Puisi: Anakku (Karya J. E. Tatengkeng)

Puisi "Anakku" karya J. E. Tatengkeng menyoroti perasaan kehilangan, duka, dan ketidakberdayaan, serta penghiburan melalui iman kepada Tuhan.
Anakku
Ya, Kekasihku ...

Engkau datang menghintai hidup,
Engkau datang menunjukkan muka.
Tapi sekejap matamu kututup,
Melihat terang anakda tak suka.

Mulut kecil tiada kaubuka ,
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam, anakku, kami kautinggalkan.

Sedikit pun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit berguling.
Air matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak penghiburan.

Kau diam, diam, Kekasihku,
Tak kaukatakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kekasihku, anakku, mengapa kian?

Sebagai anak melalui sedikit,
Akan rumah kami berdua.
Tak anak tak insyaf sakit,
Yang diderita orang tua.

Tangan kecil lemah tergantung,
Tak diangkat memeluk ibumu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.

Selekas anakda datang,
Selekas anakda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlintang,
Tinggalkan bapak sakit mengenang.

Selamat datang anakda kami,
Selamat jalan kekasih hati.

Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan.
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.

2/9/1933

Sumber: Rindu Dendam (1934)

Analisis Puisi:

Puisi "Anakku" karya J. E. Tatengkeng adalah sebuah karya yang menyentuh hati, mengisahkan tentang pengalaman emosional seorang orang tua yang kehilangan anaknya. Puisi ini menyoroti perasaan kehilangan, duka, dan ketidakberdayaan, serta penghiburan melalui iman kepada Tuhan.

Tema dan Makna

Tema utama puisi ini adalah kehilangan dan kesedihan yang mendalam yang dialami oleh orang tua atas kematian anak mereka. Melalui baris-baris yang penuh emosi, Tatengkeng mengungkapkan rasa kehilangan yang tak tergantikan dan kepedihan yang dirasakan. Selain itu, ada juga tema ketidakberdayaan manusia di hadapan takdir dan kematian, serta penghiburan yang datang dari keyakinan kepada Tuhan.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini terdiri dari sembilan bait, masing-masing dengan empat baris, kecuali bait kedelapan dengan hanya dua baris. Struktur yang teratur ini mencerminkan ketertiban dalam kekacauan emosional yang dialami oleh orang tua yang kehilangan. Gaya bahasa yang digunakan penuh dengan emosi dan deskripsi yang vivid, membawa pembaca merasakan kedalaman perasaan penyair.

Tatengkeng menggunakan gaya bahasa yang puitis dan melankolis untuk menekankan kesedihan dan ketidakberdayaan. Kata-kata seperti "menghintai hidup," "tak suka," "diam," "tak mengerling," dan "lemah tergantung" menciptakan suasana yang suram dan mendalam.

Simbolisme dan Imaji

Puisi ini kaya akan simbolisme dan imaji yang menggambarkan duka dan kehilangan. Mata yang ditutup melambangkan ketidakmampuan anak untuk melihat dunia, dan secara lebih luas, kematian itu sendiri. Mulut kecil yang tak terbuka dan tidak menangis melambangkan kesunyian dan akhir dari kehidupan yang singkat.

Tangan kecil yang lemah tergantung mencerminkan ketidakberdayaan dan ketidaksanggupan untuk memberikan penghiburan kepada ibu yang berduka. Simbol ini juga menunjukkan bagaimana kematian anak meninggalkan kehampaan dan rasa tidak lengkap bagi orang tua.

Emosi dan Suasana

Puisi ini dipenuhi dengan emosi kesedihan dan ketidakberdayaan. Suasana melankolis ini diperkuat oleh deskripsi tentang anak yang tidak bergerak, tidak menangis, dan tidak memberikan tanda-tanda kehidupan. Rasa duka yang mendalam ditampilkan melalui kata-kata yang menggambarkan penderitaan fisik dan emosional ibu dan ayah.

Tatengkeng juga menyampaikan perasaan keputusasaan dan ketidakberdayaan melalui narasi tentang ibu yang sakit dan tidak terhibur, serta ayah yang terus mengenang anaknya. Namun, pada akhirnya, ada pergeseran menuju penerimaan dan penghiburan melalui iman kepada Tuhan, seperti terlihat dalam bait terakhir.

Penghiburan melalui Iman

Bait terakhir puisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada rasa kehilangan yang mendalam, orang tua menemukan penghiburan dalam iman kepada Tuhan. Mereka menerima bahwa anak mereka adalah anugerah dari Tuhan dan bahwa Tuhan telah memanggil anak itu kembali. Keyakinan ini membantu mereka untuk mengatasi rasa duka dan menemukan kedamaian.

Pesan Moral

Puisi ini menyampaikan pesan tentang ketidakberdayaan manusia di hadapan takdir dan kematian. Melalui pengalaman kehilangan, Tatengkeng menunjukkan bagaimana duka dapat menguasai kehidupan seseorang. Namun, ia juga menekankan pentingnya iman dan penghiburan yang datang dari Tuhan, yang dapat membantu orang yang berduka untuk menemukan kedamaian dan kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Puisi "Anakku" adalah puisi yang penuh dengan emosi dan kedalaman, menggambarkan perasaan kehilangan yang tak terhingga yang dialami oleh orang tua. Melalui simbolisme, imaji, dan gaya bahasa yang melankolis, J. E. Tatengkeng berhasil menyampaikan kesedihan dan ketidakberdayaan yang datang dengan kematian seorang anak. Namun, di balik semua kesedihan, ada juga pesan tentang penghiburan dan penerimaan yang datang melalui iman kepada Tuhan. Puisi ini tidak hanya menggambarkan duka pribadi, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehilangan dan kekuatan iman dalam menghadapi cobaan hidup.

Puisi J. E. Tatengkeng
Puisi: Anakku
Karya: J. E. Tatengkeng

Biodata J. E. Tatengkeng:
  • J. E. Tatengkeng (Jan Engelbert Tatengkeng) adalah salah satu penyair Angkatan Pujangga Baru. Nama panggilan sehari-harinya adalah Om Jan.
  • J. E. Tatengkeng lahir di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907. Ia meninggal dunia di Makassar, 6 Maret 1968 (pada umur 60 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.