Anak Karang
buat penyanyi lagu Ova Langga
Dalam orkes sesandu Timor
Bea!
di tepi sini gubuk dan karang
sekali pernah mama bilang
cerita beta cerita kau
bertulis di tanah berselang karang
di tepi sini sunyi kau datang
waktu angin musson memperanak-tiri kami
dan besar dari sisa seberang pulau
Bea!
angin musson cuma bersiut sendu
pada keringat seribu hari mengucur
pada nafas sehari lega turun hujan
pada cerita jagung dan ubi begitu merana
di tonjolan karang tapi ada nyiur ada lontar
beta tunggu penyadap pulang
beta minta sedikit nira
atau bersama masak gula
dan ketawa
Bea!
jangan kasih kutuk angin musson
pukul tifa
kutik sesandu
buka lagu
lagu ombak pukul karang
tunggu nira jadi gula
dan ketawa
rautmu masih bisa surut
beri tiram beri latu
mari kasih makan nenek
mari kasih minum bayi
gula dan isi laut beri nafas
dan mereka terus meraban, biarkan
Bea!
hidup kamu nanti
hidup takberpapa takbermama
satunya kau akar kami
melapuk kerang
buat ronggeng kaki telanjang
anak dengarkan
dia penyadap nyanyi di ujung pohon
heelaido susah seairmata
heelaido senang sama ketawa
Surabaya/Kupang, 1955
Sumber: Mimbar Indonesia (11 Juni 1955)
Catatan:
Latu = tumbuhan laut/bahasa Timor.
Heelaido = kata tak berarti (kundgabe kalau boleh dikatakan begitu).
Heelaido = kata tak berarti (kundgabe kalau boleh dikatakan begitu).
Analisis Puisi:
Puisi "Anak Karang" karya Gerson Poyk menggambarkan kehidupan keras di tepi laut, di mana karang dan gubuk menjadi latar belakang dari kehidupan masyarakat pesisir. Puisi ini kaya akan nuansa budaya, alam, dan kehidupan sehari-hari di lingkungan pesisir yang terpencil. Melalui narasi yang sederhana namun penuh makna, Gerson Poyk menunjukkan bagaimana masyarakat pesisir menjalani kehidupan mereka di tengah keterbatasan, dengan angin musson (musim angin) sebagai saksi diam kehidupan mereka.
Kehidupan di Tepi Laut dan Karang
Puisi ini mengambil latar tempat di tepi laut, di mana gubuk dan karang menjadi simbol dari kerasnya kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir. Frasa "di tepi sini gubuk dan karang" mempertegas gambaran tentang lingkungan yang keras dan penuh tantangan, namun juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Karang bukan hanya objek alam, tetapi juga lambang dari kekuatan dan ketahanan masyarakat yang tinggal di tepinya.
Angin Musson dan Keterbatasan Hidup
Angin musson atau angin musim menjadi salah satu elemen penting dalam puisi ini, melambangkan kekuatan alam yang mempengaruhi kehidupan di pesisir. Angin ini tidak hanya membawa angin sejuk, tetapi juga memperanak-tiri mereka, menggambarkan bagaimana masyarakat pesisir "diasingkan" dan hidup dalam keterbatasan:
waktu angin musson memperanak-tiri kamidan besar dari sisa seberang pulau
Angin musson di sini tampak bersifat ambigu, kadang datang sebagai pengingat kesulitan hidup, namun kadang juga memberi harapan saat hujan turun dan jagung serta ubi mereka mulai bertumbuh. Meski begitu, angin musson tetap digambarkan sebagai sesuatu yang tak bersahabat, yang menyebabkan penderitaan dan kesendirian bagi masyarakat di tepi karang.
Ketahanan Hidup dan Harapan
Meskipun menghadapi kehidupan yang keras, puisi ini juga memunculkan gambaran tentang ketahanan hidup dan harapan. Simbol pohon nyiur dan lontar menjadi bagian dari keseharian mereka, menunjukkan bagaimana mereka bisa tetap bertahan meskipun di tengah keterbatasan:
di tonjolan karang tapi ada nyiur ada lontarbeta tunggu penyadap pulang
Pohon nyiur dan lontar memberikan harapan bagi masyarakat pesisir, dengan nira dan gula sebagai hasil dari usaha keras mereka. Di balik segala kesulitan, ada momen-momen kebahagiaan sederhana, seperti ketika mereka menunggu nira menjadi gula dan kemudian ketawa bersama. Keceriaan ini, meskipun singkat, menjadi pengingat bahwa dalam hidup yang keras, masih ada harapan dan kebahagiaan yang bisa dinikmati.
