Cerita Ambarawa
(I)
Kang Kromo tenggelam di dalam dendam
warisan moyang dibawa pulang
butir padi keras menyumpah
aku yang menggarap tanah!
Kang Kromo tak lupa tanah gerilya
nasi sepiring rawa Pening
untuk laskar merdeka
kalung kenangan, kepahitan dan kemenangan.
Kang Kromo tak tahu rawa dijaga
yang lapar tahu arti padi
o, prajurit lahir di desa terbelah cintanya
hanya terpaksa, tanah tandus hilang warna.
Kang Kromo pulang. Pulang dari rawa air mata.
Kerjanya bertaruh nyawa bertanam bisa terbenam.
o, cinta di padi -- prajurit anak petani
yang menanam tak boleh panen peluh sendiri.
(II)
Yu Kromo menggendong kepahitan anak lapar:
Apa! padi matang panen dilarang!
o, bapak si anak -- prajurit tercinta
o, perempuan petani -- seluruh desa
mari berbondong ke rawa! berbaris berjemur
untuk demokrasi di padi mekar di lumpur!
Bapak prajurit, bapak penjaga
bayi-bayi nuntut merdeka
nyawa kami merdeka kami
akan kami paneni padi kami
kerja kami!
Bilanglah bapak-bapa , prajurit-prajurit anak petani:
kami tak mau lapar! Kami tak mau mati!
tapi kami tak takut ditembak !
(III)
Prajurit petani anak petani
menunduk melihat wajah sendiri
di rawa Pening ada mentari
Tidak ibu-ibu! tidak anak-anak!
dan, o, gadis-gadis desa Ambarawa
bumi harus merdeka, harus berbunga
kami tahu bumi bercinta
paneni padimu, kerjamu, hatimu
O, ibu-ibu, letakkan bayi-bayi diteduh --
prajurit anak petani, menjagamu dari jauh.
(IV)
Ambarawa cintaku Ambarawa
hujan cahaya banjir pun warna
petani cintaku petani
di lumpur kita bertempur
di padi tertanam hati.
Ambarawa cintaku Ambarawa
besar di rawa mekar merdeka
petani cintaku petani
di tanah selembar nipah
jang benar tak pernah kalah.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Cerita Ambarawa" karya Sabar Anantaguna menggambarkan perjuangan petani di Ambarawa dalam konteks kemerdekaan dan ketahanan hidup. Melalui lirik yang puitis, puisi ini menyoroti hubungan antara tanah, cinta, dan perjuangan kolektif masyarakat.
Struktur dan Tema Puisi
Puisi ini terdiri dari empat bagian yang masing-masing menggambarkan aspek berbeda dari kehidupan dan perjuangan petani.
Bagian I: Dendam dan Kenangan
Di bagian pertama, Kang Kromo menjadi simbol petani yang mengingat perjuangan leluhurnya. "Kang Kromo tenggelam di dalam dendam" menunjukkan beban emosional yang dibawa dari generasi ke generasi. Ungkapan "butir padi keras menyumpah" menekankan ketahanan petani yang tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
Referensi pada "tanah gerilya" mengisyaratkan bahwa meskipun kondisi tanah sulit, petani tetap berjuang demi kebebasan. "Nasi sepiring rawa Pening" menjadi simbol harapan dan kebutuhan dasar, yang diperjuangkan oleh laskar merdeka. Gambar ini menghubungkan kenangan, kepahitan, dan kemenangan dalam satu napas.
Bagian II: Harapan dan Perjuangan
Bagian kedua berfokus pada Yu Kromo, yang menggambarkan harapan untuk masa depan. Ketidakadilan terlihat jelas saat "padi matang panen dilarang!" menggambarkan penindasan terhadap petani. "Mari berbondong ke rawa!" merupakan seruan untuk bersatu dalam memperjuangkan hak atas hasil pertanian.
Ada semangat kolektif yang muncul dalam lirik ini, di mana generasi muda "nyawa kami merdeka kami" menggambarkan tekad untuk memperjuangkan kemerdekaan. Kekuatan dan keberanian ditekankan dengan "tapi kami tak takut ditembak!", menunjukkan komitmen untuk bertahan meskipun ada risiko.
Bagian III: Kemanusiaan dan Empati
Bagian ketiga memperlihatkan empati dan kesadaran akan perjuangan sesama. "Prajurit petani anak petani" menunduk melihat wajah sendiri, menunjukkan kedekatan antara petani dan prajurit. Suasana harapan muncul kembali dengan "di rawa Pening ada mentari", yang memberikan harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik.
Seruan untuk "letakkan bayi-bayi diteduh" menekankan pentingnya melindungi generasi mendatang. Ini menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga dan komunitas.
Bagian IV: Cinta Tanah dan Perjuangan Bersama
Bagian terakhir adalah ungkapan cinta yang mendalam terhadap Ambarawa dan tanah tempat tinggal. "Ambarawa cintaku Ambarawa" menegaskan rasa memiliki dan kedekatan emosional dengan tempat asal. "Di lumpur kita bertempur" menunjukkan bahwa meskipun dalam kesulitan, semangat perjuangan tetap hidup.
Pernyataan bahwa "petani di tanah selembar nipah jang benar tak pernah kalah" menjadi penutup yang kuat, menekankan bahwa meskipun ada banyak tantangan, keberanian dan ketahanan petani tidak akan pernah pudar.
Simbolisme dan Makna
Puisi ini kaya akan simbolisme. "Butir padi" dan "rawa" mencerminkan kehidupan yang berkelanjutan, sedangkan "bapak prajurit" dan "perempuan petani" menunjukkan peran penting dalam perjuangan kolektif. Penggunaan nama Ambarawa mengaitkan puisi ini dengan konteks sejarah, mengingatkan kita akan perjuangan nyata yang dihadapi petani di daerah tersebut.
Puisi "Cerita Ambarawa" adalah karya yang menggugah semangat, menggambarkan ketahanan dan cinta petani terhadap tanah mereka. Dengan bahasa yang puitis dan simbolis, Sabar Anantaguna berhasil menyampaikan pesan tentang perjuangan, harapan, dan komunitas. Karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna dari kemerdekaan dan pentingnya solidaritas dalam menghadapi tantangan hidup.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.