Puisi: Daerah yang Nasi jadi Mimpi (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Daerah yang Nasi Jadi Mimpi" karya Sabar Anantaguna menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang terpuruk dalam kemiskinan dan kesengsaraan.

Daerah yang Nasi jadi Mimpi


(I)

Perempuan muda anaknya satu
bersandar di kayu pintu
melangutkan langit senja.
derita adalah dia
lahir tetangga batu
lupa kapan ketawa
mimpinya sekedar nasi.

Perempuan muda anaknya satu
muka kerut tanah tandus.

(II)

Anak merintih
selembut angin, airmatanya
tetes bersama air susunya
di senja menghilang
bibirnya pecah kering
Bukit gersang
dada kurus
lidah kecil
berat kerongkongan
kaki gembung.

(III)

O, pohon kelapa pohon ketela
tempat gantungan nyawa
waktu melaparkan musimnya
terbakar warna tanahnya.

(IV)

Perempuan muda anaknya satu
tanah ladang
rumput kuning
laparnya nyaring
ketela kecil bercampur abu.
Perempuan muda anaknya satu
habis kesah, habis keluh
bibir kering biru pecah sendiri
O hidup,
jangan mati terpikir
jangan kau mampir.

(V)

Bila detik merampasi waktu
segala tersisa
di kenangan bunga kantil di pelaminan
runtuh kembali, kenangan suami mati kelaparan.

(VI)

Perempuan muda anaknya satu
terhoyong ke balé bambu
mimpinya hanya nasi
mimpinya, o hidup
jangan mati terpikir
jangan kau mampir.

Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)

Analisis Puisi:

Puisi "Daerah yang Nasi Jadi Mimpi" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang terpuruk dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Melalui lirik yang sederhana namun penuh makna, puisi ini mengeksplorasi tema penderitaan, harapan, dan kerinduan akan kehidupan yang lebih baik.

Struktur dan Tema Puisi

Puisi ini terdiri dari enam bagian, masing-masing menggambarkan aspek berbeda dari kehidupan seorang perempuan muda yang berjuang untuk keluarganya.

Bagian I: Gambaran Awal

Di bagian pertama, penulis memperkenalkan tokoh utama: perempuan muda dengan satu anak. Dengan deskripsi "lahir tetangga batu" dan "mimpinya sekedar nasi," puisi ini segera menyoroti derita yang dialami oleh perempuan tersebut. Mimpinya yang sederhana menunjukkan betapa sulitnya kehidupannya, di mana kebutuhan dasar pun terasa jauh dari jangkauan.

Bagian II: Penderitaan Anak

Bagian kedua berfokus pada kondisi anak yang menderita. Dengan lirik yang menyentuh, "bibirnya pecah kering" dan "kaki gembung," pembaca merasakan kedalaman penderitaan yang dialami oleh mereka yang hidup dalam kekurangan. Air mata dan air susu mengekspresikan kasih sayang seorang ibu yang terjebak dalam kesedihan.

Bagian III: Simbol Alam

Bagian ketiga mengaitkan penderitaan dengan alam. "O, pohon kelapa pohon ketela" menggambarkan bagaimana alam seharusnya menjadi sumber kehidupan, tetapi di sini menjadi simbol ketidakpastian dan keputusasaan. Tanah yang terbakar menandakan hasil pertanian yang gagal, mencerminkan nasib yang sama.

Bagian IV: Ketahanan dan Harapan

Di bagian ini, penulis menyoroti ketahanan perempuan muda meskipun segala kesulitan. Meskipun "bibir kering biru pecah sendiri," ada keinginan untuk bertahan hidup dan tidak menyerah. Frasa "jangan mati terpikir, jangan kau mampir" menggambarkan harapan untuk terus berjuang meskipun hidup penuh tantangan.

Bagian V: Kenangan dan Kehilangan
Bagian kelima membawa pembaca pada refleksi tentang masa lalu. Kenangan tentang "suami mati kelaparan" menambahkan dimensi kesedihan, mengingatkan kita bahwa penderitaan ini bukan hanya dialami oleh individu, tetapi juga oleh keluarga dan komunitas.

Bagian VI: Penutup yang Menggugah

Bagian terakhir menekankan kembali mimpi sederhana perempuan muda. "Mimpinya hanya nasi" bukan hanya mencerminkan kebutuhan fisik, tetapi juga harapan akan kehidupan yang lebih baik. Penutupan ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup dan perjuangan di tengah kesulitan.

Simbolisme dan Makna

Puisi ini kaya akan simbolisme, dengan elemen alam seperti pohon kelapa dan tanah yang mencerminkan hubungan antara manusia dan sumber daya alam. "Nasi" menjadi simbol harapan dan kebutuhan dasar, sementara "langit senja" menciptakan suasana melankolis yang memperkuat tema penderitaan.

Puisi "Daerah yang Nasi Jadi Mimpi" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah refleksi yang kuat tentang kehidupan masyarakat yang terpinggirkan. Melalui lirik yang penuh emosi, puisi ini menggambarkan perjuangan seorang perempuan muda dan anaknya dalam menghadapi kemiskinan. Karya ini tidak hanya menyuarakan suara mereka yang terpinggirkan, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya harapan dan ketahanan dalam menghadapi tantangan hidup.

Sabar Anantaguna
Puisi: Daerah yang Nasi jadi Mimpi
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.