Dari Kelahiran kepada Kelahiran
untuk sastrawan-sastrawan Kuangsi
(I)
Nanning! Kuiling!
Dua permata Kuangsi
menatahi mahkota kemenangan juang.
Perlawanan dimulai di ladang dan sawah
kemudian bertahan di tepi Sungai Merah;
maju-mundur melewati seribu gunung
menyeberangi sepuluhribu sungai;
dan kembali lagi ke Kuangsi
bendera merah berkibar, nyanyian bergaung
Kuangsi bebas, seluruh Tiongkok bebas.
Daerah Jangsju dengan Sungai Li jang tenang
ditaburi gunung-gunung bayu diselubungi kabut;
di pagihari puncak-puncaknya megah menjulang
dimandikan sinarsurya yang cerah;
di sini masadepan jadi terasa, jadi indah
membias di semua hati;
orang bernyanyi karena panen menjadi
ternak berkembangbiak;
bukan lagu nasib hutang melilit pinggang
bukan lagu lapar yang menggigit di perut.
Nanning! Kuiling!
Nyanyi dan tari di terang bulan
cumbuan kasih naik ke awan.
(II)
Apa lagi yang kucari?
Orang menemukan diri sendiri
dalam drama, nyanyi dan tari;
orang menemukan kelanjutan yang fana
jadi abadi dalam kerja;
orang menemukan kemesraan kasih
dalam kesedaran saling memberi.
Bila aku kembali lagi?
Penyair telah datang
dia hanya membawa nyanyi;
aku menginyam nasi Komune Rakyat
aku membasuhmuka di arus Sungai Li;
dari kembara penyair takpernah pulang
dia hidup di semua negeri;
inilah langkah dari kelahiran kepada kelahiran.
Kuiling (Tiongkok), Oktober 1959
Sumber: Dari Bumi Merah (1963)
Analisis Puisi:
Puisi "Dari Kelahiran kepada Kelahiran" karya HR. Bandaharo adalah sebuah karya yang mencerminkan perjuangan, perubahan sosial, dan transformasi hidup di tengah pergolakan masyarakat. Puisi ini memadukan gambaran sejarah dengan pandangan kehidupan yang lebih filosofis tentang manusia, perlawanan, dan harapan.
Bagian I: Simbol Kemenangan dan Perjuangan
Puisi dibuka dengan menyebut "Nanning! Kuiling!", dua tempat di wilayah Kuangsi (Guangxi), yang kemudian digambarkan sebagai "permata" di tengah kemenangan juang. Kuangsi adalah simbol bagi kemenangan rakyat, tempat dimulainya perlawanan di ladang dan sawah, dan kemudian mencapai puncaknya ketika seluruh Tiongkok merdeka. Gambarannya melibatkan perjalanan melalui gunung, sungai, hingga akhirnya kembali ke Kuangsi, dengan simbol bendera merah yang berkibar sebagai tanda kemerdekaan.
Bandaharo menggunakan alam sebagai metafora bagi perlawanan dan keteguhan hati. Sungai Li dan pegunungan di Jangsju yang megah, ditambah dengan pemandangan matahari pagi, menjadi cerminan dari masa depan yang cerah. Di sini, alam bukan hanya latar, tetapi juga simbol harapan dan perubahan.
Bagian II: Refleksi Kemanusiaan
Di bagian kedua, puisi ini lebih mendalam secara filosofis. Penyair memunculkan pertanyaan eksistensial, "Apa lagi yang kucari?" dan menggambarkan pencarian makna hidup. Orang-orang menemukan kebahagiaan bukan hanya dari panen yang berhasil atau ternak yang berkembang, tetapi juga dari kesadaran saling memberi. Kesadaran ini muncul melalui kerja keras dan kehidupan sosial yang harmonis.
Bandaharo menyoroti tema transformasi, di mana manusia yang fana menemukan keabadian melalui tindakan dan kontribusi mereka kepada masyarakat. Dia juga menggambarkan peran penyair sebagai sosok yang membawa lagu dan nyanyian—sebuah simbol budaya dan ekspresi jiwa—yang berkelana tanpa kembali, hidup dalam setiap negeri dan generasi.
Judul puisi ini, "Dari Kelahiran kepada Kelahiran," mencerminkan siklus kehidupan dan perjuangan manusia. Penyair memberikan pesan bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan dan perjalanan panjang, selalu ada kelahiran baru, baik itu kelahiran fisik maupun kelahiran ide, harapan, dan semangat. Melalui kerja keras dan kebersamaan, manusia dapat menemukan makna dalam perjalanan hidup mereka.
Puisi ini mengandung kedalaman yang mencerminkan pandangan HR. Bandaharo terhadap kehidupan, sejarah, dan transformasi sosial. Melalui gambar-gambar yang kuat tentang alam, perjuangan, dan hubungan antar manusia, Bandaharo berhasil menyampaikan pesan yang menyentuh tentang makna keberlanjutan hidup dan harapan yang tidak pernah padam.
Karya: HR. Bandaharo
Biodata HR. Bandaharo:
- HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
- HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
- HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.