran pemandangan. Bandaharo dengan mahir menciptakan kontras antara cahaya matahari yang berkilauan di atas air dan ketenangan alam yang menyelimuti sungai.
Perahu dan Kuil di Pemandangan
Gambaran “Perahu-perahu meluncur lambat, menegang bisu seperti angsa” menunjukkan ketenangan dan ritme lambat kehidupan di sekitar sungai. Perahu-perahu yang bergerak perlahan, “beriring-iring”, menambah elemen ketenangan, sementara “sebuah kuil kecil tertengger di punggung gunung” menambahkan dimensi spiritual dan budaya pada pemandangan. Kuial yang “bertiang lima, atapnya lancip, berjari-jari runcing melengkung” memberikan sentuhan arsitektur tradisional yang harmonis dengan alam sekitar.
Kesunyian dan Kesedihan Pribadi
Sementara pemandangan sungai dan gunung menggambarkan ketenangan, puisi ini juga menyingkapkan kedalaman perasaan pribadi penyair. “Berhadapan dengan keindahan ini aku jadi kesunyian,” menandakan bahwa keindahan alam yang luar biasa malah mengarahkan pada kesadaran mendalam tentang kesepian dan kehilangan. Suasana yang awalnya tenang dan damai kini terasa sebagai latar belakang untuk perasaan kerinduan dan kesepian.
Bandaharo mencatat bagaimana “anginpagi sejuk ingatkan daku pada kehangatan pelukan lenganmu”, menggambarkan bagaimana keindahan alam memicu kenangan akan seseorang yang telah pergi. Dalam deskripsi ini, keindahan alam menjadi kontras yang tajam dengan rasa kehilangan yang dialami penyair. “Langit cerah, angkasa sunyi, tak seekor pun undan terbang” menyoroti kesepian yang mendalam, dengan keheningan yang melingkupi langit dan tidak adanya aktivitas di sekeliling.
Keindahan Alam dan Rasa Kehilangan
Puisi "Di Sungai Li" karya HR. Bandaharo menyajikan pemandangan alam yang menakjubkan sebagai latar belakang untuk refleksi pribadi tentang kehilangan dan kesepian. Bandaharo menggabungkan keindahan sungai, gunung, dan kuil dengan kedalaman emosional yang dirasakan penyair. Pemandangan alam yang damai dan jernih menciptakan kontras dengan perasaan kesepian dan kerinduan yang mendalam, mengungkapkan bagaimana keindahan luar bisa memicu perasaan internal yang intens.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara keindahan alam dan pengalaman manusia. Sementara pemandangan yang menakjubkan menawarkan ketenangan dan keindahan, perasaan pribadi seperti kerinduan dan kesepian tetap hadir, menciptakan momen reflektif yang mendalam. Bandaharo berhasil menggabungkan kedua elemen ini dengan harmoni, menjadikan puisi ini sebuah karya yang menyentuh dan penuh makna.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.