Puncak Stupa (1)
kini aku
kelas nol kembali
tunduk dengan tegak
saling hormat kegagalan dan kehendak
revolusi di jalan-jalan berkecamuk
nasib baik atau buruk
ah, gambaran-gambaran
menolongku pada sifat kepasrahan
kau ingat, beberapa tikungan
relief-relief kehidupan
kita pernah saling rampas
hanya karena sesuatu yang kurang pas
tapi rupanya, dunia ini bukan soal ukuran
hanya bagaimana cara mengenakan
ah, sudahlah
kini aku bebas dan basah
jadi sarang angin misteri:
lima anasir membentuk guru jati
hancur lebur
luluh disukuri pangkur
Sumber: Tonggak (1987)
Analisis Puisi:
Puisi "Puncak Stupa" karya Fauzi Absal adalah sebuah karya yang menyelami kedalaman refleksi pribadi dan filosofi hidup. Dengan menggunakan simbolisme dan gaya bahasa yang kuat, puisi ini mengeksplorasi tema kepasrahan, revolusi, dan pencarian makna dalam kehidupan.
Struktur dan Tema
Puisi ini dibangun di atas tema sentral yang mencakup siklus kehidupan, kegagalan, dan penemuan diri. Struktur puisi menunjukkan perjalanan emosional dari ketidakpastian menuju pencerahan, dengan penekanan pada konsep kepasrahan dan revolusi pribadi.
Revolusi dan Kepasrahan
- "kini aku / kelas nol kembali": Frasa ini menandakan permulaan baru, seolah penulis kembali ke titik awal untuk membangun ulang dirinya setelah mengalami kegagalan dan pembelajaran.
- "tunduk dengan tegak / saling hormat kegagalan dan kehendak": Ini menggambarkan sikap penerimaan dan penghargaan terhadap proses belajar dari kegagalan dan keinginan, menunjukkan bagaimana seseorang dapat berdiri tegak meski telah mengalami kemunduran.
Gambaran Revolusi dan Kehidupan
- "revolusi di jalan-jalan berkecamuk / nasib baik atau buruk": Menunjukkan bahwa kehidupan penuh dengan perubahan yang cepat dan tidak pasti, dan bagaimana nasib dapat bergantung pada bagaimana kita menanggapi situasi tersebut.
- "gambaran-gambaran / menolongku pada sifat kepasrahan": Menyiratkan bahwa melalui pengalaman dan peristiwa hidup, penulis belajar untuk bersikap pasrah dan menerima kenyataan.
Relief Kehidupan dan Konflik
- "kau ingat, beberapa tikungan / relief-relief kehidupan": Menunjukkan kenangan tentang berbagai tantangan dan aspek kehidupan yang penuh warna, serta bagaimana kita seringkali terjebak dalam konflik kecil.
- "kita pernah saling rampas / hanya karena sesuatu yang kurang pas": Menggambarkan konflik dan ketidakcocokan yang sering kali terjadi dalam interaksi manusia, dan bagaimana hal tersebut sering kali hanya karena ketidaksesuaian yang sepele.
Penerimaan dan Pembebasan
- "tapi rupanya, dunia ini bukan soal ukuran / hanya bagaimana cara mengenakan": Menyiratkan bahwa kehidupan bukan tentang ukuran atau pencapaian materi, tetapi tentang bagaimana kita memaknai dan menjalani pengalaman tersebut.
- "ah, sudahlah / kini aku bebas dan basah": Menggambarkan penerimaan dan pembebasan dari beban masa lalu, dengan penulis merasa segar dan baru.
Simbolisme dan Filosofi
- "jadi sarang angin misteri: / lima anasir membentuk guru jati": Menyimbolkan bagaimana penulis menjadi tempat untuk berbagai ide dan kekuatan yang membentuk pemahamannya tentang kehidupan, dengan lima anasir mungkin merujuk pada unsur-unsur dasar kehidupan atau kebijaksanaan.
- "hancur lebur / luluh disukuri pangkur": Menggambarkan proses penghancuran diri lama untuk pembaharuan dan penerimaan dalam bentuk yang lebih bijaksana.
Puisi "Puncak Stupa" karya Fauzi Absal adalah sebuah karya yang mendalam dan penuh makna tentang proses penemuan diri, kepasrahan, dan revolusi pribadi. Melalui penggunaan simbolisme yang kuat dan gaya bahasa yang reflektif, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup mereka sendiri, menghadapi kegagalan dengan sikap pasrah, dan menemukan kedamaian dalam perubahan.
Dalam refleksinya tentang kehidupan, puisi ini mengingatkan kita bahwa keberhasilan sejati bukanlah tentang pencapaian eksternal, tetapi tentang bagaimana kita menghadapi dan memahami perjalanan hidup kita, serta bagaimana kita menerima dan mengadaptasi diri dalam proses tersebut.
Karya: Fauzi Absal
Biodata Fauzi Absal:
- Fauzi Absal lahir pada tanggal 2 Maret 1951 di Yogya.