Puisi: Cend'ra Durja (Karya Intojo)

Puisi "Cend'ra Durja" karya Intojo mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara masa lalu dan masa depan serta pentingnya menjaga warisan ...
Cend'ra Durja
Bagi Saudaraku Sakti Arga

Zaman gemerlap masa permata,
Musim baiduri zahar pelangi,
Sudahlah kabur sayup di mata,
Hanya di hati bakat berseri.

    Oh, “Kalau bicara berurai ranta,
    Jaman moyang nan t’lah hilang!”
    Masa gapura kencana warna,
    Sampai ke langit girang membayang.

Ketika poyangku berbaju zirah,
sekunarnya mara ke teluk Persia,
Menjemput mutiara berwarna merah,
Untuk bingkisan ke Indonesia.

    Kini, tilik petiraman kita di Wamar!
    Dalam gugusan pulau-pulau Aru
    ‘Lah sunyi senyap ‘lah samar-samar,
    Tinggallah ombak berpilu-pilu.

O, bilakah Dobo dan Amboina,
Akan berkilau ke langit hijau?
Bilakah mutiara menabiri Bicara,
Tunduk cakrawala menentang silau?

    Semarak Delhi jirat Taj Mahal;
    Buatan Syah Johan di Fatipur Sikri;
    Menerangi Arga ke bintang Zuhal,
    Tanda cinta, kesunting neg’ri.

Amboi! bilakah mimpi berwujud bukti:
Firdaus Indonesia di Katulistiwa?
Wahai pabila suci bersalut bakti,
Sampailah aman badan jiwa?

Sumber: Semangat Pemuda (Mei, 1932)

Analisis Puisi:

Puisi "Cend'ra Durja" karya Intojo adalah sebuah karya yang menggabungkan elemen sejarah, budaya, dan harapan dalam sebuah narasi puitis yang menggugah. Puisi ini menggambarkan perjalanan waktu dan perubahan yang telah terjadi, sambil mencerminkan kerinduan akan kejayaan masa lalu dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Tema dan Makna Puisi

  • Kemenangan dan Kejayaan Masa Lalu: Puisi ini dimulai dengan referensi kepada masa lalu yang gemerlap: "Zaman gemerlap masa permata, / Musim baiduri zahar pelangi, / Sudahlah kabur sayup di mata, / Hanya di hati bakat berseri." Di sini, penyair merujuk pada masa kejayaan yang telah berlalu, saat di mana kekayaan dan keindahan terwujud dalam bentuk permata dan pelangi. Namun, keindahan dan kejayaan tersebut kini hanya tinggal kenangan yang menyisakan rasa bangga di hati.
  • Nostalgia dan Peringatan: Penyair mengungkapkan nostalgia terhadap masa lalu: "Oh, 'Kalau bicara berurai ranta, / Jaman moyang nan t'lah hilang!' / Masa gapura kencana warna, / Sampai ke langit girang membayang." Ada rasa nostalgia terhadap zaman moyang yang telah hilang, di mana masa lalu digambarkan dengan keindahan dan kemegahan yang kini hanya dapat dilihat dalam ingatan dan cerita.
  • Warisan Budaya dan Sejarah: Puisi ini melanjutkan dengan referensi sejarah: "Ketika poyangku berbaju zirah, / sekenarnya mara ke teluk Persia, / Menjemput mutiara berwarna merah, / Untuk bingkisan ke Indonesia." Penyair menceritakan kisah nenek moyang yang melakukan perjalanan jauh untuk membawa mutiara sebagai simbol kekayaan dan hubungan antara Indonesia dan dunia luar. Ini menggambarkan warisan budaya dan sejarah yang kaya serta pengaruh perdagangan global terhadap tanah air.
  • Kehilangan dan Kesedihan: Ada perasaan kehilangan dan kesedihan dalam puisi: "Kini, tilik petiraman kita di Wamar! / Dalam gugusan pulau-pulau Aru / 'Lah sunyi senyap 'lah samar-samar, / Tinggallah ombak berpilu-pilu." Penyair mengamati keadaan saat ini, di mana pulau-pulau Aru dan Wamar yang dulunya mungkin penuh kehidupan kini menjadi sunyi dan sepi. Gelombang yang "berpilu-pilu" mencerminkan kesedihan dan kehilangan yang dirasakan.
  • Harapan dan Impian: Di akhir puisi, terdapat harapan akan masa depan: "O, bilakah Dobo dan Amboina, / Akan berkilau ke langit hijau? / Bilakah mutiara menabiri Bicara, / Tunduk cakrawala menentang silau?" Penyair berharap agar daerah seperti Dobo dan Amboina kembali bersinar dan menjadi simbol kejayaan dan keindahan. Harapan akan masa depan yang lebih baik diungkapkan dengan metafora "langit hijau" dan "cakrawala menentang silau."
  • Referensi Budaya dan Sejarah Global: Penyair juga mencantumkan referensi budaya dan sejarah global: "Semarak Delhi jirat Taj Mahal; / Buatan Syah Johan di Fatipur Sikri; / Menerangi Arga ke bintang Zuhal, / Tanda cinta, kesunting neg'ri." Referensi kepada Taj Mahal dan Fatipur Sikri menunjukkan bahwa penyair melihat hubungan antara kejayaan masa lalu di Indonesia dengan kejayaan budaya global. Ini mencerminkan aspirasi untuk mencapai kejayaan yang setara dengan pencapaian sejarah dunia.
  • Penutup dan Pesan: Puisi ini diakhiri dengan seruan harapan: "Amboi! bilakah mimpi berwujud bukti: / Firdaus Indonesia di Katulistiwa? / Wahai pabila suci bersalut bakti, / Sampailah aman badan jiwa?" Penyair mengungkapkan harapan agar impian akan kemakmuran dan keindahan Indonesia menjadi kenyataan, di mana masyarakat dapat hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan.

