Desanya Tuan Markaban
Anak air ibunya hujan
jatuh-jatuh dari genting.
Anak suara ibunya kentongan
bendal-bendal dari perutnya.
Maling! maling! cegat utara
kebon ganyong mbok Samilah
ke kali! ke kali! meloncat pandan berduri.
Pagi.
Di samping batu lelaki berdarah
dia bapak si Sarijah
ditaburi beras semanci.
Tunduklah orang sedesa
bila embun intan-intan
bergayut di padi tuan Markaban
merajuti hati rasa sedesa.
Mbok Sarijah menangis, menangis;
jari bayi besar jerami.
Mengapa maling kau Pakne, ya, pakne?
Sarijah berbalik menutup
menatap pelupuk putih.
Tunduklah orang sedesa
bila embun intan-intan
tetes-tetes dari padi tuan Markaban
seorang buruh tani mati kelaparan.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Desanya Tuan Markaban" karya Sabar Anantaguna menyajikan gambaran mendalam tentang kehidupan di pedesaan, dengan fokus pada ketidakadilan sosial dan penderitaan masyarakat. Melalui penggunaan simbol dan citra yang kuat, puisi ini tidak hanya menggambarkan realitas pedesaan, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan isu-isu yang lebih besar yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini dimulai dengan penggambaran yang puitis: “Anak air ibunya hujan jatuh-jatuh dari genting.” Frasa ini menciptakan suasana yang hidup, menggambarkan hubungan yang intim antara alam dan manusia. “Anak air” menunjukkan kelahiran dan kesegaran, sementara “ibunya hujan” menandakan ketergantungan manusia pada alam. Ini mencerminkan bagaimana kehidupan pedesaan sangat terkait dengan kondisi lingkungan.
Di bagian berikutnya, “Anak suara ibunya kentongan bendal-bendal dari perutnya,” penulis menggunakan suara sebagai simbol. Kentongan, sebagai alat untuk memberi peringatan atau pengumuman, menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dalam komunitas. Ini menggambarkan masyarakat yang saling mengawasi dan peduli satu sama lain, tetapi juga menyoroti adanya ancaman, seperti yang terlihat dalam kata “maling!”
Tema Ketidakadilan Sosial
Kemudian, puisi ini beralih ke tema ketidakadilan dengan frasa “Maling! maling! cegat utara.” Ini menciptakan suasana darurat dan menunjukkan adanya ancaman bagi kehidupan masyarakat desa. “Kebon ganyong mbok Samilah” mengisyaratkan bahwa bahkan sumber daya yang terbatas pun menjadi sasaran pencurian, menyoroti kesulitan yang dihadapi oleh para petani.
Di bait selanjutnya, penulis menghadirkan gambaran tragis: “Di samping batu lelaki berdarah dia bapak si Sarijah ditaburi beras semanci.” Ini menggambarkan kematian yang tragis, di mana seorang ayah, simbol ketahanan, menjadi korban kekerasan. “Ditaburi beras semanci” menunjukkan ritual yang penuh makna, tetapi juga menggambarkan rasa kehilangan yang mendalam.
Simbolisme dan Harapan
Ketika puisi menyebut “Tunduklah orang sedesa bila embun intan-intan bergayut di padi tuan Markaban,” terdapat kontras antara keindahan alam dan penderitaan manusia. “Embun intan-intan” melambangkan keindahan dan harapan, sementara “padi tuan Markaban” menunjukkan ketimpangan kekuasaan dan kepemilikan tanah. Ini menggarisbawahi perasaan ketidakadilan dalam komunitas, di mana orang-orang yang berjuang untuk hidup sering kali merasa terpinggirkan.
Bagian terakhir, di mana Mbok Sarijah menangis, memperkuat tema kehilangan dan kesedihan. Pertanyaan “Mengapa maling kau Pakne, ya, pakne?” mencerminkan kebingungan dan kesedihan yang mendalam. Sarijah, sebagai representasi anak-anak yang kehilangan orang tua, menyoroti dampak emosional dari kekerasan dan ketidakadilan.
Puisi "Desanya Tuan Markaban" karya Sabar Anantaguna adalah karya yang menggugah kesadaran akan ketidakadilan sosial dan penderitaan masyarakat desa. Melalui simbolisme yang kaya dan citra yang kuat, Anantaguna berhasil menangkap esensi kehidupan pedesaan yang penuh tantangan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan dampak dari ketidakadilan dan pentingnya empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Dalam setiap bait, terdapat panggilan untuk memperhatikan dan menghargai kehidupan orang-orang yang berjuang dalam kesederhanaan, serta menyadari bahwa di balik keindahan alam, ada cerita penuh luka yang perlu diangkat dan didengarkan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.