Ceuk Onah
Ceuk Onah takpunya bulan
bila malam milik situan.
Ceuk Onah takpunya mentari
menenun sarung penuh sehari.
Taktahu budak atau istri
tendang bentak tanpa permisi
seminggu beledru
sudah itu angin lalu.
Tak tahu dimana cinta
seperti lewat ganti yang muda
Ceuk Onah, ceuk Onah
mati ogah dibelenggu tuantanah.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Ceuk Onah" karya Sabar Anantaguna menggambarkan perjuangan batin seorang wanita yang terjebak dalam situasi yang menyedihkan. Melalui lirik yang puitis dan simbolisme yang kuat, puisi ini mengeksplorasi tema kehilangan, kebebasan, dan pencarian cinta di tengah keterbatasan.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini dibuka dengan ungkapan yang kuat: “Ceuk Onah takpunya bulan, bila malam milik situan.” Frasa ini menggambarkan kegelapan dan ketidakberdayaan, di mana bulan—simbol harapan dan keindahan—tidak ada untuk menemani. Ini menciptakan suasana suram yang langsung membawa pembaca ke dalam perasaan karakter.
Tema Keterasingan dan Patah Hati
Ketika Anantaguna menyatakan “Ceuk Onah takpunya mentari, menenun sarung penuh sehari,” kita melihat gambaran seorang wanita yang terperangkap dalam rutinitas sehari-hari, tanpa cahaya harapan. Penggunaan kata “menenun” menunjukkan kerja keras dan usaha, tetapi juga mengisyaratkan kebosanan dan ketidakpuasan.
Selanjutnya, bait “Taktahu budak atau istri, tendang bentak tanpa permisi” mencerminkan hubungan yang rumit, di mana rasa hormat dan cinta tampaknya hilang. Ada kesan bahwa karakter tersebut mengalami tekanan dalam hubungannya, dan ketidakpastian tentang statusnya—apakah dia seorang budak atau istri—menambah rasa keterasingan.
Kehilangan Cinta dan Harapan
Pernyataan “Tak tahu dimana cinta, seperti lewat ganti yang muda” menunjukkan kebingungan dan kehilangan arah dalam pencarian cinta sejati. Ini mencerminkan rasa frustrasi dan kesedihan atas ketidakmampuan untuk menemukan kebahagiaan. Frasa “Ceuk Onah, ceuk Onah” diulang sebagai panggilan untuk mengenang diri, menguatkan identitas dan kesadaran akan keadaan yang tidak diinginkan.
Penutup dan Kebebasan
Penutup puisi, “mati ogah dibelenggu tuantanah,” menyiratkan keinginan untuk bebas dari belenggu yang mengikat. Ada semangat perlawanan dan harapan untuk meraih kebebasan, meskipun dengan penuh kesedihan. Kalimat ini mencerminkan keinginan untuk melepaskan diri dari keadaan yang mengekang, menjadi simbol harapan bagi banyak wanita yang mengalami situasi serupa.
Puisi "Ceuk Onah" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang menyentuh tentang perjuangan seorang wanita dalam menghadapi keterasingan, kehilangan, dan pencarian cinta. Dengan gaya bahasa yang kuat dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti kebebasan dan identitas. Anantaguna berhasil menyoroti tantangan yang dihadapi oleh wanita dalam konteks sosial, serta harapan untuk mengatasi belenggu yang ada. Puisi ini adalah seruan untuk kesadaran dan perubahan, memberikan suara bagi mereka yang terjebak dalam kesedihan dan ketidakberdayaan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.