Puisi: Ah, Lidah Tuan! (Karya Adi Sidharta)

Puisi "Ah, Lidah Tuan!" karya Adi Sidharta adalah sebuah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat.
Ah, Lidah Tuan!

Atas nama Tuhan berkata Tuan:
keadilan itu satu dan sama bagi semua
tapi mengapa pula distrbusinya dikelas-kelas?

Tuan yang tidak botak atau tbc karena nasi sepiring
mengapa pergunakan terus kuasa Tuan
untuk merampas nasi kami?
jutaan kami lebih dari botak dan tbc
dan Tuan makin gendut, kami makin kurus.

Dan bila kami coba-coba lepas dari siksa sepiring nasi
ingin juga mengecap vitamin dan nikmat musik
mengapa pula Tuan berikan kami timah panas
hingga untuk Tuan dan Keadilan jutaan
kami mati anjing tiada harga.

Ah, Tuan!
botak, tbc dan vitamin ini, mari, kita adilkan pula
kami tidak seperti Tuan, distibusi mesti merata:
botak, tbc dan mati anjing giliran Tuan
dan kami vitamin musik, baik untuk kesehatan kita.

Timah panas, kata Tuan?
ah, Tuan! Hari esok ia tak kan panas lagi
akan dingin seperti Tuan.

Sumber: Rangsang Detik (1957)

Analisis Puisi:

Puisi "Ah, Lidah Tuan!" karya Adi Sidharta mencerminkan kegelisahan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi di dalam sistem kekuasaan. Dengan menggunakan bahasa yang tajam dan retoris, puisi ini berfungsi sebagai kritik sosial terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan memanfaatkan posisi tersebut untuk merampas hak-hak orang lain.

Tema Keadilan dan Ketidakadilan

Tema utama puisi ini berpusat pada pertentangan antara keadilan yang dijanjikan oleh mereka yang berkuasa dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat yang terpinggirkan. Dalam bait pertama, penulis menyoroti kontradiksi antara pernyataan "keadilan itu satu dan sama bagi semua" dan kenyataan bahwa distribusi keadilan justru dilakukan secara tidak merata. Pertanyaan retoris “tapi mengapa pula distribusinya dikelas-kelas?” menciptakan ketegangan yang kuat, menggambarkan frustrasi penulis terhadap ketidakadilan yang sistemik.

Simbolisme Nasi dan Kekuasaan

Nasi dalam puisi ini menjadi simbol penting yang melambangkan kebutuhan dasar manusia. Ketika penulis menggambarkan "Tuan yang tidak botak atau tbc karena nasi sepiring," ia menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya, di mana mereka yang berkuasa tidak merasakan kesulitan yang dialami oleh rakyat kecil. Penyebutan kondisi fisik seperti “botak” dan “tbc” mencerminkan dampak langsung dari kemiskinan dan kelaparan yang dialami oleh masyarakat.

Frasa “jutaan kami lebih dari botak dan tbc” memperkuat argumentasi bahwa jumlah orang yang terpinggirkan jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang berkuasa, menekankan ketidaksetaraan yang ada.

Kegelisahan dan Ketidakberdayaan

Ketika penulis mengekspresikan keinginan untuk "lepas dari siksa sepiring nasi" dan "mengecap vitamin dan nikmat musik," ia mencerminkan hasrat mendasar masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Namun, harapan tersebut dibalas dengan kekerasan: “mengapa pula Tuan berikan kami timah panas.” Penggunaan frasa ini menciptakan gambaran yang kuat tentang penindasan, di mana usaha untuk meraih keadilan justru berujung pada kekerasan dan kematian.

Seruan untuk Keadilan

Puisi ini juga mengandung seruan untuk merata. Penulis meminta agar keadilan yang seharusnya diberikan juga dirasakan oleh mereka yang berkuasa. Dalam bait keempat, ia menyerukan: “kami tidak seperti Tuan, distribusi mesti merata.” Ini menunjukkan bahwa penulis menginginkan kesetaraan bukan hanya dalam hak dan keadilan, tetapi juga dalam pengalaman hidup yang lebih baik.

Konfrontasi dan Harapan

Di bagian akhir, penulis menyampaikan harapan bahwa hari esok akan berbeda. Kalimat “Hari esok ia tak kan panas lagi, akan dingin seperti Tuan” mengisyaratkan bahwa keadilan sosial akan terwujud dan mereka yang berkuasa pun akan merasakan akibat dari ketidakadilan yang mereka ciptakan. Ini merupakan harapan bagi masa depan yang lebih adil, di mana semua orang, tanpa memandang status sosial, dapat merasakan keadilan yang sejati.

Puisi "Ah, Lidah Tuan!" karya Adi Sidharta adalah sebuah kritik tajam terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Dengan bahasa yang kuat dan emosional, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan keadaan mereka yang terpinggirkan dan menggugah kesadaran akan pentingnya keadilan yang merata. Sidharta berhasil menggunakan simbolisme dan retorika untuk menyampaikan pesan bahwa semua manusia berhak atas kehidupan yang layak, dan bahwa perubahan harus dimulai dari kesadaran kolektif untuk melawan ketidakadilan.

Adi Sidharta
Puisi: Ah, Lidah Tuan!
Karya: Adi Sidharta

Biodata Adi Sidharta:
  • Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
  • Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.