Puisi: Di Pegunungan (Karya Rachmat Djoko Pradopo)

Puisi "Di Pegunungan" karya Rachmat Djoko Pradopo mengajak kita untuk merenung tentang pentingnya menjaga alam sebagai tempat pelarian dan ...
Di Pegunungan

di sini, angin hijau
mendinginkan kegerahan
menghapus debu-debu kota
inilah napas segar, dengan butir-butir oksigen bening
yang mestinya dilestarikan
sampai ke tepi-tepi waktu
di antara geretak bintang
komputer dan derum pembangunan
yang gempita menjagakan hari

waduh, jambonnya langit muda
menjinakkan matahari yang garang
mengendurkan urat-urat yang capek
membasuh jiwa yang pedih yang letih
inilah tamasya alam tenteram
yang selalu manusia rindukan
dalam pergolakan tak reda-reda
yang melapah tenaga melapah usia
inilah ketenteraman sebelum 
kembali kegerahan

11 Maret 1990

Sumber: Aubade (1999)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Pegunungan" karya Rachmat Djoko Pradopo menawarkan penggambaran mendalam tentang keindahan dan kedamaian alam pegunungan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Melalui bait-baitnya, penyair menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga dan melestarikan alam sebagai tempat peristirahatan jiwa di tengah dunia yang semakin sesak dan padat oleh pembangunan dan modernisasi.

Keindahan dan Kedamaian Alam Pegunungan

Puisi ini dimulai dengan suasana pegunungan yang menyegarkan, seperti digambarkan melalui frasa "angin hijau" yang "mendinginkan kegerahan." Ungkapan "angin hijau" di sini bisa dimaknai sebagai udara segar yang membawa aroma daun dan vegetasi khas pegunungan, yang mampu memberikan kesejukan dan ketenangan bagi siapa pun yang merasakannya. Angin ini digambarkan memiliki kekuatan untuk "menghapus debu-debu kota," menyiratkan bagaimana alam dapat membersihkan jiwa yang tercemar oleh kebisingan dan polusi kota.

Bait ini menekankan pentingnya "napas segar, dengan butir-butir oksigen bening," sebuah ajakan untuk menghargai dan melestarikan alam hingga "ke tepi-tepi waktu." Hal ini mengisyaratkan keinginan penyair agar keindahan dan kemurnian alam tetap terjaga untuk generasi mendatang, di tengah perkembangan zaman yang sering kali mengorbankan keasrian lingkungan.

Kontras antara Kedamaian Alam dan Kegaduhan Pembangunan

Pada bagian selanjutnya, penyair menciptakan kontras antara keheningan pegunungan dengan kegaduhan pembangunan modern. Di tengah "geretak bintang," simbol dari keheningan dan keindahan alam malam, terdapat "komputer dan derum pembangunan," yang melambangkan kebisingan dan hiruk-pikuk kemajuan manusia. Penggunaan kata "gempita menjagakan hari" menggambarkan bagaimana modernisasi menginterupsi ketenangan alam dan membuat manusia selalu sibuk dan terjaga.

Konflik antara kedamaian alami dan kegaduhan pembangunan ini mengingatkan pembaca pada kenyataan bahwa dunia semakin terganggu oleh laju modernisasi yang tidak terkontrol. Di balik kemajuan teknologi dan pembangunan, terdapat harga yang harus dibayar berupa kerusakan lingkungan dan hilangnya ketenangan yang pernah ada.

Lanskap Pegunungan sebagai Tempat Pelarian

Melalui bait berikutnya, penyair menggambarkan pegunungan sebagai tempat perlindungan dan pelarian dari kehidupan yang melelahkan. Dengan ungkapan "jambonnya langit muda / menjinakkan matahari yang garang," penyair menyiratkan bagaimana langit pegunungan yang indah mampu menenangkan panasnya terik matahari. Gambaran ini menunjukkan bahwa di alam pegunungan, manusia bisa menemukan ketenangan dan kedamaian yang sangat dibutuhkan di tengah segala tekanan hidup.

Pegunungan dianggap sebagai "tamasya alam tenteram / yang selalu manusia rindukan," tempat di mana manusia bisa merasakan kelegaan dan kedamaian yang sulit ditemukan di tempat lain. Ini adalah penggambaran yang kuat tentang betapa berartinya alam sebagai sarana penyembuhan batin dan fisik di tengah "pergolakan tak reda-reda / yang melapah tenaga melapah usia."

Pengingat akan Ketidakabadian Kedamaian

Puisi ini ditutup dengan pesan yang mendalam tentang kehadiran sementara ketenangan di pegunungan. Meski alam menawarkan ketenangan dan peristirahatan, kenyataan bahwa kita harus "kembali kegerahan" mengingatkan kita pada dunia nyata yang penuh dengan tekanan dan tuntutan. Kedamaian di pegunungan hanyalah "ketenteraman sebelum / kembali kegerahan," sebuah tempat perhentian sementara sebelum kita kembali menghadapi kerasnya kehidupan di luar sana.

Pesan Lingkungan dan Renungan Spiritual

Melalui puisi ini, Rachmat Djoko Pradopo tidak hanya menggambarkan keindahan alam, tetapi juga menawarkan renungan mendalam tentang nilai-nilai spiritual yang bisa diperoleh dari alam. Alam menjadi tempat di mana manusia bisa merenung, beristirahat, dan mengisi ulang semangat hidup mereka. Selain itu, puisi ini juga mengandung pesan kuat tentang pentingnya pelestarian lingkungan di tengah dunia yang semakin maju.

Puisi "Di Pegunungan" karya Rachmat Djoko Pradopo adalah puisi yang merayakan keindahan alam sekaligus mengkritik kerusakan yang diakibatkan oleh modernisasi dan pembangunan. Dengan menggambarkan kontras antara ketenangan pegunungan dan kegaduhan kehidupan perkotaan, penyair mengajak kita untuk merenung tentang pentingnya menjaga alam sebagai tempat pelarian dan penyembuhan jiwa. Di tengah ketidakpastian dunia modern, puisi ini mengingatkan kita bahwa kedamaian sejati mungkin hanya dapat ditemukan di alam yang masih perawan dan murni.

Puisi Rachmat Djoko Pradopo
Puisi: Di Pegunungan
Karya: Rachmat Djoko Pradopo

Biodata Rachmat Djoko Pradopo:
  • Rachmat Djoko Pradopo lahir pada tanggal 3 November 1939 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Rachmat Djoko Pradopo adalah salah satu Sastrawan Angkatan '80.
© Sepenuhnya. All rights reserved.