Anak Aktivis
Kasihku dalam kerjaku, sayang
Sayangku dalam setiaku, kasih
Yang tak punya anak
punya senyum di pohon nyiur
bila senja bulan datang dari laut.
Gersangnya di bawah cinta
betapa sepi betapa mencengkam
bila kudatang dengan bapamu
dari sebrang bukit tepi kali.
Anakku dalam mimpi
Engkau ada di sisi
dekapan malam begitu nyenyak
hitam rambut, muka menganga
kecil dadamu kurus.
Jawab diri, sayang
kehalusan berderai angin
berdesak di dinding-dinding
aku pamitan pulang.
Yang tak punya anak
punya senyum di pohon nyiur
bila senja bulan datang dari tidur.
Sumber: Yang Bertanahair Tapi Tidak Bertanah (1962)
Analisis Puisi:
Puisi "Anak Aktivis" karya Sabar Anantaguna menggambarkan hubungan emosional yang mendalam antara seorang aktivis dengan anaknya, serta pergolakan batin yang dialami oleh orang tua yang terlibat dalam pergerakan sosial. Puisi ini menyoroti tema kasih sayang, pengorbanan, dan keterasingan yang dialami oleh mereka yang berjuang untuk cita-cita besar namun harus mengorbankan keintiman keluarga.
Kasih Sayang yang Terselip dalam Tanggung Jawab
Pada awal puisi, penyair membuka dengan ungkapan kasih sayang yang berhubungan erat dengan tanggung jawab seorang aktivis. Frasa "Kasihku dalam kerjaku, sayang" dan "Sayangku dalam setiaku, kasih" menunjukkan bahwa cinta dan kasih sayang sang aktivis terhadap keluarganya diwujudkan melalui pekerjaannya dan dedikasinya pada perjuangan. Kerja dan setia, dalam konteks ini, bukan hanya kepada keluarga, tetapi juga kepada misi sosial yang diemban oleh si aktivis.
Melalui ungkapan ini, pembaca dapat merasakan adanya benturan antara kewajiban pribadi dan idealisme. Seorang aktivis harus menyeimbangkan cinta kepada keluarganya dengan komitmen terhadap perjuangan. Namun, ada kesan bahwa kasih sayang terhadap keluarga sering kali terabaikan atau dikorbankan karena kerja keras dan setia kepada misi yang lebih besar.
Simbol Pohon Nyiur dan Kesepian
Di bait selanjutnya, muncul simbol pohon nyiur, yang memiliki konotasi kedamaian dan ketenangan alam. Namun, di sini, pohon nyiur juga membawa makna kesepian dan keterasingan. "Yang tak punya anak punya senyum di pohon nyiur" menunjukkan bahwa meskipun ada kedamaian atau ketenangan yang ditemukan dalam kesendirian, ada rasa kehilangan yang mendalam. Pohon nyiur, dalam hal ini, menjadi simbol bagi mereka yang tidak memiliki anak atau yang terpisah dari anak-anak mereka, baik secara fisik maupun emosional.
Rasa kesepian ini semakin diperkuat dengan gambaran "gersangnya di bawah cinta," yang mencerminkan kekosongan emosional dan perasaan terasing. Kehidupan aktivis yang penuh dengan komitmen pada perjuangan sering kali mengorbankan keintiman keluarga, dan hal ini menimbulkan rasa sepi yang dalam, baik bagi si aktivis maupun bagi anak yang ditinggalkan.
Kehadiran Anak dalam Mimpi
Bagian tengah puisi menggambarkan sosok anak yang hadir dalam mimpi sang aktivis. "Anakku dalam mimpi, Engkau ada di sisi" memberikan kesan bahwa sang anak, meskipun jauh atau mungkin tidak dapat dijangkau secara langsung, tetap hadir dalam pikiran dan hati orang tua. Kehadiran anak dalam mimpi menandakan bahwa ada ikatan emosional yang kuat, namun ikatan ini tidak sepenuhnya nyata atau terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Gambaran fisik anak, "hitam rambut, muka menganga, kecil dadamu kurus," menimbulkan perasaan iba dan rasa bersalah dari orang tua. Anak yang digambarkan kurus dan lemah mungkin mencerminkan dampak dari ketidakhadiran orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Sang anak tumbuh dalam keterasingan dan mungkin kekurangan perhatian dan kasih sayang yang seharusnya diberikan oleh orang tua yang sibuk dengan perjuangan mereka.
Pergolakan Batin Sang Aktivis
Puisi ini juga mengungkapkan konflik batin yang dirasakan oleh sang aktivis. Ada keinginan untuk kembali, untuk memberikan perhatian dan kasih sayang penuh kepada sang anak, namun pada saat yang sama, ada kewajiban yang lebih besar yang harus dipenuhi. "Aku pamitan pulang" menandakan perpisahan yang terpaksa dilakukan oleh si aktivis. Kepergian ini, meskipun dalam konteks pulang, tidak berarti kembali untuk tinggal, melainkan perpisahan sementara atau permanen yang diwarnai dengan penyesalan.
Keterpisahan ini mencerminkan dilema yang dihadapi oleh banyak aktivis, di mana mereka harus memilih antara komitmen terhadap keluarga dan perjuangan mereka. Meskipun mereka penuh dengan cinta dan kasih sayang terhadap anak-anak mereka, tugas yang lebih besar dan cita-cita yang mereka kejar sering kali mengambil prioritas.
Puisi "Anak Aktivis" karya Sabar Anantaguna menggambarkan kompleksitas hubungan antara seorang aktivis dengan anaknya. Melalui simbol pohon nyiur, mimpi, dan gambaran fisik anak yang lemah, puisi ini mengekspresikan perasaan terasing, kesepian, dan pergulatan batin yang dialami oleh seorang aktivis yang harus membagi hidupnya antara cinta terhadap keluarga dan komitmen terhadap perjuangan.
Kasih sayang yang digambarkan dalam puisi ini tidak hadir secara langsung dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk harapan dan mimpi, memperlihatkan bahwa meskipun terpisah secara fisik, kasih sayang itu tetap ada. Namun, ada rasa penyesalan dan kehilangan yang mendalam karena keterpisahan ini, yang mungkin tidak akan pernah sepenuhnya terobati.
Dengan bahasa yang lembut namun penuh emosi, Sabar Anantaguna berhasil menangkap dilema yang dialami oleh banyak orang yang terlibat dalam perjuangan besar. Mereka harus terus berjuang untuk cita-cita sosial mereka, tetapi di balik semua itu, ada keluarga yang menunggu dengan penuh cinta dan harapan.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.