Puisi: Api Berkobar (Karya HR. Bandaharo)

Puisi "Api Berkobar" karya HR. Bandaharo menggambarkan semangat perjuangan, solidaritas, dan keteguhan hati dalam menghadapi penindasan dan ...
Api Berkobar
untuk Maruli dkk.

Salut kepadamu, kawan-kawan, salut!
Salut kepadamu semua yang berada
Di rumah tahanan, di penjara, di mana saja,
Kau yang kebebasannya dirampas.
Tembok-tembok dan trali besi, maupun sangkur terhunus
Tidak bisa memisahkan kau dari barisanmu,
Barisan yang maju menderap terus,
Mendukung amanat penderitaan Rakyat.
Salut kepadamu, kawan-kawan,
Kau yang hidup dari upah dan catu,
Kau yang tidak punya apa-apa selain hari depan.
Tapi hari depan itu dilahirkan masa kini,
Bukan hadiah dewa-dewa jatuh dari langit;
Isteri dan anak-anakmu pun mengerti ini,
Karena hati tersayat, air mata terasa pahit,
Ketika kau direnggut dari pelukan mereka.
Kita cinta anak dan cinta isteri,
Kita sediakan hidup hari ini untuk hidup hari besok.
Lihatlah, seorang anak telah duluan,
Ditinggalkannya ayahnya yang sedang berjuang;
Ada isteri meraung mendekap bayinya,
Karena beras untuk makannya turut dirampas.
Kawan-kawan, jika jantung-jantung kecil berhenti berdetak,
Isteri-isteri meraung karena tak makan,
Ai, apa lagi tujuan perjuangan ini,
Selain kemenangan, pembebasan dan penderitaan?

Orang-orang berkuasa sejak dulu-dulu lupa diri,
Tiada berdaya menjadi mangsa kaum penjilat;
Mereka punya senjata, rumah tahanan dan penjara,
Tapi mereka takut mencermini muka sendiri.
Kawan-kawan, kita kuat karena bersatu
Dengan Rakyat, dan bersama-sama Rakyat
Kita mendukung pikiran maju;
Terjadilah barisan yang menderap ke depan,
Membawa seruan zaman ini; lenyaplah penderitaan!
Rumah tahanan dan penjara mengecil tiada berharga,
Senjata pun tiada mampu membunuh cita-cita
Helvetea-Helvetea jadi cemerlang oleh nyala
Api berkobar: itulah cita-cita agung, cita-cita kita.

Ada orang yang mati di penjara, sejak dulu-dulu,
Tapi lebih banyak lagi tempat tidur saksikan kematian;
Aku teringat seorang panglima Arab, Khalid bin Walid,
Berkali-kali luka di medan perang, tapi tewasnya
Di tilam empuk, ditangisi isterinya;
Sebelum mati dia menyesali dirinya yang malang,
Seperti keledai mampus di dalam kandang.
Ada seorang Amerika dari Utara, berkulit hitam,
Nenek moyangnya seperti binatang beban diperdagangkan;
Dia tau arti kemerdekaan dan perjuangan
Dan ini dinyanyikannya menggema dari benua ke benua,
Dengan suara yang menandingi guntur di malam kelam;
Lalu dia terusir dari negerinya.
Kawan-kawan, nyanyi ini menghidupkan setiap hati,
Bangsa-bangsa bangun melemparkan rantai-rantai perbudakan;
Lumumba tegak dan bicara, dia dibunuh sedang sembayang,
Oleh orang-orang yang sama Tuhannya dengan dia.
Ada orang-orang tawanan yang diracuni seperti di Phu Loi,
Ada putra Arab, Farjallah Helou, disiksa di penjara
Oleh orang-orang sebangsanya, tapi cita-cita Helou hidup terus.
Di Kuba hanya 12 orang berkumpul di Sierra Maestra,
Kemudian seluruh Rakyat datang kepada mereka,
Untuk bersama-sama berbaris maju ke hari besok.
Semua mesti dipertahankan, rumah, anak dan isteri,
Kampung halaman, ibu-bapa, kepala sendiri,
Tapi terutama cita-cita, dan untuk cita-cita orang harus hidup,
Untuk makan anak-isteri, perjuangkan kenaikan upah.
Ai, alangkah sederhananya, kenaikan upah dan catu,

Bukan mobil, bukan pangkat, bukan harta, bukan bintang-bintang,
Orang-orang yang tidak rela mati lapar ini jadi bersalah,
Hanya karena tak mau mati, sebab lapar mereka terus.
Kawan-kawan, kita belum mengalami seperti di Phu Loi,
Ketika 1000 manusia berjegangan dan punah;
Masih jauh harus ditempuh menuju Sierra Maestra.
Tapi barisan ini menderap terus, kemenangan pasti datang.
Biarlah orang-orang lupa diri, menggemukan diri
Di mulut manis kaum penjilat, berpesta ria;
Lihat si penjilat, mulutnya jadi moncong, giginya tambah panjang,
Seperti monyet melonjak-lonjak dengarkan gemerincing dollar.
Biarkan mereka menghabiskan usia, kawan-kawan,
Menghabiskan usia, mencoba merantai api berkobar.
Salut kepadamu semua,
Salut dari barisanmu dan panji berkibar.