Gaya Bahasa dan Struktur Puisi

  • Imaji dan Simbolisme: Puisi ini menggunakan imaji yang kaya seperti "zaman gemerlap," "permata," "pelangi," dan "mutiara" untuk menciptakan gambaran yang kuat tentang masa lalu dan keinginan untuk masa depan yang lebih baik. Simbolisme ini menambah kedalaman makna puisi.
  • Struktur dan Bentuk: Puisi ini memiliki struktur yang teratur dengan penggunaan tujuh bait yang terpisah, mencerminkan pergeseran waktu dan perasaan yang digambarkan. Struktur ini membantu menyampaikan narasi sejarah dan harapan penyair dengan jelas.
  • Pilihan Kata dan Bahasa: Bahasa yang digunakan dalam puisi ini adalah bahasa yang elegan dan penuh makna, dengan pilihan kata yang memperkuat tema dan imaji yang disampaikan. Pilihan kata seperti "gemerlap," "kencana," dan "pilu-pilu" menciptakan efek emosional yang mendalam.
Puisi "Cend'ra Durja" karya Intojo adalah karya yang menggabungkan refleksi tentang masa lalu, pengamatan terhadap keadaan saat ini, dan harapan untuk masa depan. Dengan gaya bahasa yang kaya dan simbolisme yang kuat, puisi ini menyampaikan pesan tentang nilai sejarah, keindahan, dan aspirasi untuk mencapai kejayaan yang lebih besar. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara masa lalu dan masa depan serta pentingnya menjaga warisan budaya dan sejarah.

Puisi: Cend'ra Durja
Puisi: Cend'ra Durja
Karya: Intojo

Biodata Intojo:
  • Intojo (bernama lengkap Raden Intojo) lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Juli 1912
  • Intojo sering menggunakan nama samaran, di antaranya Heldas, Rhamedin, Ibnoe Sjihab, Hirahamra, Indera Bangsawan, dan Imam Soepardi.
  • Intojo juga dikenal sebagai "Bapak Soneta Sastra Jawa Modern".
  • Intojo meninggal dunia pada tahun 1965.
© Sepenuhnya. All rights reserved.