Puisi: Aku, Ayam dan Hujan (Karya Sabar Anantaguna)

Puisi "Aku, Ayam dan Hujan" karya Sabar Anantaguna menyiratkan pertanyaan mendalam tentang eksistensi dan ketahanan individu dalam menghadapi ...

Aku – Ayam dan Hujan


Butiran‐butiran curahan hujan berloncatan
Ditiup angin buyar mengalir entah ke mana
menuju muara

Barisan entok berjajar panjang
delapan belas momongannya
berkeot‐keot tanpa menyesali hilangnya matahari
bercacit‐cacit menerjang hujan
hujan sehari menjenuhi hati
Apa yang dipandang dicoba ditembusi
fikiran dan kesadaran
untuk melampaui batas‐batas tabir air
bayangan bukit jadi tembok besar
mendindingi harapan sebagai kenyataan

Detik‐detik hujan rintik
bisa menimbangi hati sendiri
membelai mimpi
menyenyumi arti
masa muda menjauh makin jauh
hati tak mau rapuh

Adakah arti usia bila kerja belum usai?

Hujan masih lebat
ayam kedinginan di teritisan tak kenal api

Aku menertawai diri sendiri
Manusia yang mengenal api
dingin sekali dalam hati
ditantang kenyataan seperti ayam
bisakah aku berkokok menjulurkan leher ke langit
tanpa menyadari kenyataan diri?

Aku cari kehadiran kesadaran dalam kedinginan
tanpa air dan matahari

        Ayam kecil berciap‐ciap mencari indung disayang
        Adakah api dalam diri?
        Mampukah masing‐masing meraba  
        hati menyalakan api?
        Cipratan air sepanjang musim ke musim
        melapukkan dinding‐dinding
        rumah pun makin reot

        Dihitung atau tidak dihitung usia bertambah
        uban bagai kembang jambu bertaburan

        Dan aku tersenyum
        bertanya diri
        Masihkah memiliki api, harapan, dan pribadi?

Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)

Analisis Puisi:

Puisi "Aku, Ayam dan Hujan" karya Sabar Anantaguna merupakan sebuah karya yang mendalami tema kehidupan, kesadaran, dan pencarian makna di tengah tantangan alam. Dalam puisi ini, Anantaguna menggambarkan suasana hujan yang melimpah, serta interaksi antara manusia dan alam, dengan penggunaan simbol ayam yang kuat. Dengan gaya bahasa yang puitis, puisi ini menyiratkan pertanyaan mendalam tentang eksistensi dan ketahanan individu dalam menghadapi berbagai kesulitan.

Tema dan Makna

Tema utama dari puisi ini adalah pencarian makna dan kesadaran diri dalam menghadapi tantangan kehidupan. Hujan, yang merupakan simbol dari kesedihan atau kesulitan, menggambarkan keadaan yang menekan dan membawa refleksi dalam diri penulis. Dalam konteks ini, ayam menjadi simbol dari ketidakberdayaan dan kekuatan jiwa yang berjuang untuk menemukan jalan pulang.

Frasa “Adakah arti usia bila kerja belum usai?” mencerminkan keputusasaan yang sering dialami banyak orang dalam hidup mereka. Pertanyaan ini menunjukkan betapa pentingnya tindakan dan pencapaian dalam mendefinisikan makna hidup, serta mempertanyakan apakah waktu yang berlalu memiliki arti tanpa hasil yang nyata.

Imaji dan Gaya Bahasa

Penggunaan imaji yang kuat dalam puisi ini memberikan nuansa yang dalam dan melankolis. Gambar “butiran-butiran curahan hujan” dan “barisan entok berjajar panjang” menggambarkan keindahan sekaligus kesedihan alam, menciptakan kontras antara kehidupan yang berlanjut dan kesedihan yang mengisi hati.

Frasa “berkeot-keot tanpa menyesali hilangnya matahari” menunjukkan betapa hidup terus berjalan meskipun ada kehilangan. Penulis menggunakan simbol-simbol sederhana namun kuat untuk menyampaikan pengalaman emosional yang lebih dalam.

Ketahanan dan Kesadaran Diri

Di tengah hujan yang lebat, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan ketahanan diri. Ungkapan “Aku menertawai diri sendiri” menunjukkan sikap reflektif, di mana penulis menyadari keadaan dirinya yang dingin dan terpisah dari kehangatan yang sering dicari. Pertanyaan retoris “Bisakah aku berkokok menjulurkan leher ke langit” menunjukkan keraguan dan pencarian jati diri, seolah-olah penulis bertanya apakah dia masih memiliki keberanian untuk menggapai harapan.

Puisi "Aku, Ayam dan Hujan" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan, ketahanan, dan pencarian makna di tengah kesulitan. Dengan penggunaan simbol ayam dan hujan, puisi ini menggambarkan perjalanan batin yang kompleks, menyoroti perjuangan individu dalam menemukan kehangatan dan arti dalam hidup.

Melalui lirik yang sederhana namun mendalam, Anantaguna mengajak kita untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang diri, harapan, dan arti eksistensi. Puisi ini menjadi pengingat bahwa meskipun hidup seringkali dipenuhi tantangan dan kesedihan, pencarian makna dan keberanian untuk terus maju adalah hal yang sangat penting. Dalam setiap tetes hujan yang turun, ada harapan dan peluang baru untuk bangkit, yang tercermin dalam semangat penulis untuk terus mencari kehadiran kesadaran dalam setiap momen kehidupannya.

Sabar Anantaguna
Puisi: Aku – Ayam dan Hujan
Karya: Sabar Anantaguna

Biodata Sabar Anantaguna:
  • Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
  • Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.