Adegan Malam
Tiada bulan malam sepi
Tak ada matahari
bintang‐bintang
menghilang
antara tidur dan jaga
mimpi dan sadar diri
lamunan dan renungan
samar terdengar
langit, bumi dan laut bertengkar
Tajam
tanpa diupam
langit bilang
Tanah bumi
Tanah bumi
kerjamu hanya mimpi
diam bagai batu
beku
Seperti dicabut bulu jari kaki
bumi bangun gempa bumi
Langit tinggi
Langit tinggi
hanya pandai memaki
meleceh loceh
mengoceh
Langit merengut datang kabut
Tanah bumi
Tanah bumi
tak tahu malu
seperti batu
beku
Hati bumi mulai mendidih
gunung berapi pun muntah
lahar menjulur bagai lidah
Langit, apa katamu
sesombong ratu
bersolek bintang
menguasai bulan
korupsi matahari
Langit menyeringai
datang badai
bicara
mengengahkan prahara
Gelap mengepung
mendung merudung
halilintar menyambar
guntur menggelegar
Badai menampar
Kilat berpijar:
Tanah bumi
mengapa diam seperti mati
Tidakkah kau fikir
Tidakkah kau rasa
dalam pangkuanmu
dalam pelukanmu
kebiadaban mengaku keadaban
kepalsuan mengaku kebenaran
kemaksiatan mengaku kesucian
kekejaman mengaku kemanusiaan
Mengapa ya mengapa
kau membisu
kelu
menutup mata
membuta
kebajikan dianggap dusta
kejujuran dianggap dosa
tanah bumi
kau susui
pintar busuk
pandai dusta
Bumi bagai belah
gunung longsor rekah
marah:
Langit
tak tahu diri
tinggi hati
Adakah ketinggian tanpa dasar
tanpa yang benar?
Sombong
omong kosong
Dibelah paro tubuhku
bukan hanya kegelapan
tapi kecerahan
Bumi bergetar laut bergolak
debur mendeburlah ombak
Hati laut menegang
air pasang
Langit
dengar kataku
atur katamu
biar bumi
mendengari
yang hakiki
Langit melegam kelam
guruh riuh
hujan salju dilempar ke bumi
bumi basah
angin dingin
Laut
Wajah keriput
mengapa ikut‐ikut
Penampungan kotoran bumi
budak bumi!
Laut beringas
diri dikebas
ombak berserpih
penuh buih
samudera mendidih
menerkam pantai
bergalau di pulau
Langit
kenali diri
warna ganti berganti
tinggi hati
mengapa tidak bertanya
tidak bertimbang rasa
bersetuju
dengan waktu
Langit
bumi
laut
sama‐sama terdiam
sama‐sama bungkam
bertanya kepada diri
mencari
di mana
rumah waktu
Langit
bumi
laut
mencari
penghuni bumi
Bicaralah
Hai, manusia, bicaralah
yang kecil yang lemah
bicaralah
Fajar mekar
hati bangkit
bangun dari mimpi
sadar dari lamunan
manusia bicara
Ah, langit – bumi – laut
Aku, manusia bisa terkena maut
Aku tidak memiliki keabadian
Karena itu justru tahu waktu
Bagian gerak dalam ruang
Dalam diriku
Dalam dirimu
Ah, langit – bumi – laut
Langit tanpa planit
langit tanpa laut
merasa mandiri sendiri
tanpa yang lain tanpa arti
Diri tidak berdiri sendiri
Arti tidak berdiri sendiri
Yang tinggi tanpa dasar hanya mimpi
hampa di malam sepi
Ah, langit – bumi – laut
Aku, manusia banyak tak tahu
tentang diriku
Langit,
Aku manusia belum tahu keluasanmu
tetapi apa arti ruang tanpa waktu?
Bumi,
Aku manusia belum menyelami hati bumi
tetapi apa arti hati tanpa kesadaran akan diri?
Laut,
Aku manusia belum menghitung isi palungmu
tetapi apa arti kebesaran wadah tanpa makna cerah?
Ah, langit – bumi – laut
Dalam kekuatan terkandung kelemahan
dalam keampuhan terkandung kerapuhan
Sekali waktu bumi yang mematikan
juga melahirkan
Langit bagai menyala
Laut memeluk prahara
bumi menjadi saksi
Perbalikan
bagai tanah dibajak
Peluluhan
bagai sawah digaru
Pelahiran
sebagai benih kering tersiram hujan
Kelahiran baru
bagian dari waktu
Aku, manusia
yang kecil
yang lemah
berkata padamu
karena aku
tidak berpura tahu
dalam ketidaktahuanku
Tapi aku selalu mencari
mengenali diri
dan bukan diri
Sumber: Puisi-Puisi dari Penjara (2010)
Analisis Puisi:
Puisi "Adegan Malam" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah karya yang mendalam dan penuh makna. Melalui puisi ini, Anantaguna menyajikan gambaran yang kompleks tentang hubungan antara langit, bumi, laut, dan manusia, yang saling berinteraksi dalam sebuah dialog yang emosional. Puisi ini mencerminkan ketegangan antara alam dan manusia serta merenungkan arti keberadaan dan kesadaran diri.
