Puisi: Titanic (Karya Amien Wangsitalaja)

Puisi "Titanic" karya Amien Wangsitalaja mengundang pembaca untuk merenungkan kompleksitas kekuasaan dan dampaknya terhadap sejarah serta ...
Titanic

Siapa dapat
menyanjung laut
memerdekakan maut
seijin biduk, kapten?

kecuali kami
pencipta sejarah
dan orde

(mencuri perahu nuh
dan menyandera khidzir
untuk menahkodai ngeri)

siapa dapat
menyanjung kami, kapten?

kecuali kami
pencipta sejarah
dan orde.

Analisis Puisi:

Puisi "Titanic" karya Amien Wangsitalaja merupakan sebuah karya yang sarat dengan tema-tema besar seperti kekuasaan, sejarah, dan maut. Menggunakan referensi sejarah yang kuat dan simbolisme yang mendalam, puisi ini mengeksplorasi bagaimana manusia mengatasi dan memanipulasi kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tema

  • Kekuasaan dan Sejarah: Puisi ini secara jelas menyiratkan bahwa kekuasaan dan kemampuan untuk menciptakan sejarah adalah hak istimewa tertentu. Frasa "pencipta sejarah dan orde" menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki kekuasaan atau posisi istimewa yang dapat menentukan atau mengubah jalannya sejarah. Ini menggarisbawahi tema kekuasaan yang dominan, dengan menggambarkan bagaimana individu atau kelompok tertentu dapat mempengaruhi dan menulis ulang sejarah.
  • Maut dan Laut: Tema maut dan laut muncul dengan kuat dalam puisi ini. "Menyanjung laut" dan "memerdekakan maut" menyiratkan bahwa laut dan maut adalah kekuatan yang harus dihormati atau bahkan dipertaruhkan untuk mencapai tujuan besar. Laut, dengan kekuatan dan kedalamannya, diibaratkan sebagai entitas yang memegang kendali atas kehidupan dan kematian, sementara maut dianggap sebagai kekuatan yang harus ditundukkan atau dimaknai ulang.
  • Simbolisme: Penggunaan simbol seperti "perahu nuh" dan "khidzir" membawa makna yang mendalam. Perahu Nuh, sebagai simbol keselamatan dan kebangkitan kembali setelah bencana, dan Khidzir, seorang tokoh mistis dalam tradisi Islam yang sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan keabadian, menggambarkan usaha untuk menghadapi dan mengendalikan kekuatan besar, baik dalam konteks literal maupun metaforis.

Gaya Bahasa dan Teknik

  • Pertanyaan Retoris: Puisi ini menggunakan pertanyaan retoris untuk mengungkapkan keraguan dan keheranan terhadap kekuasaan dan kemampuan manusia. "Siapa dapat menyanjung laut memerdekakan maut?" adalah pertanyaan yang dirancang untuk menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat melakukan hal-hal besar atau tidak biasa, menggarisbawahi ketidakmungkinan dan eksklusivitas kekuasaan.
  • Pengulangan: Pengulangan frasa "kecuali kami, pencipta sejarah dan orde" mempertegas klaim tentang kekuasaan dan eksklusivitas yang dimiliki oleh subjek puisi. Ini menciptakan efek yang menekankan pentingnya posisi mereka dalam menentukan dan menciptakan sejarah serta memanipulasi kekuatan yang lebih besar dari mereka.
  • Gaya Bahasa yang Tumpul dan Simbolik: Gaya bahasa puisi ini cenderung tumpul dan langsung, dengan penggunaan simbolisme yang kuat. Frasa seperti "menyandera Khidzir untuk menahkodai ngeri" mengandung makna ganda dan memberikan kesan bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan cara yang kontroversial atau bahkan berbahaya.

Makna dan Refleksi

  • Kekuatan dan Kontrol: Puisi ini mencerminkan pandangan tentang bagaimana kekuasaan dan kontrol dapat mempengaruhi dan mengubah sejarah. Dengan mengklaim bahwa hanya mereka yang memiliki kekuasaan yang dapat "menyanjung laut" atau "memerdekakan maut," puisi ini menggarisbawahi bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk mengatasi atau memanipulasi kekuatan alam dan eksistensi.
  • Kritik terhadap Kekuasaan: Melalui simbolisme dan pertanyaan retoris, puisi ini juga dapat dibaca sebagai kritik terhadap cara kekuasaan digunakan atau disalahgunakan. Mengklaim hak istimewa atas penciptaan sejarah dan orde bisa mencerminkan bagaimana kekuasaan sering kali dipegang oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi arah dan makna dari peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah.
  • Refleksi tentang Keberanian dan Kesadaran: Puisi ini juga mengajak pembaca untuk merenungkan keberanian dan kesadaran yang diperlukan untuk menghadapi kekuatan besar dan menciptakan perubahan. Dalam konteks ini, keberanian untuk "menyandera Khidzir" dan "mencuri perahu Nuh" menjadi simbol dari tindakan ekstrem yang diperlukan untuk mengatasi dan memanipulasi kekuatan yang lebih besar.
Puisi "Titanic" karya Amien Wangsitalaja adalah sebuah karya yang menggabungkan tema kekuasaan, sejarah, dan maut dengan gaya bahasa yang kuat dan simbolik. Dengan menggunakan pertanyaan retoris, pengulangan, dan simbolisme, puisi ini menyajikan refleksi mendalam tentang bagaimana kekuasaan dan kemampuan untuk menciptakan sejarah dapat mempengaruhi dan mengendalikan kekuatan besar. Melalui pendekatan ini, puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan kompleksitas kekuasaan dan dampaknya terhadap sejarah serta eksistensi manusia.

Puisi
Puisi: Titanic
Karya: Amien Wangsitalaja
© Sepenuhnya. All rights reserved.