Puisi: Pedalangan Pop (Karya Fauzi Absal)

Puisi "Pedalangan Pop" karya Fauzi Absal menyajikan gambaran yang mendalam tentang ketidakpastian dan kontradiksi dalam kehidupan modern.

Pedalangan Pop (1)


Kau musim kira suci
Kemarau hujan jagat maya menjelajah
Di hati yang tidak membekukan sungai

Kira sebentar suci menanti
Ini yang kau musim kelerengkan
Menggelegar di trotoar yang berdesakan

Saling tempelak menanti si demitologi
Mengakak keyakinan berbuntut panjang
Buah busuk menyedot perilaku

Menyusu pada siapa selama heran
Berbelum-belum geleng kepala menyedu pukau
Ekonomilah berbagi derita

Pedalangan Pop (2)


Bisikan-bisikan yang kau terima lewat hujan
Bertemu dengan laba-laba yang bergelayut di jaring-jaring
Dalam kalbumu
Kau tepis langit kebenaran
Kau perbarui dengan siul
Yang berembus dari hati mungilmu
Lalu berkelanalah kau dengan bekal bisikan-bisikan
Laba-laba dan siul
Berlomba-lomba dengan kabut yang berumah
Di jantung-jantung
Di ujung dunia
Dirimu yang lama jadi baru

Pedalangan Pop (3)


Aku suka mercon, tapi tak suka suaranya yang mekak telinga
Aku suka bercinta tapi tak suka kegilaannya
Aku suka senyummu, tapi tak suka nyinyir bibirmu
Aku suka anumu, tapi tak suka kotoranmu
Aku suka bokongmu, tapi tak suka kentutmu
Aku suka bercermin
Hanya untuk membuktikan
Cermin itu palsu

Desember, 2021

Analisis Puisi:

Puisi "Pedalangan Pop" karya Fauzi Absal merupakan karya yang kompleks dan penuh makna, menampilkan kritik sosial dan refleksi pribadi melalui bahasa yang kerap kali paradoksal dan ironis. Dengan tiga bagian yang saling berhubungan, puisi ini menyajikan gambaran yang kuat tentang ketidakpastian, kontradiksi, dan dinamika sosial dalam masyarakat kontemporer.

Bagian 1: Musim, Kelereng, dan Demitologi

Pada bagian pertama puisi ini, Fauzi Absal menggunakan imagery musim dan cuaca untuk menggambarkan keadaan emosional dan sosial yang tidak stabil. "Kau musim kira suci" mengacu pada kepercayaan atau ide yang dianggap suci namun mungkin tidak lebih dari ilusi atau sementara. "Kemarau hujan jagat maya menjelajah" mencerminkan ketidakpastian dan perubahan yang tidak terduga dalam kehidupan modern.

"Di hati yang tidak membekukan sungai" mengindikasikan bahwa meskipun ada perubahan besar, inti dari diri seseorang tetap tidak berubah. Penggunaan frasa seperti "ini yang kau musim kelerengkan" dan "menggelegar di trotoar yang berdesakan" menunjukkan keramaian dan ketidakstabilan sosial. Penulis juga menyinggung "si demitologi" sebagai metafora untuk keyakinan dan mitos yang mungkin tidak lagi relevan atau bermanfaat, sementara "buah busuk menyedot perilaku" menunjukkan efek negatif dari budaya atau perilaku yang membusuk.

Bagian 2: Bisikan, Laba-laba, dan Kabut

Bagian kedua puisi ini memperkenalkan elemen mistis dan simbolis dengan "bisikan-bisikan yang kau terima lewat hujan" dan "laba-laba yang bergelayut di jaring-jaring". Hujan dan laba-laba dapat diartikan sebagai simbol dari informasi dan pengalaman yang menempel pada seseorang, membentuk pandangan dan reaksi mereka terhadap dunia.

"Kau tepis langit kebenaran" menunjukkan penolakan terhadap kebenaran absolut atau realitas yang diterima secara umum, sementara "kau perbarui dengan siul" mengindikasikan pencarian untuk pembaruan atau pengertian baru yang lebih pribadi. Penulis menggambarkan perjalanan ini sebagai "berkelanalah kau dengan bekal bisikan-bisikan" yang melawan "kabut yang berumah di jantung-jantung". Ini mencerminkan perjalanan individu dalam mencari makna dan kebenaran di tengah kebingungan dan kesulitan.

Bagian 3: Kontradiksi Pribadi dan Cermin Palsu

Bagian terakhir puisi ini menyoroti kontradiksi dan paradoks dalam hubungan dan pandangan pribadi. Dengan menyatakan "aku suka mercon, tapi tak suka suaranya yang mekak telinga" dan "aku suka bercinta tapi tak suka kegilaannya", penulis mengungkapkan ketidaksesuaian antara keinginan dan kenyataan.

"Kau suka senyummu, tapi tak suka nyinyir bibirmu" dan "aku suka anumu, tapi tak suka kotoranmu" menunjukkan bahwa ketertarikan atau cinta seringkali disertai dengan aspek-aspek yang tidak diinginkan atau mengecewakan. Penutup dengan "cermin itu palsu" mengindikasikan bahwa apa yang tampak sebagai kebenaran atau refleksi diri seringkali tidak akurat atau menyesatkan.

Puisi "Pedalangan Pop" karya Fauzi Absal menyajikan gambaran yang mendalam tentang ketidakpastian dan kontradiksi dalam kehidupan modern. Melalui penggunaan simbolisme, paradoks, dan imagery yang kuat, Absal mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita memahami diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Puisi ini mencerminkan bagaimana kenyataan sering kali tidak sesuai dengan harapan atau keyakinan, dan bagaimana kita terus mencari makna di tengah keraguan dan konflik.

Fauzi Absal
Puisi: Pedalangan Pop
Karya: Fauzi Absal

Biodata Fauzi Absal:
  • Fauzi Absal lahir pada tanggal 2 Maret 1951 di Yogya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.