Tema dan Makna
Tema utama puisi ini adalah konflik dan interaksi antara langit, bumi, dan laut yang diwakili oleh dialog yang tajam dan penuh kritik. Puisi ini menciptakan suasana malam yang sepi, di mana tidak ada bulan atau bintang yang bersinar. Keadaan ini mencerminkan kegelapan dan kesunyian yang mendalam, seolah-olah alam sedang berada dalam ketegangan. Dialog antara langit dan bumi mencerminkan pertikaian yang tidak hanya fisik tetapi juga filosofis.
Imaji dan Simbolisme
Anantaguna menggunakan berbagai imaji yang kuat untuk menggambarkan suasana dan emosi. Misalnya, frasa "bumi bangun gempa bumi" dan "gunung berapi pun muntah" menggambarkan kekuatan alam yang tidak terduga dan dapat menghancurkan. Selain itu, istilah "Hati bumi mulai mendidih" mengisyaratkan kemarahan dan ketidakpuasan bumi terhadap perlakuan manusia. Konsep "kebiadaban mengaku keadaban" dan "kepalsuan mengaku kebenaran" menunjukkan bahwa ada ketidakadilan dan kepalsuan dalam interaksi manusia dengan alam.
Dialog dan Pertentangan
Dialog yang terjadi antara langit, bumi, dan laut menciptakan narasi yang dinamis. Setiap elemen alam berbicara dengan cara yang penuh perasaan, menggambarkan bagaimana mereka merasakan tindakan dan keberadaan manusia. Dialog ini berfungsi untuk mengekspresikan frustrasi dan kemarahan alam terhadap manusia yang tidak menghargai lingkungan. Pertanyaan retoris yang diajukan, seperti "Mengapa ya mengapa kau membisu," menunjukkan kebingungan dan ketidakpahaman dari sisi alam terhadap perilaku manusia.
Pertanyaan Eksistensial
Puisi ini juga mengandung elemen pertanyaan eksistensial yang dalam. "Adakah ketinggian tanpa dasar?" dan "apa arti ruang tanpa waktu?" mengajak pembaca untuk merenungkan tentang makna keberadaan dan hubungan antar elemen. Hal ini menciptakan kesadaran bahwa semua hal di dunia ini saling terhubung dan tidak dapat berdiri sendiri. Manusia dianggap sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar, dan tidak ada arti dalam eksistensi yang terputus dari lingkungan dan konteksnya.
Keterhubungan antara Manusia dan Alam
Di bagian akhir puisi, Anantaguna mengungkapkan pandangannya tentang hubungan manusia dengan alam. "Aku, manusia yang kecil yang lemah" menegaskan kesadaran akan posisi manusia di alam semesta. Manusia, meskipun merasa kuat, sebenarnya adalah bagian kecil dari keseluruhan yang lebih besar. Pernyataan bahwa "dalam kekuatan terkandung kelemahan" menunjukkan bahwa ada keindahan dan kerapuhan dalam eksistensi. Kesadaran akan keterhubungan ini mendorong manusia untuk merenungkan tanggung jawab mereka terhadap alam.
Puisi "Adegan Malam" karya Sabar Anantaguna adalah sebuah refleksi mendalam tentang hubungan antara manusia dan alam. Melalui imaji yang kuat, dialog yang emosional, dan pertanyaan eksistensial, Anantaguna berhasil menyampaikan pesan tentang pentingnya kesadaran akan keberadaan kita di dunia ini. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan dampak dari tindakan kita terhadap alam dan mendorong kita untuk lebih menghargai serta menjaga lingkungan.
Karya ini tidak hanya menawarkan keindahan puitis tetapi juga mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang tanggung jawab kita sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar. Sebuah karya yang patut diperhatikan dan direnungkan, puisi "Adegan Malam" menjadi pengingat akan hubungan harmonis yang seharusnya ada antara manusia dan alam.
Karya: Sabar Anantaguna
Biodata Sabar Anantaguna:
- Sabar Anantaguna lahir dengan nama Santoso bin Sutopangarso pada tanggal 9 Agustus 1930 di Klaten, Jawa Tengah.
- Sabar Anantaguna meninggal dunia pada tanggal pada 18 Juli 2014.