Bumi Basah
Hijau, hijau daunan desa
belum punya cahaya, belum!
sehingga masih sedih
meski tidak seluruh jiwanya
Nyala, nyala api pedusunan
belum berpancar, belum!
sehingga anak dingin
meski tidak seluruh hidupnya.
Sehari hujan jatuh
perut lapar, tanah tergenang
seperti masa paceklik
meski tidak seluruh abadnya.
Semalam hujan tumpah
hati banjir, mata banjir
seperti kematian bayi
meski tidak seluruh anaknya.
Hari ini sepi
belalang diam, jengkerik diam
seperti dunia ini mati
meski tidak seluruh buminya.
Hari ini Nini tak punya api
tak punya kayu, tak punya hutan
Hari ini Nini tak nanak nasi
tak punya uang, tak bisa hutang.
Dan ini berapa Nini
malam mimpi, sawah penuh padi
anak menjala beroleh ikan
meski tak punya sungai dan lautan.
Bagaimana kata berpunya
tak punya jala, di pedalaman
Bagaimana bisa bekerja
tak punya apapun, dikerjakan.
Tapi Nini tak mau mati
tak mati tangan, kehujanan.
Hari ini atap tiris
dan ini kerja tanpa makanan.
Sehari hujan jatuh
perut lapar, tanah tergenang
seperti masa paceklik
Tapi tak kan sepenuh abadnya.
Nini tak punya api
Nini tak punya nasi
memeluk bayi di hangat dadanya
memeluk bumi di hangat cintanya
apinya dalam hatinya.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Bumi Basah" karya Sabar Anantaguna menggambarkan kesedihan dan tantangan yang dihadapi masyarakat desa, terutama melalui sosok Nini, seorang perempuan yang berjuang dalam kondisi yang keras. Dengan penggunaan bahasa yang puitis dan simbolis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan ketahanan, harapan, dan cinta yang ada di tengah kesulitan hidup.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini dimulai dengan citra “Hijau, hijau daunan desa,” yang menciptakan suasana alami yang hidup. Namun, pernyataan “belum punya cahaya, belum!” menunjukkan ketidakpuasan dan kesedihan yang mendalam. Kata "cahaya" bisa diartikan sebagai simbol harapan atau kehidupan yang lebih baik, menciptakan kontras antara keindahan alam dan kenyataan yang suram.
Bait selanjutnya, “Nyala, nyala api pedusunan belum berpancar, belum!” menekankan pada ketiadaan kehidupan yang meriah. Api, sebagai simbol kehidupan dan kehangatan, belum menyala, mengindikasikan bahwa masyarakat masih merasakan dinginnya kesulitan. Hal ini memperlihatkan bagaimana meskipun ada kehidupan, semangat dan energi untuk bergerak maju belum sepenuhnya ada.
Tema Kesedihan dan Ketahanan
Puisi ini terus menggali tema kesedihan dengan menggambarkan kondisi yang dialami oleh Nini. “Sehari hujan jatuh, perut lapar, tanah tergenang,” menciptakan gambaran yang realistis tentang kehidupan petani yang sering kali dihadapkan pada cuaca buruk. “Seperti masa paceklik meski tidak seluruh abadnya,” menunjukkan harapan bahwa kesulitan ini tidak akan berlangsung selamanya, meskipun saat ini sangat menekan.
Penggambaran tentang hujan yang menyebabkan “hati banjir, mata banjir” menambah kedalaman emosional puisi. Banjir tidak hanya terjadi di fisik, tetapi juga di dalam hati Nini, menciptakan kesedihan yang dalam. Perbandingan dengan “kematian bayi” memberikan kesan tragis dan memperkuat rasa kehilangan yang dialaminya.
Simbolisme Nini dan Cinta
Sosok Nini menjadi pusat dari puisi ini, mewakili perempuan desa yang berjuang dalam kondisi yang sulit. Saat “Hari ini Nini tak punya api, tak punya kayu, tak punya hutan,” terdapat nuansa putus asa, tetapi juga menggambarkan ketahanan. Meskipun tidak memiliki banyak, Nini terus berjuang untuk anaknya dan komunitasnya.
Frasa “memeluk bayi di hangat dadanya, memeluk bumi di hangat cintanya” menekankan cinta yang mendalam. Meskipun hidupnya sulit, cinta kepada anak dan tanah tempat tinggalnya menjadi kekuatan yang membuatnya terus bertahan. Ini menunjukkan bahwa dalam keadaan terburuk sekalipun, cinta dan harapan dapat memberi kehangatan dan semangat.
Puisi "Bumi Basah" karya Sabar Anantaguna adalah refleksi mendalam tentang kehidupan masyarakat desa yang penuh tantangan. Melalui penggunaan simbolisme yang kaya dan bahasa yang emotif, Anantaguna berhasil menangkap esensi kesedihan dan ketahanan. Puisi ini menggugah empati pembaca terhadap perjuangan Nini dan masyarakat sekitarnya, sekaligus menekankan pentingnya harapan dan cinta dalam menghadapi kesulitan hidup. Di tengah kesedihan dan tantangan, puisi ini mengingatkan kita bahwa cinta dan harapan adalah kekuatan yang mampu menghangatkan jiwa dan memelihara kehidupan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.