Puisi: Di Kelenteng Senggarang (Karya Idrus Tintin)

Puisi "Di Kelenteng Senggarang" mengajak pembaca untuk merenungkan keberadaan dan pengalaman dalam konteks tradisi dan modernitas.
Di Kelenteng Senggarang

Mak-nyah tua tersenyum menyapa
hendak ke mane?
ucapannya mengalun
seperti dalam pantun
Di gerbang depan
singa batu
sudah ratusan tahun membisu
tak hiraukan bangunan yang ia jaga
dililit benalu ara dan angsana
tumbuhan nestapa dan putus-asa;
singa bisu
tak-acuhkan asap hio yang telah selekehkan
jelaga pada surai dan jambulnya;
sekawan kelelawar
mainkan musik tentang
sepasang kekasih yang bertengkar
dalam wayang cina
Di depan altar
seorang apek berkuda-kunda kuntauw
mata terpejam merenung di balik tembok nasib
menggenggam harapan erat-ketat
anggukkan hio, mulut komat-kamit,
Jangan-jangan yang ia baca
sepotong sajak Li-Tai-Pe

Sumber: Idrus Tintin (1996)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Kelenteng Senggarang" karya Idrus Tintin menghadirkan suasana yang kaya akan nuansa budaya dan tradisi, sekaligus menggambarkan pertemuan antara kehidupan sehari-hari dan spiritualitas. Melalui gambaran visual yang kuat dan simbol-simbol yang mendalam, puisi ini menawarkan refleksi tentang harapan, kesedihan, dan ketahanan dalam konteks kehidupan yang terus berubah.

Suasana Kelenteng

Puisi ini dimulai dengan penggambaran seorang mak-nyah tua yang menyapa dengan senyuman, menciptakan nuansa hangat dan akrab. Pertanyaan "hendak ke mane?" bukan hanya sekadar sapaan, tetapi juga mengajak pembaca untuk memahami tujuan dan perjalanan hidup. Dengan menggunakan elemen budaya lokal, Tintin menciptakan jembatan antara pembaca dan lingkungan kelenteng yang kaya akan tradisi.

Di gerbang kelenteng, singa batu yang "sudah ratusan tahun membisu" menjadi simbol keabadian dan ketidakpedulian terhadap waktu. Meskipun ia menjaga bangunan, singa ini tampak tak acuh terhadap kerusakan yang terjadi di sekelilingnya, dililit oleh "benalu ara dan angsana" yang mencerminkan kesedihan dan putus asa. Dalam hal ini, singa batu dapat dilihat sebagai simbol kekuatan yang terpinggirkan, yang terjebak dalam kesunyian dan stagnasi.

Kelelawar dan Musik

Gambaran sekawan kelelawar yang "mainkan musik tentang sepasang kekasih yang bertengkar" memberikan sentuhan dramatis pada puisi ini. Musik kelelawar mungkin mengisyaratkan kerumitan hubungan manusia, menciptakan suasana melankolis di tengah kelenteng yang biasanya menjadi tempat kedamaian. Dalam konteks ini, kelelawar menjadi simbol dari realitas yang pahit, di mana pertikaian dan konflik hadir bahkan di tempat yang seharusnya suci.

Harapan dan Renungan

Di depan altar, apek yang “berkuda-kunda kuntauw” menggambarkan gambaran seorang pengunjung yang mencari harapan dan ketenangan. Dalam posisi merenung, ia menggenggam harapan dengan erat, menunjukkan kerinduan akan sesuatu yang lebih baik. Agak paradoks, di balik tembok nasib, harapan ini berfungsi sebagai jembatan antara dunia material dan spiritual.

Saat apek menganggukkan hio dan berkomat-kamit, terdapat nuansa ketulusan dalam upaya untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih tinggi. Pertanyaan retoris “Jangan-jangan yang ia baca sepotong sajak Li-Tai-Pe” menambah lapisan makna, menghubungkan puisi ini dengan tradisi sastra yang lebih luas, sekaligus menunjukkan bahwa harapan dan pencarian makna adalah bagian dari pengalaman manusia yang universal.

Puisi "Di Kelenteng Senggarang" mengajak pembaca untuk merenungkan keberadaan dan pengalaman dalam konteks tradisi dan modernitas. Melalui penggunaan simbol-simbol yang kuat dan gambaran yang mendalam, Idrus Tintin berhasil menciptakan suatu karya yang tidak hanya menggambarkan kelenteng sebagai tempat suci, tetapi juga menyoroti kerumitan emosi manusia yang muncul dalam keseharian.

Dengan memadukan elemen budaya, spiritualitas, dan hubungan antar manusia, puisi ini menawarkan refleksi yang mendalam tentang harapan, kesedihan, dan ketahanan, sekaligus merayakan keindahan dari kehidupan yang penuh warna.

Puisi Idrus Tintin
Puisi: Di Kelenteng Senggarang
Karya: Idrus Tintin

Biodata Idrus Tintin:
  • Idrus Tintin (oleh sanak keluarga dan kawan-kawannya, biasa dipanggil Derus) lahir pada tanggal 10 November 1932 di Rengat, Riau.
  • Idrus Tintin meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2003 (usia 71 tahun) akibat penyakit stroke.
© Sepenuhnya. All rights reserved.