Cinta dan Tanah
(I)
Suatu kali aku kan datang dalam mimpi
aku bukan petani tak bertanah lagi
Mimpi tanah itu indah
juga kau Suminah.
Suminah, o, Suminah -- sama cinta
bagi bapamu miskin hanya dosa
aku diusir lari ke kota.
Bila malam Suminah, hitungkan bintang
jumlah kerjaku di tanah bapamu tidak terbilang
sebanyak cinta kuucapkan di kebun pisang.
Bila bulan bulat Suminah
peluklah tanah dari lembah,
pernah kugarap, nyenyaklah tidur, tanpa resah.
(II)
Suminah, o, Suminah -- aku tukang becak
lepas tanah, aspal keras hatiku
meluncur di api siang mata berkunang
Suminah, o, Suminah -- ini gerak
kakiku, hatiku dan nafasku
malam lelah merampok segala kenang.
Ibukota, o, Ibukota
Suminah, o, Suminah -- hidup tersisa
milik jang masih, takpunja langit biru
kerna mata dirampas slur oplet mobil menderu.
Jakarta, o, Jakarta
Suminah, o, Suminah -- di kota terhina
diburu dan diburu tinggal putusan
mati derita atau berlawan.
Bila bulan bulat Suminah
kuketok mimpimu menunggang angin mendesah:
bahwa cinta di desa -- bebas dan tanah.
bahwa cinta di kota -- merdeka dan upah.
(III)
Suminah, o, Suminah
Jakarta, o, Jakarta
tinggal cinta
tinggal mimpi.
Derita ini mengajarku, Suminah
tak hanya diburu tapi mesti memburu.
Tentang bapamu cinta tanah
bukan padaku bukan pada kau
manusia baginya hanya kerbau
dan tanah baginya uang dan Tuhan.
Suminah, o, Suminah
ini kaki penuh lumpur tangan basah
hanya yang menggarap mencinta tanah
manusia pun jadi tuhan
demi hidup demi panenan.
Bila bulan bulat Suminah
katakan pada bapamu, pada tuan tanah
suatu kali aku berbondong bukan lagi mimpi
membebaskan tanah membebaskan Suminah
dan bintang-bintang kupetiki kutanamkan di tiap hati.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Cinta dan Tanah" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang menggabungkan tema cinta, tanah, dan perjuangan sosial, dengan fokus pada hubungan antara individu dan tanah yang mereka cintai. Melalui lirik yang puitis dan simbolis, puisi ini mengisahkan kerinduan seorang petani yang terpaksa meninggalkan tanahnya dan orang yang dicintainya, Suminah.
Struktur dan Tema Puisi
Puisi ini terdiri dari tiga bagian yang saling terkait, masing-masing mengekspresikan emosi yang dalam dan refleksi tentang cinta dan kehilangan.
Bagian I: Mimpi dan Kerinduan
Di bagian pertama, narator menyampaikan kerinduan yang mendalam kepada Suminah. Dengan pernyataan "Suatu kali aku kan datang dalam mimpi," ia mengekspresikan harapan untuk kembali ke tanah dan cinta yang telah ditinggalkan. Tanah digambarkan sebagai sesuatu yang indah, bersamaan dengan cinta yang tulus kepada Suminah. Kontras antara cinta dan realitas pahit ditunjukkan ketika ia diusir dan terpaksa meninggalkan desa.
Bagian II: Kehidupan di Kota
Bagian kedua berfokus pada kehidupan narator di kota, yang mengungkapkan perjuangan dan kesedihan yang dialaminya. "Suminah, o, Suminah -- aku tukang becak," menunjukkan peralihan dari petani ke pekerja kota. Di sini, Anantaguna menggambarkan kesulitan hidup di ibukota, di mana cinta dan harapan terasa hilang di tengah kebisingan dan kesibukan. Kecemasan terhadap kehilangan hubungan dengan Suminah dan tanahnya semakin mendalam.
Bagian III: Kesadaran dan Perjuangan
Bagian terakhir menggambarkan kesadaran narator bahwa cinta dan tanah memiliki makna yang lebih dalam. "Derita ini mengajarku, Suminah tak hanya diburu tapi mesti memburu." Ia menyadari bahwa perjuangan untuk cinta dan tanah adalah bagian dari hidup yang tidak terpisahkan. Dalam lirik ini, tanah bukan hanya simbol fisik, tetapi juga mencerminkan identitas dan kebebasan. Ada panggilan untuk kembali dan memperjuangkan hak atas tanah dan cinta.
Simbolisme dan Makna
Puisi ini kaya akan simbolisme. "Tanah" melambangkan kehidupan, identitas, dan perjuangan, sedangkan "Suminah" menjadi simbol cinta yang tulus. Keterpisahan antara cinta dan tanah menggambarkan tantangan yang dihadapi individu dalam masyarakat yang tidak adil. Selain itu, kota, terutama "Jakarta," menjadi simbol dari ketidakadilan dan kesengsaraan, di mana orang-orang kehilangan kemanusiaan mereka dalam pencarian harta.
Puisi "Cinta dan Tanah" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah refleksi yang mendalam tentang hubungan antara cinta, tanah, dan perjuangan. Melalui lirik yang puitis, Anantaguna berhasil menyampaikan kompleksitas emosi dan realitas sosial yang dihadapi oleh banyak orang. Karya ini tidak hanya menyuarakan kerinduan dan harapan, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya hubungan antara manusia dan tanah, serta perjuangan untuk keadilan dan cinta dalam kehidupan yang penuh tantangan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.