Medan, Agustus 1961

Sumber: Dari Bumi Merah (1963)

Analisis Puisi:

Puisi "Api Berkobar" karya HR. Bandaharo adalah sebuah karya yang menggambarkan semangat perjuangan, solidaritas, dan keteguhan hati dalam menghadapi penindasan dan penderitaan. Melalui bahasa yang kuat dan penuh emosi, puisi ini mengungkapkan penghormatan kepada mereka yang terpenjara dan tertekan namun tetap berjuang untuk cita-cita bersama.

Penghormatan dan Solidaritas

Puisi ini dimulai dengan penghormatan kepada kawan-kawan yang terpenjara dan dirampas kebebasannya. Bandaharo menyampaikan rasa salut yang mendalam terhadap mereka yang terus berjuang meskipun berada dalam kondisi yang sulit.
  • "Salut kepadamu, kawan-kawan, salut!": Penghormatan ini menggarisbawahi nilai solidaritas dan penghargaan terhadap mereka yang tetap setia pada perjuangan meskipun dalam keadaan tertekan.

Penderitaan dan Keteguhan

Penulis menggambarkan penderitaan yang dialami oleh mereka yang hidup dalam penjara atau keadaan sulit. Meskipun kebebasan mereka dirampas, semangat perjuangan mereka tidak tergoyahkan.
  • "Tembok-tembok dan trali besi, maupun sangkur terhunus / Tidak bisa memisahkan kau dari barisanmu": Tembok dan senjata menjadi simbol penindasan, namun tidak dapat memisahkan semangat perjuangan mereka dari barisan yang lebih besar.

Kehidupan dan Pengorbanan

Puisi ini menyoroti pengorbanan pribadi dalam perjuangan kolektif. Penulis mengakui bahwa perjuangan untuk masa depan yang lebih baik sering kali melibatkan pengorbanan pribadi yang besar.
  • "Kita cinta anak dan cinta isteri, / Kita sediakan hidup hari ini untuk hidup hari besok": Menunjukkan bahwa perjuangan tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk keluarga dan masa depan yang lebih baik.

Perjuangan Melawan Ketidakadilan

Penulis mengkritik para penguasa yang sering kali lupa diri dan tidak mampu memahami penderitaan rakyat. Puisi ini menekankan bahwa kekuatan perjuangan terletak pada persatuan dan solidaritas rakyat.
  • "Orang-orang berkuasa sejak dulu-dulu lupa diri, / Tiada berdaya menjadi mangsa kaum penjilat": Mengkritik para penguasa dan menegaskan bahwa perjuangan adalah melawan ketidakadilan dan penindasan.

Cita-Cita dan Kemenangan

Puisi ini menekankan pentingnya cita-cita dalam perjuangan. Meskipun banyak yang menderita dan berkorban, cita-cita untuk mencapai keadilan dan kebebasan tetap hidup dan menjadi sumber kekuatan.
  • "Api berkobar: itulah cita-cita agung, cita-cita kita": Api berkobar menjadi simbol semangat dan cita-cita yang tidak pernah padam, bahkan di tengah kesulitan.

Simbolisme dan Makna

  • Tembok dan Trali Besi: Melambangkan penindasan dan batasan yang dikenakan oleh pihak berkuasa. Namun, ini tidak mampu membatasi semangat dan tekad para pejuang.
  • Kebebasan dan Pengorbanan: Menunjukkan bahwa perjuangan sering melibatkan pengorbanan besar, termasuk kehilangan kebebasan dan penderitaan pribadi, untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
  • Cita-Cita dan Api Berkobar: Api berkobar adalah simbol semangat, keberanian, dan tekad yang terus menyala meskipun dalam keadaan sulit. Ini menggambarkan harapan dan tujuan perjuangan yang tidak pernah padam.
  • Kritik terhadap Penguasa: Menunjukkan ketidakpuasan terhadap penguasa yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat dan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Puisi "Api Berkobar" karya HR. Bandaharo adalah sebuah pernyataan yang kuat tentang semangat perjuangan, solidaritas, dan keteguhan dalam menghadapi penindasan dan penderitaan. Dengan bahasa yang penuh emosi dan simbolisme, puisi ini menggambarkan penghormatan terhadap mereka yang terpenjara namun tetap berjuang untuk cita-cita bersama. Puisi ini juga mengkritik ketidakadilan dan menekankan pentingnya persatuan dan cita-cita dalam perjuangan melawan penindasan. Melalui gambarannya yang kuat dan narasi yang penuh semangat, Bandaharo mengajak pembaca untuk merenungkan makna perjuangan dan pengorbanan dalam mencapai keadilan dan kebebasan.

HR. Bandaharo
Puisi: Api Berkobar
Karya: HR. Bandaharo

Biodata HR. Bandaharo:
  • HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
  • HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
  • HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
© Sepenuhnya. All rights reserved.