Kehidupan Keluarga dan Masyarakat
Puisi ini juga menyoroti pentingnya keluarga dan komunitas dalam kehidupan masyarakat pesisir. Meskipun hidup dalam keterbatasan, mereka tetap berbagi rezeki, seperti memberikan makanan kepada nenek dan bayi:
mari kasih makan nenekmari kasih minum bayi
Kehidupan mereka yang sederhana diwarnai dengan semangat gotong royong dan saling berbagi, menunjukkan bahwa di tengah kerasnya kehidupan, mereka masih memiliki nilai-nilai kebersamaan yang kuat. Selain itu, nyanyian dan tifa (alat musik tradisional) menjadi bagian dari budaya yang mempererat hubungan di antara mereka. Lagu dan musik menjadi pelipur lara, mengiringi kerja keras mereka sehari-hari.
Gaya Bahasa dan Simbolisme
Gerson Poyk menggunakan gaya bahasa yang khas dalam puisi ini, dengan memasukkan kata-kata lokal dan elemen budaya pesisir. Beberapa kata seperti latu (tumbuhan laut dalam bahasa Timor) dan heelaido (kata tak berarti atau kundgabe) memperkuat nuansa lokal yang mendalam.
Penggunaan kata-kata tersebut bukan sekadar elemen dekoratif, tetapi membawa makna simbolis yang mendalam. Latu dan tiram, misalnya, menggambarkan sumber daya laut yang menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Di tengah keterbatasan, laut tetap menjadi sumber kehidupan yang memberi makan dan napas bagi masyarakat pesisir.
Selain itu, frasa "rautmu masih bisa surut" dan "beri tiram beri latu" menunjukkan bahwa meskipun hidup mereka keras, selalu ada harapan untuk berubah atau memperbaiki keadaan. Alam, dalam hal ini laut dan tumbuhan laut, memberikan dukungan dan ketahanan bagi masyarakat, yang terus berjuang meskipun menghadapi banyak tantangan.
Pesan Moral dan Sosial
Puisi "Anak Karang" menyampaikan pesan tentang ketahanan hidup dan pentingnya menjaga nilai-nilai kebersamaan dalam menghadapi tantangan. Masyarakat pesisir yang digambarkan dalam puisi ini hidup dalam keterbatasan, namun mereka tetap bertahan dengan semangat gotong royong dan harapan yang tak pernah padam. Alam, meskipun keras, menjadi bagian penting dari kehidupan mereka, menyediakan sumber daya dan hiburan di tengah kesulitan.
Pada akhirnya, puisi ini mengajarkan bahwa kehidupan yang penuh tantangan bisa dilalui dengan kebersamaan, ketahanan, dan harapan. Gerson Poyk berhasil menggambarkan kehidupan masyarakat pesisir dengan sangat mendalam, memperlihatkan bagaimana mereka menghadapi alam dan kehidupan dengan semangat yang kuat.
Puisi "Anak Karang" karya Gerson Poyk adalah sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan masyarakat pesisir yang hidup di tepi karang dan laut. Melalui gambaran alam yang keras dan kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan, puisi ini mengajarkan tentang ketahanan hidup, harapan, dan kebersamaan. Meskipun angin musson sering kali datang membawa penderitaan, masyarakat pesisir tetap bertahan dengan kekuatan dan kebahagiaan sederhana yang mereka miliki.
Gaya bahasa yang kaya dengan nuansa lokal dan simbolisme alam memperkuat pesan tentang hubungan antara manusia dan lingkungan, serta bagaimana alam menjadi sumber kehidupan dan pelipur lara di tengah kesulitan. Dengan cara yang sederhana namun penuh makna, Gerson Poyk menghadirkan kisah tentang ketahanan hidup dan semangat pantang menyerah dalam menghadapi kerasnya kehidupan di tepi karang.
Karya: Gerson Poyk
Biodata Gerson Poyk:
- Gerson Poyk (nama lengkap Herson Gubertus Gerson Poyk dan nama panggilan Be'a) lahir pada tanggal 16 Juni 1931 di Namodele, Pulau Rote (Timur), Nusa Tenggara Timur.
- Gerson Poyk meninggal dunia pada tanggal 24 Februari 2017 di Rumah Sakit Hermina, Depok, Jawa Barat.